Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Paradigma Al-Quran dan Objektivasi Islam



Islam Agama Universal

Jika pada tulisan-tulisan yang lalu kita banyak mengkaji tentang Ilmu Sosial Profetik, maka pada kali ini kita akan membahas core atau inti dari Ilmu Sosial Profetik itu sendiri yakni gagasan Kuntowijoyo tentang Objektivasi Islam.

Kita semua telah memahami bahwa Islam adalah agama universal, agama yang kebenarannya sudah tidak terbantahkan, dalam beberapa ayat Al-Quran dikatakan sebagai kebenaran yang ‘Tanpa Keraguan’, ‘Terang Benderang’ dan berbagai istilah lainnya yang menandakan begitu mutlaknya ajaran Islam. 

Tapi justru karena narasi 'kebenaran mutlak' itulah umat Islam terbelah menjadi dua. Ada yang menolak gagasan Islam karena dirasa terbekalang dan tidak modern, ada juga yang kolot sampai menolak kebenaran dari kelompok selain Islam yang berujung kemunduran. Kelompok pertama terjebak pada ‘Sekulerisme’, kelompok kedua mereka yang terjebak pada ‘Dogmatisme’. 

Kaum sekuler telah melihat realitas bahwa umat Islam telah kalah dari semua aspek dengan peradaban Barat, yang pada akhirnya ia mempertanyakan kebenaran teologisnya. 

Di sisi yang lain ada yang secara dogmatis tetap berpegang teguh dengan kebenaran Islam, tapi malah menjadi manusia-manusia yang kolot dan terbekalang.

Objektivasi Islam adalah usaha untuk menghilangkan dualisme itu. Objektivasi Islam berusaha membawa gagasan besar dan nilai-nilai ideal Islam kepada teori-teori yang secara objektif terbukti kebenarannya.

Al-Quran Sebagai Paradigma

Paradigma yang dimaksud di sini adalah merujuk pada pemikiran Thomas Kuhn. Istilah seperti kerangka teoritis (theoretical framework), kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretical orientation), sudut pandang (perspective), atau pendekatan (approach) memiliki pengertian yang kurang lebih sama dengan paradigma.

Jadi ketika berbicara tentang paradigma Al-Quran tidak lagi bicara ayat per-ayat, kata perkata atau huruf perhuruf dalam Al-Quran sebagaimana dalam tafsir maupun fikih. Melainkan sudah bicara tentang gagasan besar, ide dasar, sudut pandang, dan mode berpikir yang dibawa oleh Al-Quran itu sendiri.

Kuntowijoyo menegaskan bahwa Al-Quran harus dipahami sebagai sebuah 'bangunan ide' yang transcendental, sebuah orde, atau sistem yang otonom dan sempurna. Yang dari bangunan ide besar itu, dapat diturunkan kedalam teori-teori sosial yang ilmiah, yang kemudian dari teori-teori itu dapat dijadikan pijakan bagi transformasi sosial.

Sebagai contoh, para penafsir memahami konsep fuqara dan masakin dengan tafsiran moral dan berujung pada kesimpulan bahwa kaum fakir dan miskin patut dikasihani dan diwajibkan untuk diberi zakat, infaq maupun sedekah kepada mereka.

Dengan pendekatan teoritis, kaum fakir dan miskin sudah selayaknya diperjuangkan, dengan memahami konsep tentang fakir dan miskin pada konteks yang lebih riil, lebih faktual, sesuai dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi maupun kultural. 

Sehingga narasi yang dibangun bukan hanya dengan menyantuni kaum fakir miskin saja, melainkan bisa jadi dengan melawan atau mengubah struktur sosial yang telah menginjak-injak dan menzalimi kaum miskin dan mustadh’afin.

Kuntowijoyo dalam hal ini, menawarkan agar para intetelektual muslim khususnya, untuk terbiasa dengan analisis sosial dengan tujuan mengembangkan konsep-konsep dalam Al-Quran. Dan untuk itu ia menawarkan pendekatan sintetik-analitik.

Pendekatan sintetik-analitik yang dimaksudkan Kuntowijoyo adalah menganalisis konsep-konsep normatif Al-Quran menjadi sebuah konstruk teoretis kemudian diterjemahkan pada level objektif di masyarakat yang tentunya dapat diamati (observable).

Cita-cita transformasi sosial dengan pendekatan sintetik-analitik Kuntowijoyo terbagi menjadi tiga wilayah interpretasi, yakni:

(1) memahami konstruk sosial. 

(2) membawa konstruk itu berhadapan dengan interpretasi teks (Al-Quran), dan

(3) hasil penghadapan konstruk sosial dan model ideal teks diwujudkan dalam aksi transformasi sosial.

Objektivasi Islam

Hasil dari pemahaman atas paradigma Al-Quran adalah Objektivasi Islam. Maksud dari Objektivasi Islam adalah menghadirkan konsep-konsep ideal yang dibawa oleh Al-Quran menjadi teori-teori ilmiah yang sifatnya objektif.

Sehingga seluruh kalangan bisa mempelajari dan menerapkan teori-teori tersebut tanpa harus memiliki keterikatan iman dengan agama Islam, dalam artian tidak harus beragama Islam untuk menerapkan teori-teori tersebut.

Apabila umat Islam telah mampu membangun teori-teorinya sendiri yang mampu menjadi pisau analisa dalam mengkaji keadaan masyarakat, umat Islam sudah tidak lagi bergantung pada teori-teori Barat untuk membaca realitas sosial.

Bukan hendak menyangkal teori-teori Barat. Teori-teori Barat tetap akan digunakan untuk memperkaya pisau analisa, namun sebagai upaya kita untuk menghasilkan teori-teori yang berasal dari rahim agama Islam sendiri, sebagai hasil dari pemahaman atas nilai-nilai ideal yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah.

Karena sejatinya umat Islam memiliki permasalahannya sendiri, memiliki alam pikirnya, dan memiliki cara pandangnya sendiri yang bisa jadi tidak sesuai dengan sudut pandang masyarakat Barat dan kondisi sosial Barat.

Selain itu teorisasi nilai-nilai ideal melalui Objektivasi Islam merupakan bentuk upaya kita umat Islam untuk meng-universal-kan ajaran Islam. Sehingga Islam tidak hanya dipahami sebagai nilai-nilai normatif yang subjektif, melainkan sebagai nilai universal yang objektif dan telah terbukti kebenarannya dalam tataran teori ilmu pengetahuan.

Author: Tim Redaksi

(Fadhlur Rohman, Rifaldo Musthofa, & Ayfa FE Auni)
Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA