Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membawa perahu IMM terus berlayar | Refleksi Milad IMM 52

 Idealisme adalah kemewahan tertinggi yang hanya dimiliki pemuda
Lebih setengah abad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Lahir, tapatnya 52 tahun sejak 14 maret 1964. Kelahiran IMM merupakan kenicayaan sejarah, dimana proses ini merupakan salah satu tanda kebangkitan intelektual muda Muhammadiyah. Dipelopori oleh Djazman Al-Kindi –yang kemudian menjadi ketua DPP IMM pertama- IMM mulai tumbuh dan berkembang menatap zaman.

IMM sebagai eksponen mahasiswa dalam muhammadiyah, memiliki peran sebagai agent of change, agent of social control dan iron stock. Dengan peran ini IMM harus mampu melahirkan intelektual-intelektual kritis dan modernis, yang kritis, sadar dan peduli dengan kondisi kebangsaan Indonesia. IMM harus terus berupaya mengembalikan wajah Indonesia kembali ramah dan berkeadilan.

Tantangan besar tersebut dijawab oleh intelektual-intelektual IMM terdahulu, dengan konsep Trikom dan Trilogi IMM. Konsep Trilogi IMM yang memuat tiga ladang garapan Untuk IMM berpsoses dan berjuang  yakni, Keislaman, kemahasiswaan dan kemasyarakatan, harus dipadu dengan tiga kompetensi wajib yang termuat dalam Trikom yakni, Religiusitas, intelektualitas dan humanitas.

Dalam bidang keislaman kader IMM dituntut untuk bisa menempatkan seluruh aktivitas gerakanya dengan landasan ruh illahi, yang mana Tauhid dan keyakinan penuh pada Islam sebagai dasarnya. Sementara itu dalam lingkup kemahasiswaan, kader IMM harus memiliki peran aktif dalam diskusi ilmiah di dalam kampus. Sehingga mampu menumbuhkan kader-kader yang sadar dan memiliki basic intektual yang mumpuni. Sehingga kader-kader IMM dapat terus melahirkan kritis-kritk segar dan konsep-konsep ideal untuk perubahan masyarakat. IMM harus menjadi jawaban atas kegelisahan masyarakat.

Untuk menjawab tantangan kemasyarakan, IMM perlu mengaca pada Muhammadiyah dengan Teologi Al-Maun yang merupakan pondasi awal berdirinya muhammadiyah. Teologi ini menjelaskan bahwa, Ibadah sebagai ritual wajib umat islam harus diejawantahkan dalam gerakan praksis social. Selain kesalehan individu terhadap Tuhan, kader IMM juga harus memiliki kesalehan social terhadap masyarakat.

Terlebih melihat realitas global, dimana batas-batas negara sudah tidak nampak lagi. Sehingga arus budaya akan dengan bebas menyerang dan mempengaruhi pola piker seluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana yang digambarkan Cokroaminoto sebagai “Perang ideology”. Selain itu arus ideology Kapitalisme sudah pula mencengkeram seluruh lapisan kehidupan, ekonomi, budaya, politik, pendidikan bahkan agama Masyarakat. Dengan menyasar 3F (food, fashion, fun) kapitalisme mengiring manusia untuk menjadi individualis, materialis dan konsumtif.

Kondisi seperti ini mengancam eksistensi dan hakikat manusia. Proses ini akan membawa manusia pada kondisi sekarat, dan tidak sadar. Sadarpun hanya akan sampai pada tataran “Kesadaran palsu”. Karena nalar kritis social mereka sudah terganti menjadi individualistik. Padahal hakikat penciptaan manusia adalah untuk bersosial dan saling memberi manfaat.

Realitas ini harus dipahami secara jelas dan kritis untuk kemudian dijadikan kesadaran bersama (Common Sense). Kader IMM dengan tugasnya sebagai intelektual, harus mengejawantahkan kondisi masyarakat itu dalam praksis gerakan. Dengan bermodal Religiusitas, Intelektualitas dan Humanitas, kader IMM harus menjadi “Inti masyarakat utama” sebagai agent intelektual untuk menyelesaikan permasalah ini.

Sejarah telah membuktikan, bahwa Trilogi dan Trikom adalah kesadaran tertingi yang harus dimiliki seluruh kader IMM, dengan tujuan besar “Mengusahakan terbentuknya Akademisi Islam yang berkahlaq mulia” kereta IMM harus terus berlari untuk berkejaran dengan dinamika masyarakat.

Dengan bertemakan “Membangun Peradaban Bangsa untuk Generasi Berkemajuan” IMM memiliki tantangan besar untuk terus eksis dalam tugas agent of change demi perbaikan bangsa dan demi Indonesia yang terus berkejaun. 

Sejarah adalah dialektika berkelanjutan untuk menemukan konsepsi ideal peradaban bangsa. Sejarah pulalah yang terus mengingatkan dan memacu kita untuk terus berupaya menjadi generasi berkemajuan. Semoga di umur 52 tahun ini perahu Tua IMM semakin bijak dan terus melahirkan generasi anak-anak penerus bangsa yang berkemajuan. Budal! Bubar! Bareng! Wani!

Saya pikir tulisan ini akan indah dengan diakhiri baik-bait suci W.S. Rendra untuk lebih mengisnpirasi.

Karawang Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar (1948)
Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957


Ditulis Oleh Yusuf Bahtiyar, Kader IMM "Leviathan" UIN Sunan Ampel Surabaya
KOTACOM blog