Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SKCK Membunuhmu



Berbuat kesalahan merupakan sifat alami manusia, tidak ada manusia di muka bumi ini dengan prilaku yang bersih tanpa pernah melakukan perbuatan kejahatan selama hidupnya. Kejahatan yang dilakukan seseorang bisa jadi adalah karena desakan kehidupan. Karena manusia adalah makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang. Untuk tetap hidup setiap harinya harus terpenuhi kebutuhan primer seperti makan dan minum. Kejahatan bisa terjadi karena berbagai sebab, salah satunya adalah keputus asaan yang membuat seseorang memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang tidak dapat dibenarkan. Cara yang tidak dapat dibenarkan yaitu seperti tindakan kriminal yang di larang dalam undang-undang seperti mencuri, merampok, menipu dan lain sebagainya. Pelaku kriminal tersebut tidak dapat dibenarkan oleh siapapun, kapanpun, dan di tempat manapun. Konsekuensi dari perbuatan kriminal adalah mendekam di penjara sesuai hukum yang berlaku.

Di tengah krisis ekonomi akibat Covid-19 saat ini, sulitnya mencari pekerjaan juga sangat di rasakan oleh mereka-mereka yang pernah menjadi narapidana, yang pernah merasakan dinginnya jeruji penjara di lapas (lembaga pemasyarakatan). Mereka dihadapkan dengan keadaan yang tidak menguntungkan, selain mereka dikucilkan dari lingkungan sekitar, mereka juga mendapat label berlapis setelah keluar dari lapas. Selain label yang diberikan oleh masyarakat, mereka juga diberi cap oleh pihak kepolisian. Label yang tertuang dalam selembar kertas yang di keluarkan oleh kepolisian dalam bentuk SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Cap inilah yang bisa membuat para mantan napi kesulitan untuk mencari kerja. Sudah menjadi kebijakan bagi perusahaan-perusahan dan juga instasi pemerintaran yang ingin melakukan recruitmen harus melampirkan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). 

Labeling Sistematis

SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) merupakan surat yang di lekuarkan oleh kepolisian, baik polsek maupun polres. Dalam pasal 1 angka 4 Peratuaran Kepolisian Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 di sebutkat “ surat keterangan catatan kepolisian adalah surat keterangan resmi yang dikelarkan oleh polri kepada seseorang/ pemohon warga masyarakat untuk memenuhi permohonan yang bersangkutan atau suatu keperluan karena adanya ketentuan yang mempersyaratkan, berdasarkan hasil penelitihan biodata dan catatan kepolisian yang ada tentang orang tersebut”.  

Masyarakat yang pernah masuk lapas mesti berpikir panjang jika mau melamar pekerjaan di instasi pemerintah, atau perusahan-perusahaan yang besar, hal ini disebabkan perusahaan-perusahaan besar pasti mencantumkan persyaratan seperti SKCK dalam proses administrasi recruitmen karyawan. Apalagi pada persyaratan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil), SKCK menjadi salah satu syarat yang selalu dimasukan dalam proses rekrutmen, hal ini sangat membut mereka para mantan napi resah dan kecewa, mengapa harus ada surat seperti ini.

Mantan napi memiliki kosekuensi labeling ketika usai menjalani hukumannya dan kembali ke masyarakat, mereka pasti dapat cap sebagai mantap napu dari masyarakat sekitar. Labeling memang sudah ada sejak dulu sebelum adanya lembaga pemasyarakatan. Namun labeling ini tidak hanya dari masyarakat, pemerintah juga memberi label kepada mantan napi dalam SKCK. Ketentuan ini dirasa sangat tidak adil mengingat tujuan dari lembaga pemasyarakatan itu adalah untuk membuat mereka yang melakukan tindak pidana kembali menjadi lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya.

SKCK Melanggar HAM

Dalam buku kriminologi yang ditulis Prof.Dr. I.S. Susanto, SH. dijelaskan bahwa secara teoritis penjara merupakan usaha memperbaiki dengan cara memeras kemerdekaan seseorang dengan tujuan untuk mengubah prilakunya yang “jahat” menjadi “mematuhi” hukum. Artinya penjara hanya mengambil hak kebebasan dalam bergerak, namun hak-hak yang lain tetap melekat, dan tidak dapat dicabut.

Dalam kaitan antara prilaku mantan napi dan keinginan mantan napi yang berusaha menjadi lebih baik, maka negara harus hadir untuk menyelesakan permasalahan ini. Jangan sampai negara mendikotomi antara yang tidak pernah masuk lapas dan yang pernah berada dalam lapas, karena setiap warga negara memiliki hak asasinya masing-masing. tanggung jawab akan perbuatanya sudah dibayar lunas ketika berada di dalam lapas, mereka dibatasi pergerakannya, hak asasi untuk bisa bergerak secara bebas dicabut sesuai keputusan hakim. Ketika sudah usai menjalani hukuman, harusnya semua hak asasi yang dimiliki akan kembali lagi, negara tidak boleh merengut atau membatasi hak asasinya ketika apa yang diperbuat sudah dipertanggung jawabkan.

Dalam Pasal 28 I ayat 2 UUD 1945 di sebutkan “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dan  Pasal 38 ayat 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga di jelaskan ”Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”

Artinya setiap warga negara, baik yang pernah menjalani hukuman dalam lapas, maupun warga negara yang tidak pernah melakukan tindak pidana, keduannya harus tetap memiliki kedudukan yang sama (equality) di mata hukum dan dalam masyarakat secara umum.

Author: Abadi Marzuki
(Ketua Umum Koorkom IMM UINSA 2020-2021)

Editor: M Rizki