Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan dan Kesetaraan Gender di Indonesia

 


Isu kesetaraan gender saat ini masih menjadi isu yang sering diperbincangan di kalangan aktivis sosial. Kesetaraan gender mengarah pada sebuah keadaan yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Dalam hal tersebut hak yang dimaksud berkaitan dengan hak untuk memperoleh pendidikan yang sama, mendapat perlakuan yang baik dan tidak adanya kekerasan, hak untuk menyampaikan aspirasi di ruang publik, tidak adanya diskriminasi, dll. Kesetaraan gender juga berkaitan dengan penerimaan dan penilaian individu terhadap perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Isu kesetaraan gender di Indonesia masih sering diperbincangkan karena perempuan masih mengalami diskriminasi, kekerasan, ruang aktivitas yang terbatas dalam ranah sosial, ekonomi, maupun budaya.

 Banyak masyarakat yang berpikir bahwa perempuan itu tugasnya hanya di dapur, melahirkan dan mengurus anak serta berbakti pada suami. Perempuan tidak perlu menempuh pendidikan yang tinggi cukup lulus SD, karena memang setelah lulus nantinya perempuan akan menikah jadi akan sia-sia sekolah tinggi-tinggi akhirnya juga menjadi seorang Ibu Rumah Tangga. Masih banyak juga masyarakat yang memiliki pemikiran yang salah terhadap konsep kesetaraan gender, mereka menganggap bahwa kesetaraan gender berarti perempuan juga harus bisa melakukan pekerjaan yang berat seperti laki-laki, tidak perlu adanya cuti hamil/haid, kesetaraan gender juga dianggap menomorsatukan perempuan. Padahal kesetaraan gender sendiri lebih mengarah kepada persamaan mendapatkan hak-hak yang sama antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya diskriminasi, adanya perlakuan yang sama, memperoleh hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, politik dan sosial.

 Dari pemikiran yang salah terhadap peran perempuan dan kesalahan terhadap pemikiran mengenai kesetaraan gender menimbulkan banyak permasalahan yang terjadi di kehidupan masyarakat Indonesia salah satunya yaitu pernikahan dini. Data dari survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2008-2018 menunjukkan hasil bahwa perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun pada tahun 2018 diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 jiwa dan angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara ke-10 dengan angka absolut pernikahan anak tertinggi di dunia.

Melihat dari data yang dipaparkan di atas cukup memprihatinkan karena pernikahan anak di usia dini ini semakin menunjukkan ketidaksetaraan gender di Indonesia, terdapat hak-hak anak yang diambil diantaranya yaitu hak memperoleh pendidikan, hak atas kesehatan, hak untuk terbebas dari kekerasan. Pernikahan dini menyebabkan naiknya kasus perceraian, kekerasan terhadap perempuan, kematian akibat kehamilan dan persalinan dini. Menurut data dari CATAHU Komnas Perempuan pada tahun 2020 terdapat sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 299.991 kasus dan kasus yang paling banyak adalah kasus di ranah personal atau disebut KDRT (Kasus Dalam Rumah Tangga) sebanyak 79% (6.480 kasus) dari kasus tersebut kasus kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama yaitu sebanyak 3.221 kasus.

Jadi jika melihat dari data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan dapat dipahami bahwa pernikahan dini pada anak dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Anak yang masih di bawah umur memiliki kondisi psikologis yang masih belum stabil dan belum matang karena memang pada usia tersebut mereka harusnya masih bermain dengan temannya atau menempuh pendidikan. Kondisi psikologis anak yang masih belum stabil inilah yang kemudian mengakibatkan timbulnya pertengkaran-pertengkaran antar suami istri dalam rumah tangga yang akan mengarah pada kekerasan fisik maupun kekerasan seksual.

Memang pemerintah sendiri telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan tindakan untuk menurunkan angka pernikahan dini di Indonesia namun hal tersebut tidak cukup jika masih banyak masyarakat yang belum memahami mengenai kesetaraan gender. Rendahnya tingkat pendidikan, isu kemiskinan, pemikiran mengenai perempuan yang tugasnya hanya di dapur perlu diubah. Peran kita sebagai seorang mahasiswa sangat diperlukan dalam memberikan sosialisasi dan pemahaman mengenai konsep kesetaraan gender di masyarakat. Kita sebagai mahasiswa tidak boleh mengabaikan permasalahan-permasalahan tersebut karena suatu saat nantinya kita akan menjadi generasi penerus bangsa, sebagai generasi penerus bangsa tentunya kita perlu melakukan aksi perubahan dan membantu terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia serta menjadikan bumi pertiwi ini sebagai tempat yang ramah terhadap perempuan.

Pada lingkup pekerjaan masih banyak kasus diskriminasi terhadap pekerja perempuan hal ini lah yang kemudian mengakibatkan tidak dapat terwujudnya kesetaraan gender dengan mudah di Indonesia. Hak terhadap pekerja perempuan telah diatur dan dilindungi dalam Undang-Undang. Menurut laporan Badan Pusat Statistik telah terjadi pertumbuhan tenaga kerja dari tahun 2018 hingga tahun 2019. Pada tahun 2018 tercatat 47,95 juta perempuan yang bekerja. Jumlah tersebut meningkat setahun setelahnya menjadi 48,75 juta. Jika dilihat dari data yang telah dipaparkan maka seharusnya banyak pabrik-pabrik maupun perusahaan yang telah memahami dan menjamin hak-hak pekerja perempuan yang telah diatur. Namun pada realitas yang terjadi, masih banyak perusahaan atau pabrik-pabrik yang melanggar hak-hak pekerja perempuan.

Terdapat salah satu kasus yang melibatkan perseteruan antara pekerja dengan para pejabat perusahaan yang bersangkutan. Perseteruan itu muncul karena banyak peraturan-peraturan dari perusahaan yang dianggap melanggar hak-hak pekerja perempuan. Banyak pekerja perempuan yang akhirnya keguguran karena dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang berat. Dapat dipahami bahwa perusahaan telah melanggar hak pekerja perempuan yaitu hak perlindungan selama masa kehamilan. Perusahaan harusnya memberikan pekerjaan yang lebih ringan terhadap pekerja perempuan namun, dalam realitas yang terjadi perusahaan tetap memberikan beban kerja yang berat pada pekerja perempuan.

Pelanggaran hak lainnya yang dilakukan oleh perusahaan tersebut yaitu para pekerja perempuan yang bermaksud untuk cuti haid karena sakit harus diperiksa terlebih dahulu oleh dokter perusahaan dan biasanya tidak diberikan izin cuti oleh pihak pengusaha. Padahal hak pekerja mengenai cuti haid telah diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 81 ayat (1), tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Namun, dapat dipahami bahwa kebijakan dari perusahaan seakan menyulitkan pekerja perempuan yang hendak izin cuti haid yang pada akhirnya tidak diberikan izin cuti.

Oleh karena itu kesetaraan gender di lingkungan pekerjaan perlu diwujudkan. Kesetaraan gender di lingkungan pekerjaan dapat diwujudkan melalui pemberian gaji yang sama antara pekerja laki-laki dan perempuan, tidak adanya pelecehan seksual terhadap perempuan, pemenuhan hak-hak pekerja perempuan dan laki-laki, adanya tingkat partisipasi yang sama antara perempuan dan laki-laki. Jika lingkungan kerja dapat mewujudkan kesetaraan gender maka para pekerja perempuan dan laki-laki dapat mengembangkan ide-ide yang mereka miliki dengan baik. Mereka bisa meningkatkan skill yang dimiliki sehingga dapat bermanfaat bagi perusahaan. Adanya kesetaraan gender di lingkungan kerja juga akan membangun ikatan antar para pekerja untuk saling menghormati dan menghargai tanpa memandang status sosial, ras, agama, dan gender.

Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kesetaraan gender di Indonesia masih belum bisa diwujudkan oleh karena itu konsep kesetaraan gender ini harus mulai diterapkan dan ditanamkan mulai dari kecil. Peran keluarga sangatlah penting untuk mewujudkan kesetaraan gender ke depannya. Menjadikan Indonesia sebagai negara yang ramah terhadap perempuan bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu perlu adanya pemenuhan hak-hak yang sama antara anak perempuan dan laki-laki dalam memperoleh pendidikan, perlakuan yang sama, memperoleh hak yang sama dalam kegiatan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Selain itu perlu adanya penerimaan mengenai perbedaan peran yang dipegang oleh laki-laki dan perempuan di masyarakat. Pemerintah juga harus bisa membuat program-program edukasi maupun sosialisasi mengenai pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga kasus-kasus pernikahan dini, pelecehan seksual, kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi pekerja perempuan, dll dapat dicegah dan menurun.

Author: Hasna Nisaul Faizah

Editor: M Rizki