Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fakta-Fakta Penting Pemikiran Liberal dalam Tubuh Umat Islam


Infiltrasi liberalisme ke dalam pemikiran Islam di Indonesia sudah tidak asing lagi. Walaupun istilah Islam yang berarti ketundukan dan liberal yang berarti kebebasan adalah hal yang kontradiktif, namun sepertinya pengaruh wacana liberalisme terhadap pemikiran Islam masih saja kuat. Wacana ini tidak lagi hanya ada di kalangan elit intelektual saja melainkan sudah menjalar ke akar rumput, menjadi pembicaraan menarik bagi kaum muda yang haus akan ilmu, juga yang gelisah terhadap kondisi umat Islam saat ini. Menyikapi hal tersebut, maka perlu untuk mengetahui fakta-fakta penting mengenai pemikiran liberal dalam tubuh umat Islam.

Sejarah Perkembangan Pemikiran Liberal di Dunia Arab

Periodesasi perkembangan pemikiran Islam  dibagi menjadi periode klasik, pra-modern, modern dan kontemporer. Tipologinya; liberal, salafi dan eklektik. Bila dipetakan dari pembagian itu, pintu masuk dari liberalisme di dunia Arab dimulai dengan invasi Napoleon ke Mesir di tahun 1798. Gerakan liberalisasi kemudian semakin menguat lagi dengan dikirimnya beberapa pelajar Mesir untuk melanjutkan studinya di negara-negara Eropa; lewat program yang dicanangkan oleh Muhammad Ali di tahun 1813. Hasil dari program tadi muncul beberapa tokoh; salah satunya Rif’ah Ali Tahtawi yang menerjemahkan beberapa buku pemikir Barat ke dalam bahasa Arab.

Hasil dari gerakan penerjemahan itu, muncul nama-nama seperti Syibli Syumail (1860-1917), Farah Antun (1874-1922) dari al-Jami’ah al-Utsmaniyah, Ya’qub Sarruf (1852-1927), Faris Nimr (1856-1951), Salamah Musa (1888-1958) dst. Pada lanjutannya, melahirkan nama-nama pemikir liberal Muslim, seperti; Qasim Amin, Luthfi Al-Sayyid, Muhammad Husain Haykal, Taha Husain juga Ali Abd al-Raziq.

Kemudian, gerakan Liberal-Sekuler ini semakin meluas lagi, disebabkan kekalahan bangsa Arab dalam peperangan melawan Israel di tahun 1967. Kekalahan itu, secara emosional memunculkan bentuk frustasi yang mendalam di kalangan kelompok elit Arab. Di mana akibat dari peristiwa itu, bangsa Arab merasa terluka dan melampiaskan luka itu lewat kemarahan dan sikap emosi; dengan mengkritisi tradisi, nilai, ulama, politik, sosial, agama, tanpa terkecuali akal Arab. Di sini, masyarakat Arab memasuki periode yang disebut marhalah al-naqd al-ma’rifi. Peristiwa demi peristiwa itu pada muaranya melahirkan gerakan untuk bersikap skeptis pada Islam “sceptics of Islam”. Sebuah gerakan yang mulai mempertanyakan kembali prinsip-prinsip agama Islam yang telah mapan.

Maka saat itu muncullah buku-buku beraliran liberal seperti “Min al-Turath ila al-Thawrah” karya Tayyib Tazini, “al-Nazrah al-Maddiyah fi al-Falsafah al-Islamiyah” karya Husayn Muruwwah, “Naqd al-‘Aql al-Islami” karya Mohammad Arkoun, “Naqd al-‘Aql al-Arabi” karya Abid al-Jabiri, “al-Turath wa al-Tajdid” karya Hassan Hanafi, hingga “Nasiyyah al-Qur’an” karya Nasr Hamid Abu Zayd. Buku-buku tersebut beredar dengan bebas di pasaran. Anehnya, buku-buku ini beredar lepas tanpa ada upaya kritik yang memadahi; buku-buku ini menjadi rujukan di beberapa perguruan tinggi khususnya Indonesia. Di sini, fenomena transnasional Islam liberal di dunia akademik berawal dan bermula.

Inkonsistensi Pemikiran Liberal

Ide liberalisasi juga sekularisasi pada titik tertentu sebenarnya menyalahi prinsip yang ia bawa sendiri; yaitu menggunakan dalil kitab suci sebagai basis pendapat. Di satu sisi ada upaya berlepas; bebas, liberty dari dalil-dalil agama karena dianggap kuno; tidak kontekstual, tapi di sisi yang bersamaan dengan malu-malu, (masih) menggunakan dalil-dalil agama tersebut untuk menjustifikasi keyakinannya. Maxisme, Freudisme, Strukturalisme, Dekonstruksionisme, Feminisme dll, berusaha mencari pembenaran lewat dalil agama.

Sikap yang tidak konsisten dan paradok ini menurut Louay Safi dalam “the Challenge of Modernity” digunakan untuk menegaskan bahwa pemikiran liberal dan sekuler bukan sesuatu yang asing di mata agama “..realized that they cannot win the struggle for their modernist project without taking head on the theoretical basis of religious ideas, that is without turath interpreting the Islamic heritage and using it in support of their claims to legitimacy”. Ini berarti pada kenyataannya, ide liberal sebebas apapun klaimnya tetap tidak bisa terlepas dari dalil-dalil agama; minimal sebagai upaya pembenaran, agar idenya dapat diterima oleh masyarakat secara luas.

Hasil lain dari liberalisasi adalah krisis otoritas. Di mana dalil-dalil agama, tidak lagi dipahami dengan merujuk kepada ulama yang mu’tabar tetapi malah merujuk kepada yang tidak menguasai ilmu agama sama sekali, dengan dalih relativisme kebenaran tafsir, kebebasan berpendapat dan berpikir. Gagasan ini tentunya tidak realistis, naif dan patut untuk dicurigai. Tidak realistis karena riilnya tidak semua penafsiran harus diterima, begitu pula sebaliknya. Penafsiran yang dimaksudkan untuk justifikasi pada ideologi tertentu, kepentingan atau ambisi tertentu; yang menggiring pada paham-paham tertentu jelas ditolak dan tidak bisa diterima dengan alasan apapun.

Naif karena seruan itu akan kembali dan menyerang dirinya sendiri “self defeating”. Keyakinan atas adanya relativitas terhadap tafsir, secara tidak langsung merelatifkan tafsirannya sendiri, dan mengisaratkan bahwa kata-katanya sendiri tidak layak untuk diikuti. Sedang patut untuk ‘dicurigai’ karena ada kemungkinan bahwa seruan itu jangan-jangan adalah tuntutan agar dirinya yang belum layak untuk menafsirkan diberikan hak dan kesempatan untuk menafsirkan al-Qur’an; untuk mengakomodir keyakinannya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika pramugari berlagak menjadi pilot atau perawat berlagak sebagai dokter.

Ciri Khas Gerakan Liberalisasi

Ciri khas dari gerakan liberalisasi adalah di antaranya: pertama, gerakan liberalisasi membongkar struktur terdasar epistemologi Islam yaitu; al-Qur’an, dilanjutkan dengan membongkar struktur-struktur yang lain setelahnya. Kedua, Islam hanya dianggap sebagai norma dan etika semata, tidak disertai dengan syariat. Ini berarti, upaya dekonstruksi dan desakralisasi tampak jelas terlihat. Ketiga, I’adatu Tafsir yaitu adanya upaya menghadirkan tafsir ulang, dan metodologi khas Barat: hermeneutika sebagai pendekatan.

Keempat, inkonsisten dan tidak fair melihat persoalan. Ini bisa dilihat dari bagaimana kalangan liberal dan para pengagumnya begitu kritis kepada para ulama, tetapi di saat yang bersamaan daya kritis itu hilang begitu saja ketika bersinggungan dengan karya-karya yang berupaya menyelisihi Islam; tanpa telaah yang mendalam, mereka menerima begitu saja. Bahkan auto benar dengan sendirinya. Kelima, Ideologisasi dan indoktrinasi dalam bentuk baru. Ciri kelima ini terlihat, bagaimana narasi mengikuti al-Qur’an, sunnah dengan para Ulama salih, dianggap indoktriner. Padahal di saat yang bersamaan, narasi tersebut secara tidak langsung juga bermakna indoktriner; kalangan liberal menginginkan semua umat muslim mengikuti apa yang selama ini mereka hasilkan. Ini adalah bentuk lain dari indoktrinasi dan ideologisasi. Persis seperti peribahasa melayu: “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”.

 Author: M Rizki

(Ketua Bidang RPK Koorkom IMM UINSA 2020-2021)

Editor: Gangga Taruna AJ