Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Surat Izin Ghosting dari Organisasi


Dalam Kamus Ejaan Kekinian yang judulnya saya karang sendiri, ghosting berarti keadaan dimana individu menghilang tanpa kabar. Bukan hilang diciduk aparat seperti zaman orde baru, melainkan menghilang karena merasa muak, capek, bahkan malas di tengah hidup yang gini-gini aja.

Dalam konteks organisasi, banyak sekali anggota yang ghosting saat kita sebagai jajaran lagi lelah-lelahnya lagi asyik-asyiknya mengurusi beragam acara dan kegiatan. Hal ini yang terkadang membuat seseorang (biasanya sih ketua umum) merasakan tekanan mental dan terbesit impian untuk menjadi tumbuh-tumbuhan saja.

Namun nyatanya kita adalah manusia yang tidak bisa menjelma menjadi entitas selain manusia. Maka mau tidak mau, kita terpaksa menerima realita untuk mengurusi organisasi dengan sumber daya manusia yang segelintir saja. Sementara teman kita yang ghosting ini seakan tidak berdosa mengunggah snap WhatsApp sedang nge-date dengan pasangannya.

Atau jangan-jangan kitalah orang itu? Menghilang karena mulai sadar organisasi ini tidak cocok, merasa bodo amat, atau dalam kondisi sedang banyak masalah dan tidak ingin banyak berpikir. Atau jangan-jangan kita lagi fokus berkarir sebagai beban negara yang tiap harinya rebahan?

Terlepas dari yang apapun kondisi kita, fenomena ghosting ini seakan menjadi masalah umum di tiap organisasi. Terlebih jika sudah berada di sturktural kepengurusan. Mulai dari jabatan sekaligus amanah dari teman-teman, tanggung jawab untuk melakukan pengkaderan kultural, ditambah tugas-tugas kuliah yang kian menumpuk. Belum lagi problem pribadi seperti, masalah finansial maupun faktor keluarga. Premis-premis seperti inilah yang bisa membuat seorang individu lelah.

Rasa lelah itu memiliki pelampiasan yang beragam. Dari bersenggama dengan kopi di tengah kepulan asap tembakau Surya, hingga sampai pada tahap nge-ghosting. Itu semua seakan menjadi hukum alam saat kita berproses di sebuah organisasi; di-ghosting atau nge-ghosting.

Meski membuat tekanan mental, fenomena ghosting ini harusnya bukan dianggap sebagai hambatan, melainkan sebagai dinamika. Bukan hanya sekedar masalah, tapi tantangan yang harus dijawab dengan berbagai solusi. Jika kita ada di posisi ditinggal ghosting oleh teman seorganisasi, mengedepankan sambat rasanya tidak akan mendapat apa-apa. 

Merujuk pada teori need analysis, untuk mencapai sebuah tujuan, yang harus kita lakukan terlebih dulu ialah mencari tahu latar belakang atau background research secara mendetail dari seorang inidividu yang sedang ghosting. Jadi bukan cuma makalah presentasi yang memiliki latar belakang, teman kita yang sedang ghosting juga demikian.

Hal ini penting untuk menggali apa yang menjadi kebutuhan bagi si pelaku ghosting. Dari kebutuhan itu, akan tampak perangkat apa yang sebetulnya dia mau dan kita bisa menjadi fasilitatornya. Ya anggaplah ini untuk menguji sejauh mana humanitas kita. Maka dari itu, penting untuk mengubah pola pikir kita dalam mendekati teman yang ghosting.

Kita bisa coba menanyakan, “Ada masalah apa?” Namun terkadang hal seperti ini tidak bisa didapatkan jawabannya dengan sekali atau dua kali bertanya. Jika itu menyangkut problem keluarga misalnya, maka kedekatan kita akan menjadi faktor penentu seberapa cepat kita mendapatkan jawabannya.

Masalah keuangan dapat menjadi faktor ghosting. Biasanya kita mengadakan serangkaian kegiatan di satu kota, sedangkan tidak semua anggota organisasi memiliki akses finansial untuk datang kesana. Di lain kondisi kita ingin mengadakan kegiatan secara online, akan tetapi tidak semua anggota memiliki paket internet yang cukup. Bisa jadi masalah finansial ini mengharuskan anggota organisasi bekerja dan membuatnya tidak selalu aktif di kegiatan-kegiatan yang diadakan. 

Kita yang tidak tahu latar belakangnya secara pasti terkadang mengedepankan rasa sakit hati lantaran merasa sendiri mengurusi organisasi. Pola pikir seperti ini berasal dari ketidakpekaan yang diperparah dengan sambatan-sambatan kita sendiri. Alhasil gagal pikir membuat kita menghasilkan kesimpulan yang ambyar. Di sinilah solusi tidak bisa dirumuskan.

Penting untuk dicatat bahwa jangan sampai kita terjebak pada pola pikir “manusia fungsional” sebagaimana yang digagas oleh Gabriel Marcel (1889-1973). Maksudnya jangan sampai kita memandang teman yang sedang ghosting ini sebagai manusia yang sekedar memiliki fungsi tertentu dalam organisasi.

Ia harus dipandang sebagai manusia yang layak dimanusiakan. Menanyakan kabar dan menjalin kedekatan emosional kepada teman bukan dalam rangka agar ia tidak ghosting, melainkan sebagai individu yang ingin membantu sesama, sebagai kader yang memang ingin menerapkan nilai humanitas pada dirinya.

Namun jika kita sudah berusaha mencari latar belakang, dan andaikata teman kita memang sulit diajak berorganisasi, setidaknya kita bisa legowo dan kita mendapat pelajaran berharga, yakni berproses dalam merespon realita yang ada.

Lah, tapi kalau kita sendiri yang sudah lelah dan pengen ghosting? Lelah karena banyak tugas misalnya. Memang kewajiban akademis adalah nomor satu. Dan dalam jangka waktu tertentu, tugas-tugas itu terus menumpuk layaknya dosa. 

Meski sadar dengan tugas yang menumpuk dan alih-alih menyelesaikannya, kita justru sibuk push rank Mobile Legends, scrool video TikTok maupun mantengin konten-konten Aldi Taher. Sungguh kita memang tidak tahu diri. Tapi tidak dipungkiri saat tugas kuliah sedang menumpuk, minat berorganisasi rasanya sangat berat untuk dilakukan. Bahkan nugas sering kita jadikan alibi untuk absen rapat, kayak saya.

Selain banyaknya tugas, alasan ghosting lainnya yaitu merasa tidak cocok di sebuah organisasi. Tidak cocok karena ide-ide kita yang tidak terfasilitasi bahkan diabaikan, sampai organisasi yang harusnya menjadi rumah kedua malah menjelma sebagai tempat yang dipenuhi manusia-manusia berkepentingan. Seakan organisasi adalah batu loncatan dan jabatan diimani sebagai nafsu kekuasaan yang harus dimiliki.

Organisasi yang dikendalikan oleh orang-orang seperti itu hanya menghasilkan kegiatan formalitas tanpa makna. Kegiatan-kegiatan yang ribet dan njlimet tidak akan digarap, melainkan fokus pada agenda yang cenderung pragmatis. Dua hal tadi, yakni terganjal oleh banyak tugas dan berada di organisasi yang isinya orang-orang pragmatis, kadang membuat kita pengen nge-ghosting saja.

Dalam konteks Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah (IMM), nilai-nilai religiusitas, humanitas, serta intelektualitas kemungkinan tidak lagi menjadi pijakan dasar. Yang tersisa hanyalah diksi-diksi tanpa penghayatan untuk sekedar branding agenda agar memuluskan kepentingan jangka pendek.

Namun yang harus kita pahami bahwa dibalik organisasi yang besar, ada orang-orang yang sangar; dari yang menahan beban fisik dan mental sampai yang bertahan karena percaya bahwa suatu saat akan datang perubahan. Organisasi kita hari ini masih survive karena adanya orang-orang yang memiliki masalah yang serupa, namun tetap memilih bertahan.

Sebobrok apapun internal, seminim apapun sumber daya, tetap akan ada orang-orang yang ikhlas. Iya, ikhlas sebagai kata kunci memaknai realitas; bahwa idealisme tidak selalu diwujudkan dengan secepat kilat. 

Kadang ada proses panjang sebagai harga perubahan. Proses panjang itu bisa berwujud pemberontakan anggotanya, lenyapnya jumlah orang-orang di dalamnya, maupun diri sendiri yang hobi sambat. Semua itu adalah bagian dari dinamika. Justru inilah asyiknya berorganisasi, kita memang akan dihadapkan pada serangkaian dinamika yang menarik untuk dijalani.

Namun bagaimana jika kita benar-benar lelah dan ingin ghosting? Istirahat bisa menjadi pilihan bijak. Istirahatlah! Ragamu hanya satu dan mentalmu butuh dihibur. Kalau mau, kita juga bisa buat ‘Surat Izin Ghosting’ dari organisasi selama sehari, sebulan, tapi jangan seumur hidup. Karena ada komitmen yang harus diselesaikan.

Author: Habib Muzaki

(Ketua Bidang Hikmah PK IMM Ibn Khaldun 2020-2021)

Editor: M Rizki