Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Hirarki Kebutuhan Kader

Sebagai mahasiswa, sudah seharusnya kita mengubah mindset kita dalam merancang pengkaderan. Mindset yang saya maksud di sini adalah pengkaderan yang berbasis studi ilmiah, atau berbasis teori. Selama pengalaman saya berorganisasi di IMM, saya sering melihat, kawan-kawan apabila hendak menyelesaikan suatu masalah selalu saja berbasis pada asumsi dan pengalaman, padahal terkadang asumsi tersebut dan pengalaman yang ia miliki tidak selalu relevan bagi persoalan tersebut. Bagi saya pribadi, sudah seharusnya kita menyelesaikan masalah dengan basis-basis keilmuan yang kita dapatkan di perkuliahan, kita selesaikan segala persoalan dengan basis teor-teori ilmiah. Penggunaan teori-teori ilmiah itulah yang menandakan kita sebagai seorang akademisi, bukan hanya praktisi organisasi.

        Salah satu teori yang barangkali relevan untuk kita gunakan adalah teori Hirarki Kebutuhan (Hierarcy of Needs) milik Abraham Maslow. Abraham Maslow adalah salah seorang yang mempelopori munculnya aliran psikologi baru, yang biasa dikenal dengan aliran Psikologi Humanistik, atau juga lazim dikenal dengan aliran Mazhab Ketiga. Dinamai Mazhab Ketiga karena kehadirannya yang merupakan kritik bagi dua aliran psikologi lainnya yang lahir terlebih dahulu sebelum aliran Humanistik, yaitu aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme.

        Aliran Humanistik mengkritisi aliran Psikoanalisa yang hanya melihat perilaku manusia sebagai hasil dorongan alam bawah sadarnya saja, pun juga mengkritisi aliran Behaviorisme yang hanya melihat manusia sebagai mesin yang melakukan reaksi atas suatu stimulus. Bagi aliran Humanstik manusia adalah suatu realitas yang kompleks dan tidak bisa disederhanakan begitu saja. Manusia hendaknya dilihat sebagai manusia dengan segala potensi positif yang dimilikinya.

       Dengan demikian aliran Humanistik selalu melihat manusia sebagai seorang individu yang unik dan berusaha untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Manusia mempunyai dorongan yang kuat untuk mengaktualisasikan segala potensinya, yang sayangnya, dorongan itu selalu dimatikan oleh lingkungan, sehingga membuat seseorang tersebut mengalami kegagalan untuk menemukan dirinya yang sejati.

        Kembali pada teori Hirarki Kebutuhan, Maslow melihat bahwa ada tingkatan-tingkatan kebutuhan yang harus dipenuhi secara bertahap oleh seseorang. Mulai dari yang paling dasar yakni kebutuhan jasmaniah, hingga yang paling tinggi kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah, 1) Kebutuhan Fisiologis atau Jasmani, 2) Kebutuhan akan Rasa Aman, 3) Kebutuhan untuk Dimiliki dan disayangi, 4) Kebutuhan untuk Dihargai, dan yang tertinggi 5) Kebutuhan untuk Aktualisasi Diri.

        Lima kebutuhan tadi harus dipenuhi secara bertahap. Pertama-tama seorang harus bisa memenuhi kebutuhan jasmaninya yang paling dasar, yakni makan, minum, pakaian dan kebutuhan biologis lainnya. Setelah kebutuhan-kebutuhan yang biologisnya terpenuhi, maka manusia berusaha memenuhi kebutuhan yang selanjutnya, yaitu rasa aman dari segala ancaman. Oleh karena itu manusia membangun rumah, membangun tempat perlindungan, membangun keluarga dan menciptakan sistem pertahanan yang lain guna mendapatkan rasa aman. Setelah rasa aman dimiliki maka manusia akan beranjak untuk memenuhi kebutuhan lannya, yaitu kebutuhan untuk dimiliki dan disayangi. Singkatnya adalah manusia ingin menjadi bagian dari komunitasnya. Ia ingin mendapatkan perhatian dari rekan-rekan dalam komunitasnya.

        Setelah mendapat tempat dalam komunitasnya, manusia pun mencari kebutuhan yang lebih tinggi lagi, yaitu kebutuhan untuk dihargai. Juga bisa disebut kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan. Pengakuan atas keahlian yang dimilikinya, atau pengakuan atas prestasi-prestasi yang telah dicapainya. Setelah mendapatkan pengakuan, maka tingkat kebutuhan yang lebih tinggi pun menjadi tujuan baru manusia, yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri. Jika kebutuhan-kebutuhan yang lainnya sangat bergantung pada manusia, maka pada kebutuhan terakhir ini faktor manusia lain sudah tidak lagi penting. Bagi mereka yang sudah sampai tahap tertinggi ini, mereka hanya ingin melakukan sesuatu yang bisa bermakna bagi dirinya dan orang lain. Melakukan keahlian yang memang menjadi bidangnya, yang dorongan melakukannya hanya semata-mata untuk tindakan tersebut, tanpa dibayang-bayangi imbalan atau timbal balik.

        Maka dalam memahami kader, kita perlu menggunakan teori di atas sebagai pisau analisa kita. Apakah kader yang sedang kita bina adalah mereka yang berada pada hirarki ketiga, yakni pemenuhan atas kasih sayang, atau malah ia berada pada hirarki kedua, yakni kebutuhan akan rasa aman, karena mengingat ia orang perantauan. Tentu setiap hirarki yang dicapai oleh kader perlu dipenuhi secara berbeda oleh komisariat, tidak bisa kader dipersepsikan sama secara keseluruhan. Setelah kita mengetahui pada hirarki kebutuhan yang mana kader berada, tentu akan mempermudah memutuskan kebijakan apa yang kira-kira perlu dikeluarkan oleh komisariat atau treatment apa yang kira-kira relevan bagi individu tersebut. Dan semua itu membutuhkan komitmen pimpinan komisariat atas kerja-kerja riset dalam melakukan pengkaderannya.

Author: Fadhlur Rohman

(Ketua Umum PK IMM Al-Farabi 2020-2021)

Editor: M Rizki