Menjawab TWK Perspektif Komisariat Ibnu Khaldun
Kita hidup di negara yang sangat harmonis humoris. Sepertinya, setiap hari ada-ada saja bahan yang bisa kita jadikan bahan guyonan, dari PPN Sembako yang naik sampai Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah agak lama ini menjadi bahan ghibah tingkat nasional.
Sebagai kader IMM Komisariat Ibnu Khaldun yang berada di Fakultas Filsafat dan Ushuluddin, hal ini pernah saya diskusikan dengan teman-teman sekomisariat dalam rangka menelaah secara filosofis terkait kemungkinan-kemungkinan jawaban yang bisa dihadirkan.
Saya beri disclaimer sedikit, di fakultas filsafat ini ada enam jurusan; Aqidah dan Filsafat Islam (AFI), Ilmu Alquran dan Tafsir (IAT), Ilmu Hadits (Ilha), Studi Agama-Agama (SAA), Tasawuf dan Psikoterapi (Tafsitera), serta Pemikiran Politik Islam (PPI).
Di fakultas ini, saya selalu diajak untuk berpikir setiap harinya. Bukan hanya berpikir tentang besok kalau lulus mau kerja jadi apa, namun juga berpikir tentang semua hal sampai ke akar-akarnya. Iya, tiap hari kami kerjanya itu mikir. Namanya juga calon pengangguran filsuf, harap dimaklumi.
Beberapa pertanyaan memang dianggap nyeleneh. Tapi, bukan berarti tidak ada jawabannya. Malah sebenarnya ini adalah pertanyaan dasar yang bisa menjadi bahan diskusi yang asyik dan menarik.
Poligami dan Kontekstualisasi Fiqh Islam
Misal, pertanyaan, “Apakah mau jadi istri kedua atau ketiga?” Iya, ini adalah pertanyaan yang sangat membingungkan. Bagaimana jika yang ditanya adalah lelaki? Ah tapi kita berprasangka baik saja bahwa soal ini hanya ditanyakan kepada perempuan saja.
Jadi bagaimana menurut persepektif kami? Saya berspekulasi bahwa jawabannya akan sangat beragam. Mau bagaimana lagi, Komisariat Ibnu Khaldun memang penuh dengan keragaman dan menjanjikan dinamika pemikiran yang menarik.
Sebagai kader Komisariat Ibnu Khaldun, maka tidak akan puas rasanya apabila hanya menjawabnya hanya dengan jawaban iya atau tidak. Melainkan kami akan mencoba menjawabnya dengan menyuguhkan gejolak pemikiran tentang poligami dalam dinamika fiqh Islam.
Poligami itu boleh, namun dengan catatatan bahwa ada batas menikah dengan empat perempuan dengan catatan dapat berlaku adil. Ini adalah penafsiran yang diyakini umat Islam pada umumnya.
Ulama pembaharu seperti Muhammad Abduh tidak sepakat dengan penafsiran itu. Baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang, yakni dengan alasan:
Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat gugur dalam peperangan antara suku dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu.
Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya.
Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antar suku yang mencegah peperangan dan konflik. Memang, poligami tidak terlepas dari sosio-kultur yang mendasari hukum ini ada.
Namun, ini akan lebih menarik jika seandainya para pasukan kami berkumpul lengkap dalam suatu warung kopi. Mahasiswa Ilha dan IAT akan memberikan argumen berlandaskan dalil beserta penafsiran hermeneutikanya. Mahasiswa PPI akan lebih menyoroti spekulasi politis dari poligami. Mahasiwa AFI dan SAA akan bekerja sama menelurkan argumen filosofis dan terkadang sosiologis.
Pacaran, Lajang, dan Sebuah Argumen Filosofis
Lalu pertanyaan, “Kalau pacaran ngapain aja?” Iya ini pertanyaan yang lumayan berat! Pasalnya, saya lihat kebanyakan kader-kader Komisariat Ibnu Khaldun adalah jomblo, baik jomblo filosofis maupun jomblo fisabilillah.
Bagi jomblo filosofis, mungkin akan menjelaskan argumen filosofis atas dirinya yang tidak pacaran. Saya pernah menggagas konsepsi jomblo filosofis yang bisa dibaca di sini.
Bagi jomblo fisabililah, mungkin pertanyaan ini akan dijawab dengan dalil-dalil seputar haramnya pacaran serta konsekuensi neraka untuk perbuatan bernama pacaran. Wah, saya haqqul yaqin bahwa pertanyaan ini kalau dijawab secara komperhensif maka akan bisa menjadi buku.
Kalau seandainya seperti itu, pengawas ujian TWK harap sabar karena menulis buku itu tidak sebentar, maka kami minta tambahan waktu.
Menjadi jomblo memang tidak mudah. Tapi untungnya, kami ada di fakultas filsafat. Sehingga kami bisa mempelajari banyak argumen untuk membenarkan kejombloan kami eh maksudnya memberikan alasan logis.
Termasuk jika ditanya, “Kenapa umur di atas 30 tahun belum menikah?” Mungkin saja nama-nama seperti Rene Descartes, Immanuel Kant, Soren Kierkegaard, Nietzsche, Simone de Beauvoir maupun Tan Malaka yang hidupnya diabdikan dalam ilmu dan perjuangan, akan dijadikan panutan untuk alasan melajang.
Mungkin ada juga yang menjawab, “Saya mau melajang dan fokus jadi filsuf!” Meskipun sebenarnya Socrates pernah berkata begini, “Bagaimana pun, menikahlah. Kalau kau mendapatkan istri yang baik, kau akan memetik kebahagiaan. Kalau kau mendapatkan istri yang buruk, kau akan menjadi seorang filsuf.”
Jilbab: Antara Individualitas dan Etika Komunitas
Ada juga pertanyaan, “Apakah mau melepas jilbab?” Melepas maupun memakai jilbab ini sebenarnya masalah sepele. Kalau sedang ada di kamar kontrakan dan sedang tidak ada mahram ya tinggal dilepas gitu kan ya. Apalagi Surabaya ini sangat identik dengan segala kepengapannya.
Tapi pertanyaan ini akan menjadi serius apabila kita taruh di konteks ruang publik. Di Barat sudah lama berkembang pemikiran liberalisme yang menjungjung tinggi prinsip individualitas. Sedangkan Islam sebagai agama sangat menekankan prinsip etika komunitas.
Pertanyaan ini sebenarnya ingin mengetahui persepsi individu terkait apakah jilbab sebagai simbol agama harus dikenakan di ruang publik. Bagaimana jika tidak? Dan, pertanyaan ini kalau kita gabut dan mau mengembangkannya, maka akan membawa kita ke diskusi yang menarik serta luas.
Mulai dari sejarah awal mula jilbab itu sendiri sebagai produk budaya secara antropologis, konteks sosial yang sampai akhirnya membuat jilbab wajib dikenakan, sampai pertemuan hukum Islam dengan dinamika kultur masyarakat; menghasilkan berbagai bentuk; sinkretisme, asimilasi, akullturasi budaya.
Bahkan, dinamika pemikiran dari para cendekiawan akan saling bertemu dalam diskusi. Mulai dari pemikiran tokoh Barat seperti Simone de Beauvoir, MacKinnon, Fraser maupun pemikir Timur Tengah seperti Mernissi, El-Saadawi, Leila Ahmed sampai pemikiran tokoh Indonesia semisal Amin Abdullah maupun Quraish Shihab.
Jawaban akhirnya adalah sebuah bentuk refleksi. Iya, mungkin saja yang bertugas mengoreksi ujian TWK malah akan ikut-ikutan berpikir dan melakukan refleksi. Atau mungkin kita akan ngopi bersama di kantor Sekre Korkom untuk melakukan diskusi lanjutan.
Pilih Al-Qur'an atau Pancasila: Sebuah Pertanyaan Aneh
Terakhir, ada pertanyaan, “Pilih Al-Qur'an atau Pancasila?” Pembuat pertanyaan ini, sebenarnya adalah sekelompok elit akademisi yang cerdas. Bagaimana tidak, ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang membutuhkan pengetahuan sejarah dengan analisis sejarah yang tidak mudah dilakukan.
Tentang pertanyaan ini, Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad berkomentar bahwa, "Memang pertanyaan yang aneh dan serba salah." seperti yang dilansir oleh detiknews. Ini mungkin pertanyaan aneh.
Iya aneh, jika menjawab salah satunya antara Al-Qur'an dan Pancasila. Namun bisa jadi, ini adalah pertanyaan jebakan dimana tidak ada jawaban yang benar. Melainkan ini menuntut jawaban yang reflektif dan presentasi untuk menguji sejauh mana wawasan tentang sejarah dan kenegaraan.
Memang, pertanyaan-pertanyaan di TWK memang bisa menjadi bahan diskusi yang menarik. Tapi semua gambaran diskusi di esai ini tidak akan berguna, jika soalnya harus dijawab dengan pilihan ganda. Dan, jika memang seperti itu, berarti yang membuat format TWK ini jelas-jelas ra mashok blas!
Author: Habib Muzaki
(Ketua Bidang Hikmah PK IMM Ibn Khaldun 2020-2021)
Editor: M Rizki