Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

IMM Nihil Gerakan dan Kita Memang Harus Pindah Saja


Suasana Korkom malam hari begitu syahdu. Selain aman dari pencidukan, suara air mengalir dari sebuah kolam rumah di depan Korkom yang ditambah dengan kopi bubuk hasil sisa acara Follow Up Komisariat Ibnu Khaldun kemarin, menambah kesyahduan Korkom sebagai tempat yang asyik untuk berdiskusi.

Heningnya malam kala itu, persis seperti heningnya aksi mahasiswa di tengah rakyat yang menjerit kelaparan. Terlebih di tengah situasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ini. Padahal hal ini setiap hari menjadi isu yang selalu dibahas dimana-mana; mulai dari sosial media, tongkrongan ngopi bapak-bapak komplek, sampai pedagang-pedagang pinggir jalan yang curhat saat kita membeli dagangannya.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai eksponen gerakan Muhammadiyah di ranah mahasiswa seperti kehilangan semangat al-Ma’un yang pernah digagas Ahmad Dahlan. Buktinya adalah, di tengah momen PPKM ini kita seakan nggak ngapa-ngapain. Menyuarakan unek-unek ketertindasan rakyat pun kayaknya hanya ada di benak per individu bukannya dibicarakan dalam lingkungan komisariat. Alhasil di ranah komisariat pun, kajian saja enggak apalagi aksi.

IMM sebagai salah satu organisasi mahasiswa, seakan tidak seksi lagi untuk menjadi tempat kita berekspresi membumikan teologi al-Ma’un maupun ber-Fastbiqul Khoirot. Sebagai pengurus komisariat, kita cenderung untuk ‘diam’ di tengah kondisi seperti ini.

Lama-lama, rakyat tidak butuh mahasiswa lagi untuk menyuarakan kegelisahan mereka. Bahkan gerakan mahasiswa kedepannya akan kelihangan simpati rakyat karena mereka hanya bisa mengadakan kajian-kajian-kajian tapi nihil gerakan.

IMM bisa menjadi salah satunya, terjebak dalam paradigma bahwa acara pengkaderan formal (Masta, DAD, Follow Up, Upgrading) itu fardhu ‘ain sedangkan membangun gerakan pro rakyat itu sunnah (baca: tidak dilakukan ya gapapa). IMM lama-lama bisa mengganti namanya menjadi IMGN (Ikatan Mahasiswa Gak tau mau Ngapain). Dan, kader-kader IMM akan menjawab “Ya nggak tau kok tanya saya” ketika ditanya oleh rakyat soal gerakan untuk membela mereka.

Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa di tengah PPKM ini, IMM hari ini malah sibuk mengurusi Muktamar yang bisa saja sangat penuh dengan agenda kepentingan politis.

Semua hal ini lantas membuat kita untuk mempertanyakan kembali terkait komitmen IMM kepada perjuangan yang membela rakyat. Benarkah bahwa organisasi ini diam? Benarkah bahwa IMM lemah syahwat bahkan mandul mengkritisi kebijakan-kebijakan yang membuat rakyat tertindas? Apakah IMM memang tidak memiliki gerakan yang menarik?

Padahal, kalau dibayangkan, sangat asyik apabila IMM menjadi tempat munculnya gerakan dan agitasi kesadaran masal. Tapi kenyataannya adalah IMM itu sendiri seakan menjadi organisasi yang nggak ngapa-ngapain di tengah rakyat yang menjerit kekurangan. Terlebih IMM UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.

Mau bagaimana lagi, IMM UINSA hari ini dihadapkan pada agenda Follow Up yang belum selesai secara merata. Bagaimana mau fokus kepada sebuah gerakan lain jika agenda wajib pengkaderan belum tuntas? Mungkin ini yang menjadi alasan kenapa kita sebagai IMM diam untuk merespon isu PPKM.

Sebenarnya bisa saja IMM ini membuat gerakan untuk minimal mengomentari PPKM sekaligus menyiapkan agenda Follow Up. Tapi lagi-lagi hal ini sulit diwujudkan karena kita menghadapi sebuah masalah klasik; kita kekurangan orang untuk membagi peran.

Diakui atau tidak, kita sangat kurang secara kuantitas. Sudah gitu, ditambah beberapa teman-teman di komisariat banyak yang cuek dan seakan tidak peduli komisariat lagi ngapain. Hal ini sangat terasa sejak agenda DAD beberapa bulan lalu sampai agenda Follow Up barusan ini.

Dari situasi yang seperti ini, melahirkan perasaan malas berorganisasi. Entah itu kita yang memang malas maupun kitanya semangat eh tapi gaada temannya. Saya yakin sebagai seorang anggota IMM, kita benar-benar jenuh di tengah sepaket masalah yang tidak jelas siapa kurirnya ini.

Namun, masalah yang kita hadapi sebenarnya tidak sesimpel “IMM nihil gerakan karena banyak anggotanya yang tidak aktif”. Melainkan sangat kompleks terkait alasan kenapa IMM menjadi tidak yang seperti kita harapkan.

Nah, di tengah situasi gateli ini, saya kebetulan membaca opini berjudul Memahami Hirarki Kebutuhan Kader yang ditulis oleh Bung Prigen, sesosok mahluk tidak signifikan yang berasal dari planet bernama Komisariat IMM al-Farabi.

Bung Prigen dalam tulisannya di atas tadi menawarkan teori kebutuhan manusia yang digagas Abraham Maslow sebagai pisau analisis untuk memahami kenapa ada individu yang tidak aktif di dalam komisariat? Spekulasi yang bisa kita bangun dari teori tadi adalah; komisariat ini tidak memahami kebutuhan seorang individu.

Maslow menjelaskan bahwa ada tingkatan-tingkatan kebutuhan yang harus dipenuhi secara bertahap oleh seseorang. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah; 1) Kebutuhan Fisiologis atau Jasmani, 2) Kebutuhan akan Rasa Aman, 3) Kebutuhan untuk dimiliki dan disayangi, 4) Kebutuhan untuk Dihargai, dan yang tertinggi 5) Kebutuhan untuk Aktualisasi Diri..

Pernahkan komisariat menganalisis mana kader yang mapan secara ekonomi dan mana yang tidak? Bisa jadi, kader-kader yang tidak aktif menemui masalah ekonomi di depan mereka dan kita tidak pernah peduli akan hal itu. Pun, bisa jadi tidak aktifnya mereka disebabkan karena pekerjaan sampingan untuk membantu orang tua.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, Maslow meletakkan kebutuhan fisiologi seperti makan, minum, pakaian, dsb di tingkat pertama yang harus dipenuhi. Kebutuhan ini juga biasa disebut kebutuhan primer yang benar-benar harus dipenuhi sebelum seseorang bisa benar-benar aktif di organisasi.

Saya rasa, setiap orang pun ingin aktif di organisasi yang ia ikuti, tapi kendala ekonomi bisa menjadi penyebab ketidakaktifannya. Maka penting untuk untuk mengetahui apakah kebutuhan ini sudah terpenuhi atau belum di dalam diri kader. Asal kita paham teori ini kita akan lebih memaklumi. Bahkan jika mampu, kita bisa membantunya mencari pekerjaan yang lebih fleksibel atau membagi peran organisasi yang sekiranya bisa ia jalankan sembari bekerja.

Hal-hal yang vital seperti ini tidak akan diketahui apabila kita tidak memiliki kedekatan dengan yang bersangkutan. Kedekatan ini biasanya dibangun melauin insentitas interaksi di lingkungan kampus. Namun saat pandemi, lain lagi ceritanya. Lantas pernahkah pengurus komisariat terjun ke kader-kader mereka untuk menjalin kedekatan ini? Jika anda adalah kader baru, sudah berapa kali pengurus komisariat mengajak ngobrol maupun diskusi dengan cara mendatangi maupun mengajak ngopi?

Meskipun tidak semua terbiasa ngopi¸ tapi beberapa orang menjadikan ngopi sebagai rutinitas. Seharusnya ini dilihat sebagai peluang komisariat untuk membawa suasana IMM kepada suatu individu. Bukannya menunggu individu datang ke IMM. Lewat sering ngopi, disitulah ikatan bersemi. Hal ini juga berkaitan dengan kebutuhan kedua dan seterusnya.

Mengapa berkaitan? Sebab rutinitas ngopi kita bisa membuat kita sering melakukan obrolan. Komunikasi yang intens ini bisa membuat kedua belah pihak akan saling terbuka satu sama lain. Keterbukaan ini membuat individu untuk merasakan bahwa kebutuhan kedua berupa rasa aman telah terpenuhi.

Ketika rasa aman terpenuhi, individu akan berada dalam tahap ketiga dalam hirarki kebutuhan Maslow, dimana individu itu ingin merasa dimiliki dan menjadi bagian dari suatu komunitas. Disinilah komisariat harus berupaya membuat individu sebisa mungkin yakin bahwa dirinya adalah bagian dari komisariat yang dibutuhkan.

Kondisi ini juga akan membuat kader lantang menyuarakan apa saja yang ada di dalam kepalanya. Tergantung bagaimana cara pendengar merespon, namun intinya adalah, individu butuh untuk dihargai dan hal ini termasuk kebutuhan di tingkat keempat. Puncaknya adalah, kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya. Dimana pada tingkat ini, individu butuh wadah untuk berproses menuangkan gagasannya menjadi sebuah gerakan.

Sampai sini, saya sarankan agar kita kembali bertanya-tanya pada diri kita sendiri sebagai pengurus komisariat. Sudahkah kita berusaha memahami kebutuhan kader-kader maupun kebutuhan sesama pengurus? Jangan-jangan, selama ini kita hanya menuntut dan menuntut. Bisa jadi, kita menginginkan kader totalitas tapi kita tidak pernah memberikan fasilitas. Kita meminta keaktifan ini dan itu, tapi kita lupa memenuhi apa yang seharusnya komisariat beri kepada mereka. Alhasil, ketika beberapa teman yang tidak aktif, langsung dicap sebagai kader yang malas, bandel, susah diatur, ruwet, dsb tanpa melakukan analisa terlebih dahulu.

Maka, masalah yang kita hadapi sekarang bukanlah “IMM nihil gerakan karena banyak anggotanya yang tidak aktif” melainkan “IMM nihil gerakan karena bisa jadi kita lupa untuk membangun ikatan.” Kata ‘kita’ ini ya maksudnya adalah orang-orang yang masih ada di komisariat. Terlebih angkatan 2019 yang tidak lama lagi akan naik menjadi jajaran inti dalam struktur kepengurusan periode kedepannya.

Seandainya kita sebagai angkatan 2019 saat naik jajaran inti masih dalam kondisi belum mengenal teman-teman di angkatan 2020, lantas bagaimana bisa bersinergi? Maka ngopi sebenarnya bisa menjadi solusi sebagai langkah awal memahami ketidakaktifan teman kita yang sengkatan maupun kepada kader baru.

Bagi saya pribadi, mengayomi kader adalah dengan memastikan apakah komunikasi kita telah intens atau belum. Tolak ukur mengayomi juga ada di seberapa jauh kita memahami kebutuhannya berdasarkan teori Maslow di atas. Pemahaman ini penting agar kita bisa menjadikan komisariat sebagai wadah bagi kader untuk mengaktualisasikan gagasannya menjadi gerakan.

Dan, jika kita tidak mampu mengayomi kader dengan baik atau lebih spesifiknya kita tidak bisa membangun komunikasi dengan kader, maka ini akan menjadi mindset yang terus terwariskan. Kader tersebut juga tidak memiliki pemahaman untuk membangun komunikasi dengan angkatan di bawahnya. Alhasil, masalah yang kita rasakan akan dirasakan pula oleh angkatan di bawah kita.

Jadi sebelum kita bicara soal gerakan agitasi masal yang pro keadilan, masalah pertama yang harus kita tuntaskan adalah membangun ikatan itu sendiri. Minimal di lingkungan komisariat terlebih dahulu sebelum merekayasa ikatan di tingkat IMM UINSA secara keseluruhan.

Kalau memang selama ini kita rasa bahwa IMM sedang tidak baik-baik saja karena nihil gerakan, sebaiknya kita memang harus merencanakan untuk pindah saja. Maksudnya adalah berpindah dari kondisi gateli ini ke kondisi IMM yang lebih baik kedepannya.

Intinya adalah, jangan sampai kita hanya sambat saat ada kegiatan tapi teman kita jarang aktif. Atau kita hanya bisa mbatin saat IMM nihil gerakan. Iya, bagaimana mau menciptakan sebuah gerakan apabila kita tidak pernah berusaha membangun ikatan?

Author: Habib Muzaki

(Ketua Bidang Hikmah PK IMM Ibn Khaldun 2020-2021)

Editor: M Rizki