Varian Keberagaman Muhammadiyah: Muhammadiyah Garis Lurus
VARIAN IDEOLOGI KEBERAGAMAAN
Di MUHAMMADIYAH
Oleh;
Sholihul Huda, M.Fil.I
Candidat Doktor Islamic Studies UIN Sunan Ampel &
Dosen Filsafat AgamaUMSurabaya & Direktur Pusat Studi Agama & Perdamaian (PuSAP) email: sholikhsby@gmail.com
Ideologi keberagamaan di
Muhammadiyah tidak tunggal. Secara organisasi Ideologi Muhammadiyah ditetapkan
secara sama dan tunggal sebagaimana dalam buku-buku rumusan ideologi
Muhammadiyah.[1] Namun dalam proses pemahaman terhadap rumusan ideologi terdapat beragam
varian pemahaman dikalangan warga Muhammadiyah. Konsekuensi dari beragam varian
pemahaman ideologi berdampak pula pada ragam varian sikap keberagamaan warga
Muhammadiyah di masyarakat.
Hal
ini dapat teramati dari hasil penelitian Prof Mulkhan di Wuluhan Jembar yang
membagi empat varian orang Muhammadiyah dari prespektif sosiologi-keagamaannya.
Pertama, Muhammadiyah-Ikhlas, kedua; Muhammadiyah-Kiai Ahmad Dahlan, ketiga;
Muhammadiyah-NU (MuNu), keempat; Muhammadiyah-Marhean (MarMud).[2] Artinya dari
deskripsi ini dapat dipahami bahwa realitas sosial keberagamaan Muhammadiyah
itu bervariatif, tergantung dari bagaimana anggota tersebut mengkonstruk
ideologi Muhammadiyah dan dipraktekan dalam keseharianya.
Varian
ideologi keberagamaan di Muhammadiyah juga ditemukan dari hasil penelitian
Biyanto[3] yang menemukan
varian pemikiran dan sikap Kaum Muda Muhammadiyah terhadap wacana Pluralisme
agama. Ada dua varian yang ditemukan Pertama, Kaum muda Muhammadiyah
yang menerima/setuju wacana Pluralisme agama,
argumentasi yang digunakan adalah memahami pluralisme agama harus
dibedakan dengn pluralitas dan diversitas agama, sebab pluralisme keagaamaan
lebih sekedar pengakuan secara pasif terhadap keragamaan keyakinan dan agama
lain. Kedua, Kaum muda Muhammadiyah yang menolak tegas wacana Pluralisme
agama, argumentasi yang digunakan pluralisme agama adalah paham yang
mengajarkan semua agama benar dan ini bertentangan dengan keyakinan bahwa agama
yang paling benar di sisi Allah hanyalah Islam, bukan yang lain.
Pertanyaan
selanjutnya adalah mengapa varian ideologi keberagamaan di Muhammadiyah terjadi
dan bagaimana model varian ideologi tersebut? Ada beberapa latar yang
teramati, Pertama, Muhammadiyah
adalah “teks” realitas sosial keagamaan
yang hidup dan dinamis, sehingga akan terus mengalami dialektika
pergerakan dan perubahan di masyarakat. Artinya Muhammadiyah akan terus di konstruksi
para anggotanya untuk disesuaikan dengan realitas sosial kekinian, biar tidak
dianggap stagnan, jumud “tradisional”. Apalagi dengan mengusung gerakan
pembaharuan Islam (Tajdid), maka semakin mempengaruhi alam berfikir
warga Muhammadiyah untuk dituntut berfikir dan berprilaku modern.
Kedua, struktur
sosio-kultur pengikut Muhammadiyah bervariasi.
Pada awal berdirinya Muhammadiyah banyak di-back up oleh
mayoritas pedagang dan priyayi (abdi dalem Keraton Ngayogyakarta), kemudian
bergeser pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) terutama guru dan dosen, yang mayoritas tinggal di
perkotaan, sehingga Muhammadiyah lebih cepat berkembang di perkotaan daripada
di pedesaan. Dalam perkembangan selanjutnya Muhammadiyah juga mulai menyasar
masyarakat pedesaan dan komunitas-komunitas sosial beragam mulai PSK, petani,
buruh, nelayan, blogger, eksekutif muda, artis dan sebagainya.[4] Kondisi ini tentu
berdampak bagi Muhammadiyah, mereka akan mengkonstruksi Muhammadiyah dengan alam berfikir dan latar
sosio-kulturnya sehingga akan punya warna tersendiri di kalangan Muhammadiyah.
Ketiga, Ragam pemahaman
terhadap pemikiran ideal Kiai Ahmad Dahlan yang dikaitkan dengan realitas
sosial. Muhammadiyah adalah wujud dari cita-cita ideal Kiai Ahmad Dahlan dalam
membangun masyarakat Islam dengan dilandasi pada spirit nilai-nilai Islam,
“welas asih” dan reformasi.[5] Cita-cita ideal
inilah yang terus dikonstruksi dengan beragam metodologi dan kepentingan untuk
menemukan konstruksi se ideal mungkin dengan cita-cita Kia Ahmad Dahlan dalam
menjawab problematika masyarakat. Karena beragam metodologi dan kepentingan
maka otomatis hasil konstruksi pemahamanya terhadap cita-cita ideal Kiai Ahmad
dahlan juga akan bervariatif. Sehingga akan mempengaruhi konstruksi ideal
terhadap Muhammadiyah.
Keempat, paradigma dan
metodologi keilmuan yang berbeda dalam memahami realitas sosial terutama
terkait dengan problem kontemporer di masyarakat. Warga Muhammadiyah memiliki
latar pendidikan yang beragam mulai tidak lulus sekolah sampai Profesor.
Polarisasi latar ini akan berdampak pada paradigma dan metodologi yang
digunakan dalam memahami dan menyikapi persoalan di Muhammadiyah. Fenomena ini
dapat diamati ada sebagai warga Muhammadiyah masih berkutat pada pembahasan
Qunut Sholat Shubuh, TBC, Tahlilan, Ziarah Kubur, Tingkepan, namun ada juga
yang sudah membahas internasionalisasi Muhammadiyah di aras global.
Potret di atas
menggambarkan bahwa struktur sosio-kultur warga Muhammadiyah tidak tunggal.
Kondisi ini secara alamiah di internal Muhammadiyah akan mempengaruhi
polarisasi pemahaman dan sikap keberagamaan, tergantung dari latar sosio-kultur
mereka. Walaupun secara konsep dan
rumusan ide dan strategi perjuangan (ideologi Muhammadiyah) di sepakati bersama dan tunggal melalui
keputusan organisasi. Maka tidak heran kalau di kalangan anggota secara formal
satu organisasi Muhammadiyah, tetapi dalam memahami dan sikap keberagamaannya
bervariatif. Ada yang ber-Muhammadiyah dengan paham ideologi Islam Moderat,
Islam Puritan, Islam Liberal bahkan Islam Radikal “garis keras”.
Polarisasi paham
ideologi tersebut juga berpengaruh terhadap pemahaman dan penyikapan diskursus
pemikiran Islam di kalangan Muhammadiyah. Di antara wacana yang hangat diperdebatkan
di kalangan Muhammadiyah, pertama; penyikapan terhadap isu-isu
kontemporer (Pemikiran Islam), seperti masalah Liberalisme Islam, Sekulerisme
Islam, Pluralisme Islam, Geder dalam Islam,
HAM dalam Islam, Demokrasi Islam, toleransi antar non-Muslim dan
sebagainya. Kedua, penyikapan terhadap relasi Islam dan politik,
persoalan ini hingga saat ini masih menjadi perdebatan hangat terutama
berkaitan dengan konsep Negara Islam (dawlah Islamiyah), Khilafah
Islamiyah, Formalisasi Syariat Islam, dan sebagainya. Ketiga; penyikapan
terhadap idealisasi model dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di masyarakat,
persoalan ini juga menjadi pewacanaan di kalangan aktivis Muhammadiyah,
terutama berkaitan dengan aktualisasi dakwah Muhammadiyah ditengah kemungkaran
sosial dan problem akibat modernitas dan westernisasi.[6]
Wacana di atas
dipahami dan dikonstruksi oleh warga Muhammadiyah dengan dipengaruhi oleh
konstruksi ideologinya, yang kemudian
berdampak pula terhadap sikap keberagamaannya. Pada kajian ini dapat dipotret
varian ideologi keberagaman Muhammadiyah dari prespektif pemahaman ideologinya.
Pertama; varian ideologi keberagamaan Moderat. Varian ini memahami
ideologi Muhammadiyah secara terbuka (inklusif), artinya keberdaan
Muhammadiyah di masyarakat tidaklah sendiri tetapi berhimpit dengan gerakan
sosial keagamaan yang lain (NU-PERSIS-AL-Irsyad-Syiah, dll), sehingga harus
saling menghormati dan toleransi. Kelompok ini juga terbuka dengan perubahan
baru namun tetap memperhatikan tradisi puritan Muhammadiyah. Kelompok ini
mendasarkan pemahamannya pada kaidah ushul al-fiqih “al-Mukhafadhatu ‘ala
al-qadhimi al-ashlah wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah” (Menjaga yang
lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Varian ini dapat
menerima wacana Liberalisme, Sekulerisme, Pluralisme, Toleransi namun tidak
harus diikuti semua, bila di wacana
tersebut ada yang baik maka dapat diadopsi dengan tradisi Muhammadiyah.
Kedua; varian Ideologi Keberagamaan Puritan. Varian ini
memahami ideologi Muhammadiyah secara tertutup, artinya ideologi Muhammadiyah
sudah final dan terbaik kebenaranya daripada ideologi keagamaan yang lain.
Ideologi Muhammadiyah adalah ideologi yang berdasarkan al-Qur’an Hadits dan
berIslam itu harus “murni” berdasarkan
keputusan Tarjih Muhammadiyah, tidak boleh dicampur aduk dengan tradisi
Tahayul, Bid’ah dan Khurufat (TBC). Varian ini paling fundamentalis dan
konsisiten dalam mempraktekan Islam murni ala Majelis Tarjih, atau dalam
istilah Munir Mulkhan adalah Kelompok “Muhammadiyah Al-Ikhlas”[7] atau disebut juga Muhammadiyah “Tus”.[8]
Ketiga; varian ideologi keberagamaan Liberal. Varian ini
memahami bahwa ideologi Muhammadiyah harus didekonstruksi ulang, karena
dianggap kurang relevan untuk dapat menjawab problematikan kehidupan
kontemporer. Konsep-konsep Ideologi Muhammadiyah dianggap produk lama, karena
dikonstruksi pada masa lalu, sehingga
Muhammadiyah dianggap berjalan stagnan, ketinggalan, jumud dan sebagainya. Oleh karena itu jika Muhammadiyah ingin maju “modern” harus
mengadopsi penuh tradisi Barat termasuk pemikiran tentang Liberalisme Islam,
Sekulerisme Islam, Pluralisme Islam. Varian ini melakukan dekonstruksi ideologi
Muhammadiyah biasanya menggunakan perangkat keilmuan kontemporer semisal filsafat, sejarah,
sosiologi, antropologi, psikologi, politik dan lain sebagainya.
Keempat; varian ideologi keberagamaan Radikal “garis keras”.
Kemunculan varian ini dilandasi pada diskursus posisi Muhammadiyah dengan
penegakkan Syariat Islam (semisal Khilafah Islamiyah) di Indonesia. Dan
diskursus aktualisasi ideologi dakwah amar ma’aruf nahi mungkar Muhammadiyah di masyarakat. Pertama;
pada wacana penegakkan Syariat Islam Indonesia, varian ini beranggapan ideologi
Muhammadiyah tidak tegas dalam memperjuangkan penegakan Syariat Islam di
Indonesia “abu-abu” tidak seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam
lainya seperti Hizbut at-Tahrir (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
KISDI, Komite Penerapan Syariat Islam (KPSI) dan sebagainya. Kedua; pada wacana
aktualisasi dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di masyarakat, varian ini
beranggapan ideologi dakwah Muhammadiyah hanya berkutat pada dakwah “amar
ma’ruf” amal baik, namun tidak tegas dan jelas pada aktulaisasi dakwah “nahi
mungkar” terkesan gagap dan membiarkan, tidak seperti yang dilakukan oleh
Front Pembela Islam (FPI) yang lebih tegas dan keras dalam dakwah “nahi
mungkar”. Konstruksi pemahaman ideologi tersebut menjadikan mereka
mengambil langkah dengan mengadopsi ideologi kelompok tersebut (Islam Radikal)
bahkan terlibat juga didalamnya. Sehingga pola ini kemudian mempengaruhi sikap
keberagamaan mereka di Muhammadiyah cenderung radikal dan keras mirip dengan
gaya kelompok Islam radikal yang dianggap lebih Islami dari pada ideologi
Muhammadiyah.
Demikianlah, dan seterusnya. Apa yang dicabar di muka hanya hendak
meneguhkan kontribusi dan signifikansi kehadiran karya akademik Sdr. Solihul Huda, seorang intelektual muda Muhammadiyah, dalam mengurai dan
mengelaborasi keberadaan berbagai modus keberagamaan di tubuh Muhammadiyah yang
cukup beragam. Dia telah berhasil mengajak khalayak pembaca untuk tidak
terjatuh pada reduskionisme akademik yang jamak dialami oleh para ilmuwan dan
masyarakat kebanyakan. Yakni, sikap melakukan generalisasi (sikap ”hantam
kromo”, Jawa) atas apapun yang ada di depan mata kita. Sikap semacam ini
sungguh tidak mencerminkan sikap yang bijak dan dewasa atas realitas sosial
yang begitu kompleks, tidak tunggal atau monolitik. Oleh karena itu, kehadiran
karya ini diharapkan akan melahirkan kedewasaan akademik di kalangan khalayak
pembaca pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
[1] ideologi merupakan landasan yang muncul dari pandangan dunia yang di
gunakan oleh sekelompok orang untuk menjustifikasi tindakan mereka.
Graham C. Kinioch, Ideologi and the social Science (t.tp: Greenwoon
Press, 1981), h.78. Dari konsep diatas, iedologi keberagaman Muhammadiyah
adalah pandangan dasar (keyakinan) oaring Muhammadiyah yang digunakan untuk
menjustifikasi prilakun keberagamaan Muhammadiyah. Rumusan Ideologi
Muhammadiyah diantaranya terdapat di Muaqqadimah AD Muhammadiyah, Matan
Keyakinan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah (PHIWM), AD/ART Muhammadiyah, Khittah Politik Muhammadiyah.
[2]
Munir Mulkhan, Marhaenisme Muhammadiyah:Ajaran dan Pemikiran Muhammadiyah
KH. Ahmad Dahlan, (Yogyakarta: Galang Press, 2013), h.221
[3]
Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan ; Pandangan Kaum Muda
Muhammadiyah, ( Malang: UMMpress, 2009), h.251-252
[4]
Pengalaman ini kemudian memunculkan konsep Dakwah Kultural yang kemudian
dilanjut dengan konsep Dakah Komunitas.
[5] Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis;
Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, (Surabaya; LPAM,
2002)
[6]Arus modernitas berdampak pada pengabain alam
spiritual manusia. Pengabain disebabkan karena orientasi kehidupan modernitas
fokus pada pencapain materialisme sehingga “hampa spiritual” atau meminjam
istilah Maurice Clavel “the great repressed idea” atau “Tuhan telah menjadi ide dasar yang
tertindas” dalam kultural modern. Lihat, A. Syafii Ma’arif, Peta Bumi
Intelektualisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1993), h.213-214
[7] Munir Mulkhan, Marhaenisme Muhammadiyah, h.221