Etika Lingkungan dalam Islam (part I)
Saat ini
terjadi berbagai bentuk krisis lingkungan di berbagai belahan dunia. Isu
lingkungan sudah menjadi kajian ilmuan dan peneliti di seluruh dunia, mencari
solusi terbaik untuk mengatasi masalah. Namun tidak banyak kalangan bahkan
dalam komunitas Muslim sendiri yang menyadari dan mengkaji tentang solusi Islam
tentang masalah ini. Maka pentinglah untuk menyadari dan mengkaji hal ini
terutama bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah muslim.
Framework Islam
Konsep etika
dalam Islam mencakup hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia
dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan
manusia dengan dirinya sendiri. Sangat penting memahami konsep etika (akhlak)
dan bagaimana hubungannya dengan tindakan kita, karena pemahaman itu akan
membimbing kita bagaimana seharusnya berprilaku sebagai makhluk Allah di
bumiNya.
Teori
Imam Al-Ghazali tentang etika menyatakan bahwa belajar tentang akhlak akan
mendorong seseorang kepada perilaku yang baik yang dicintai oleh Allah, dan
akan berdampak baik pula kepada kehidupan seseorang dan masyarakat pada
umumnya. Hal ini perlu dipahami mengingat tidak terlepasnya hubungan antara
akhlak, perilaku dan kehidupan dalam masyarakat.
Etika
lingkungan dalam perspektif Islam mengajarkan dasar interaksi manusia dengan
alam. Alam adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang mesti menjadi renungan
manusia. Marusak alam berarti merusak tanda-tanda kebesaran yang telah Allah tunjukkan
kepada manusia.
Pandangan
Umum
Pandangan
Islam tentang etika memiliki landasan teosentris, di mana etika adalah bentuk
ketaatan kepada Tuhan. Berbeda dengan Islam, pandangan yang banyak berasal dari
barat tidak melibatkan aspek ketuhanan. Pandangan barat terhadap etika
lingkungan secara garis besar dapat dikategorikan kepada Antroposentrisme,
Biosentrisme, dan Ekosentrisme.
Atroposentrisme
adalah pandangan etika manusia terhadap lingkungan adalah untuk kepentingan
manusia itu sendiri. Manusia adalah pusat dari sistem alam, nilai tertingi
adalah manusia dan kepentingannya. Kalaupun manusia mesti menjaga alam, itu
adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Basis
pandangan Biosentrime adalah bahwasanya komunitas moral tidak hanya dibatasi
pada ruang lingkup manusia saja, melainkan mencakup alam sebagai ciptaan
sebagai kesatuan yang hidup. Manusia harus menghormati nilai kehidupan yang ada
pada cintaan.
Berbeda
dengan Biosentrisme yang hanya menfokuskan pada sesuatu yang “dianggap” hidup,
Ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologi, baik yang hidup
maupun tidak hidup. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda
abiotis lainnya saling terkait satu sama lain.
Pandangan
di atas tidak terlepas dari kritik, seperti perbedaan pandangan di kalangan
biosentrisme sendiri tentang apa kriteria sesuatu disebut mahkluk hidup. Kritik
terhadap ekosentrisme salah satunya adalah pandangan ini belum mempunyai
rumusan obligasi atau tanggung jawab yang substantif. Ekosentrisme dianggap
hanya merupakan pandangan manusia terhadap lingkungan, tapi tidak mempunyai
konsep bagaimana seharusnya manusia memanfaatkannya.
Hal ini
mendorong kita untuk mencari pendekatan lain di mana peradaban manusia tetap
hidup tanpa harus merusak alam?.
Islamic
Ethics dan interaksinya dengan alam
Islam telah mengatur bagaimana hubungan antara
manusia dengan sumber daya alam, air sebagai asal kehidupan dan makhluk hidup
lainnya. Kegunaan sumber daya alam salam Islam adalah untuk perenungan akan
kekuasaan Allah, sebagai sarana ibadah, untuk digunakan serta dinikmati
manusia, bentuk keindahan, dan untuk mencukupi segala kebutuhan makhluk hidup
di dalamnya.
Dalam
menggunakan sumber daya alam tersebut, Islam memberikan tanggung jawab kepada
manusia untuk menjaganya. Hak seseorang dalam Islam dibatasi oleh hak makhluk
hidup yang lain, seseorang tidak boleh berlaku semena-mena untuk kepentingan
dirinya.
Sebagai
penghormatan terhadap alam, seringkali dalam Al-Qur’an disebutkan fenomena
alam, juga supaya manusia merenungkan dan mensyukurinya. Dalam surat Ar-Rahman
disebutkan 31 kali ayat فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan”. Penyebutan kalimat itu beriringan
dengan ayat-ayat tentang fenomena peciptaan, keajaiban alam dan tanda-tanda
kebesaran Allah di alamNya.
Allah
menyebutkan kata “air” dalam Al-Qur’an sebanyak 49 kali. Air adalah sumber
kehidupan dan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah yang mesti disyukuri.
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an “ ……….Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup, Maka mengapakah mereka tiada juga beriman“ ( QS. Al-Anbiya ;30 ). “Dan
Allah menurunkan dari langit air dan dengan air itu dihidupkannya bumi sesudah
matinya.” (QS`An Nahl ; 65). “ Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu
ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami
benar-benar kuasa menghilangkannya.”( QS Al-
Mu’minun ; 18 ).
Hewan
juga sering disebutkan dalam Al-Qur’an untuk disyukuri dan direnungkan. Nama
hewan bahkan diabadikan sebagai nama 5 surah yaitu surah An-Nahl (lebah), An-Naml (semut), Al-Fiil (gajah), Al-Ankabuuts (laba-laba),
dan Al-Baqarah (sapi betina), “Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya
(berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang
yang meminumnya” (QS An-Nahl ; 66).
Mengenai
tumbuhan Allah SWT berfirman, “'Dialah yang telah menurunkan air hujan
dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagian menyuburkan
tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia
menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman, zaitun, kurma,
anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.'' (QS
An Nahl: 10-11).
Dalam
sebuah hadist, Rasulullah berpesan agar umatnya gemar menanam sekalipun ia tahu
esok akan mati. Dalam sebuah hadis dikatakan “Jika terjadi hari
kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka
jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR.
Bukhari&Ahmad). Dari Amarah bin Khuzaimah berkata, “Aku
mendengar Umar bin Khathab berkata kepada bapakku. “Apa yang menghalangimu
untuk menanam lahanmu?” Bapakku berkata, “Aku tua renta yang akan mati besok.”
Umar berkata, “Ku yakinkan Kau harus menanamnya.”. (Al-Silsilah
al-Shahihah, Al-Albani).
Bersambung…….
Author: M Rizki
(Ketua Bidang RPK Koorkom IMM UINSA 2020-2021)
Editor: Gangga Taruna A J