Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

58 Hari Islam Menjadi Dasar Negara Indonesia


Permasalahan ideologi negara sebenarnya telah usang. Permasalahan ini diselesaikan dengan berdirinya NKRI dengan dasar negara Pancasila. Namun, setelah hal itu disahkan, masih banyak kekecewaan terhadap dasar negara tersebut. Lebih jauh lagi, kekecewaan itu mengakibatkan hasrat untuk mengganti dengan jalan perlawanan. 

Perumusan dasar negara sudah ada sejak zaman belanda. Hal itu dimulai ketika para tokoh terdidik lahir di Indonesia. Para tokoh ini mulai sadar akan semangat nasionalisme dan kesatuan. 

Para tokoh berharap suatu saat Indonesia menjadi wadah yang disebut negara dan memiliki dasar negara. Dasar negara ini menjadi bahan diskusi para tokoh agar menjadi cengkraman kuat dalam kehidupan kelak. 

Dalam sejarah Indonesia, perdebatan antara negara Islam  dan negara sekuler panas di kalangan tokoh sekitar tahun 1920 hingga 1945. Kelompok negara sekuler diwakili oleh Ir. Soekarno, Muh. Yamin dan Dr. Soetomo yang berasal dari PNI (Partai Nasional Indonesia). 

Sedangkan, kelompok pendukung negara Islam berasal dari berbagai organisasi Islam modern maupun tradisional. Kelompok Islam modern terdiri dari Ahmad  Hasan dan Muhammad Natsir yang berasal dari Persis. Sedangkan, Muhammadiyah diwakili oleh KH. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusuma, dan Abdul Kahar Muzakkar. 

Kelompok Islam tradisional juga andil dalam mendukung negara Islam. Mereka adalah KH. Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang berasal dari partai Masyumi. 

Masa tegang perumusan dasar negara adalah ketika rapat BPUPKI. Para tokoh pendukung negara sekuler dan negara Islam mulai mengungkapkan alasan mereka mengenai dasar negara. 

Pada rapat ini, tokoh pendukung negara Islam diwakili oleh Ki Bagus Hadikusuma, H. Agus Salim dan Abdul Kahar Muzakkar dari Muhammadiyah dan KH. Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama. Hasil rapat tersebut belum menemui tiitk terang. Kemudian, dibentuklah panitia sembilan yang bertugas merumuskan dasar negara. 

Panitia Sembilan beranggotakan dari golongan Islam dan Nasionalis. mereka terdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, KH. Wahid Hasyim, Muh. Yamin, Abdul Kahar Muzakkar, H. Agus Salim, Raden Abikusno Tjokrosoejoso, Ahmad Subardjo, dan A.A Maramis. 

Hasil rapat Panitia Sembilan berbuah manis. Mereka berhasil merumuskan dasar negara.  Salah satu yang menarik perhatian adalah sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Menariknya, hasil tersebut merupakan Panitia Sembilan dengan salah satu anggota yang bukan Islam yakni A.A Maramis.

Pada 22 Juni 1945, Hasil sidang Panitia Sembilan tersebut kemudian diterima secara aklamasi pada rapat. Kemudian, disahkan secara resmi pada tanggal 14 juli 1945. Sila pertama ini menandakan perjuangan golongan Islam memulai titik terang. Sila ini dianggap sebagai tahap awal bahwa Islam akan menjadi dasar negara Indonesia. 

Alasan golongan Islam memilih Islam sebagai dasar negara memang mempunyai peristiwa sejarah yang Panjang. Islam memang memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. 

Jasa Islam tidak diragukan lagi dalam melawan penjajahan. Contohnya generasi perjuangan yang bersifat kedaerahan mayoritas adalah Islam seperti Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Pangeran Dipenogoro, perjuangan rakyat Aceh. 

Perkembangan selanjutnya Islam juga berperan ketika sadarnya persatuan dan kesatuan. Organisasi awal untuk mengembangkan Pendidikan juga dipelopori oleh muslim Indonesia seperti Jamiyatul Khair, Al-Irsyad, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dsb. Tak heran, alasan seperti itulah yang menjadi dasar mengapa Islam harus dijadikan sebuah dasar negara. 

Garansi sila pertama nyatanya tidak berlangsung lama. Penolakan mulai muncul dari wilayah timur yang mayoritas tidak beragama Islam. Laporan tersebut disampaikan oleh utusan opsir Kaigun Jepang kepada Moh. Hatta sebelum rapat pada 18 Agustus 1945. 

Utusan tersebut menyampaikan keluh kesal masyarakat timur yang keberatan dengan sila tersebut. Mereka merasa tidak dilibatkan dalam sila tersebut. 

Pernyataan tersebut sempat disanggah oleh Moh. Hatta. Perumusan sila tersebut juga dihadiri oleh A.A Maramis yang juga tidak beragama Islam. Maramis tidak merasa keberatan dengan sila tersebut. 

Namun, Moh. Hatta dibuat tak berkutik saat utusan opsir Kaigun menyampaikan bahwa Belanda mulai melihat posisi Indonesia dan waktu untuk bisa menguasai Indonesia kembali. Alasan ini membuat Moh. Hatta tak mampu menjawab lagi dan menyampaikan pada rapat esoknya. 

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Moh. Hatta sengaja mengumpulkan golongan Islam untuk membahas laporan dari utusan opsir Kaigun. 

Hal ini diharapkan agar ketika rapat tidak ada perdebatan yang Panjang.  Pesan tersebut memberitahukan wilayah timur yang keberatan. 

Kemudian solusi terbaiknya adalah menghapus 7 kata dalam sila pertama. Pesan tersebut dibantah keras oleh Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus tetap bersikukuh mengenai sila pertama tersebut. 

Menariknya, baik Hatta maupun Ki Bagus dibuat terdiam dan goyah dengan keyakinannya bukan atas tuntutan wilayah timur yang keberatan dengan sila pertama. Melainkan, beredarnya kabar Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. 

Karena alasan tersebut, mereka sepakat untuk menghapus tujuh kata garansi Islam sebagai dasar negara. Sila tersebut berubah menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Dengan bergantinya sila pertama, garansi Islam menjadi dasar negara seketika pupus. 

Author: Irfan Zakariah (Anggota Bidang RPK PK IMM Al-Kindi)

Editor: Fadhlur Rohman

.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA