Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rumi dan Karya Agungnya “Matsnawi”

Kuncup-kuncup mawar, sesegeralah ia bermekar di esok hari kekasih

Sering saya jumpai karya-karya yang penuh kiasan dan makna cukup tinggi dalam karya-karya Maha Agung sang Maulana Rumi, baik dalam kitab babonnya Fihi ma Fihi terbitan penerbit forum maupun karya-karya rangkuman kisah-otobiografi Rumi itu sendiri yang disandur-penulis-penulis Indonesia. Bagi saya karya yang paling fonomenal dan recomended adalah karya “Matsnawi” pasalnya Matsnawi yang terdiri dari enam jilid setebal 2.000 halaman itu, adalah suatu untai puisi yang sangat menarik dan dalam penuh arti dan kental akan makna kebijaksanaan.

Dalam Matsnawi, kita menemukan Rumi bukan hanya sebagai Sufi yang romantik, tapi memang Sufi yang telah matang dan Arif. Kitab itu merupakan karya mengenai perjalanan keruhaniaan (pengalaman spiritual) dalam mencari yang kekal. Dan Rumi telah berhasil menuliskan karya prosa yang dingin dan kaku, dan khas, sesuai pengalamannya sendiri. Dan hal inipun akan dipelajari oleh muridnya Iqbal, murid spiritual tujuh abad kemudian. 

Sebagai karya yang berisikan butir-butir filsafat dan gagasan keagamaan, Matsnawi memang bukan buku filsafat yang pada umumnya ditulis dengan cara yang runtut dan sistematis. Matsnawi adalah sekumpulan prosa-prosa yang penuh ungkapan keromantisan yang mendayu-dayu. Yang sarat akan makna dan samudra kebijaksanaan yang tinggi, bagi para pakar dan pemerhati Tasawuf, tentu Matsnawi tidak asing bagi mereka khususnya penikmat puisi itu sendiri. 

Rumi memancarkan pikiran-pikirannya dalam untuaian-untaian puisi, sebagaimana Nietzshe dalam buku fenomenalnya, also Spracht Zarathustra. Para akar mengatakan bahwa Matsnawi merupakan eksposisi mistisme eksperimental, bukan uraian tentang ajartan Tasawuf. Bahwa perlu di catat bagi saya Matsnawi bukan sebuah ajaran Tasawuf atau konsep pemikiran kusus sufisme-filsafati, Matsnawi adalah prosa-rajutan kata yang penuh untaian kata cinta bagi penikmatnya.

Pada karya Maulana Rumi “Matsnawi” ini Rumi ini banyak mengunakan perbandingan-perbandingan, perumpamaan yang begitu tinggi dan luhur. Memang pada karya-karya prossa maupun sastra sejenismya pada umumnya dinai sebgai kisah didaktik, atau mungkin bisa dikatakan karya-karya sekedar dongeng- dan penuh kisah-kisah garandik yang apik. Tetapi Rumi berbeda, dalam karyanya Rumi ingin mengungkapkan pesan-pesan keagamaan, kereligiusitas dan mistik mendalam yang memiliki kualitas puitik. 

Dalam puisi-puisi tersebut Rumi bukan hanya berbicara pada konsep-konsep sufisme atau gagasan-gagasan pemikiran Rumi. Tetapi lebih pada menjelaskan sebiah konep pribadinya sebagai sang kekasih, yang selalu merindukan kekasihnya, yang jiwanya melimpah dengan kearifan-kearifan yang segar dan selalu memiliki daya tarik dan intriks yang unik mtuk di baca dan di pelajari.

Perlu dibatasi sedikit, bahwa dalam karya fenomental Matsnawi, terselip sebuah inti yang paling kaya dan terpenting sebagai latarbelakang karya agung tersebut. Bahwa konsep tentang cinta pun perlu dibahas dalam esai saya ini, bahwa hubungannya dengan cinta dan kedudukannya dalam karya Rumi sebab memang cintalah yang menjadi inti ajaran Rumi, dan cinta pulalah tema sentral dari Matsnawi. Selurih Arya Rumi dilatarbelakangi 0leh pengalaman religiusitas, dan pengalaman religiusitas inilah yang ingin disampaikan dalam karyanya tersebut. 

Perlu digaris bawahi dalam esai saya ini bahwa pengalaman religiusitas tidak berarti suatu pengalaman yang didobrak oleh observasi terhadap larangan agama maupun hukum tertentu. Melainkan suatu pengalaman yang memiliki tenaga hidup oleh karena dibakar oleh bara api cinta yang begitu menyala. Bagi Rumi cinta berarti “suatu perasaan semesta (kosmik), suatu spirit kesatuan dengan alam semesta”

Kata Rumi, cinta adalah suatu pemulihan terhadap kesombongan diri kita yang berlebihan. Ia adalah dokter semua kelemahan, cinta adalah kekuatan yang menggerakan alam semesta dengan segala hal terjadi dan segala hal yang masih tersimpan tersembunyi. Oleh karena cintalah segala sesuatu berjalan tanpa henti menuju asal-usulnya, tuhan, yang merupakan tujuannya sekaligus. Dalam cimnta kekuatan-kekuatan alam mencapai suatu kesatuan yang unik. Makin seseorang itu mencintai, makin dalam dia menembus ke dalam tujuan-tujuan ilahi kehidupan. Cinta adalah “astrolobe rahasia langit.”

Ada tiga ciri cinta dikemukakan oleh Rumi dalam Matsnawi, pertama bentuk apa yang diekspresikan oleh cinta adalah baik. Kedua cinta berbeda dari perasaan suka dan duka, ia tidak menutut pahala, tak memperdulikan hukuman dan neraka seperti tampak [ada gagasan-gagasan dan pemikiran rabi’ah al-adawiyah yang begitu indah. Ketiga cinta meningkatkan intelektualitas. Sebab kita tidak hidup untuk berfikir, tetapi kita berfikir untuk hidup.

Rumi (1207-1273 M) menyebut Matsnawi sebagai “cahaya bagi kawan-kawan seperjalanan dan harta terpendam bagi pewaris jaoan keruhanian” kata Rumi “setiap orang orang uang tinggal jauh dari sumbernya ingin kembali ke saat ketika dia bersatu dengannya,”  jadi kias yang Rumi gunakan sebagai mana seruling yang diambil dari induk gerombolan bambu, seruling yang digunakan selalu menyenangdungkan suara melodi yang pilu dengan kerinduannya kembali pada induk gerombolannya. 

Sumber segala eksistensi adalah tuhan, dan kepada-Nyalah kita akan kembali. Dengan begitu dasar dari semua keberadaan adalah bersifat keruhanian. Manusia adalah makluk teomorfis, yang menyimpan seberkas cahaya Illahiah dalam dirinya, karena itu tujuan terdalam kehidupan insan itu bersifat Illahiah.

Rumi berpendapat bahwa manusia adalah mikrokosmos (jagad cilik) yang mampu menyerap dan menampung makrokosmos (jagad besar) di dalam bingkainya yang kecil tersebut. Ada ratusan dunia tak terlihat di dalam diri manusia. Sehingga seorang bijak bestari tidak patut mencari keindahan diluaran pada dirinya, bahwa keindahan itu terletak pada dirinya sendiri, melekat pada setiap nafas dan langkah kakinya sendiri. Maka kata Rumi dengan indahnya “kau sendiri adalah (seluruh0 masyarakat, kau satu dan ratusan ribu jumlahnya.”

Author: Aria Bagus Iyana

(Kader PK IMM Ibn Rusyd)

Editor: M Rizki