Kenapa Menyebar Proposal Selalu Terasa Sangat Melelahkan?
Matahari mulai menunjukkan dirinya. Pelan-pelan sampai benar-benar terik. Di jam-jam seperti itulah, kader-kader IMM mulai memanasi sepeda motornya. Lalu pikirannya bercabang, dari jam mata kuliah, tugas, dan yang paling urgen adalah: menyebar proposal.
Hal ini sangat rutin menjelang acara-acara kaderisasi; Masa Ta'aruf (Masta), Darul Arqam Dasar (DAD), Follow Up DAD, maupun Upgrading. Tak pelak, menyebar proposal adalah kegiatan rutin yang membuat kita lelah.
Tentang hal ini, pada agenda Upgrading IMM UINSA lalu, saya pribadi pernah berusaha memantik diskusi. Bukan melalui agitasi melalui esai maupun orasi di depan Koorkom. Melainkan ya memproduksi meme.
Saya dikritik habis-habisan kala itu, ya karena memang agak salah sih. Diksi "kurir" sebagai satir dan bentuk perlawanan yang saya harapkan, katanya dicerna secara berbeda oleh masyarakat IMM. Diksi ini, katanya malah membuat banyak yang malas menyebar proposal karena merasa diperalat. Padahal proposal itu cara untuk mendapat dana yang juga untuk menyukseskan acara.
Kegiatan menyebar proposal dianggap sebagai bentuk penindasan oleh jajaran paling atas. Sampai muncul suara-suara sayup yang mengatakan, "Kita hanyalah kurir-kurir proposal".
Pernah di tengah aktivitas ngopi, kegiatan ini ditertawai oleh seorang teman dari organisasi sebelah. Ya maklum sih mereka punya banyak alumni-alumni yang telah mapan.
Tapi sampai sini, coba kita tanya hati kecil kita. Lelah gak nyebar proposal? Terlebih jika yang nyebar proposal hanya beberapa orang dan yang lain tidak peduli.
Jujur, banyaknya agenda kaderisasi yang mengharuskan kita banyak menyebar proposal, bagi saya pribadi sangat melelahkan. Kesannya, kegiatan IMM lebih banyak menyebar proposal daripada membangun gerakannya.
Tapi hebatnya, beberapa ikhlas melakukannya. Lah kok bisa? Ada seorang teman saya yang sudah terbiasa melakukannya di satu kota sendirian. Sepuluh sampai lima belas Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) didatangi sendirian. Proposal Fighter sekali.
Tujuan IMM
Sampai sini saya merenungi kembali tujuan IMM. Yaitu mengusahakan terbentuknya Akademisi Islam yang Berakhlak Mulia dalam rangka mencapai Tujuan Muhammadiyah. Pasti ada yang langsung nyeletuk, "Lah ini kita malah jadi kurir proposal, apanya yang akademisi Islam" Bukan gitu konsepnya Ferguman!
Lalu bagaimana kita harus bersikap? Apa hubungannya menyebar proposal dengan tujuan IMM?
Apa yang kita cari dari aktivitas berkuliah? Pernahkah kita yakin bahwa IMM akan menjadi wadah kita untuk mencapainya? Sebagai individu, pernahkah kita memiliki satu gagasan besar yang ingin kita bangun? Atau cita-cita yang ingin kita wujudkan? Atau gerakan kolektif yang ingin dilakukan sebagai IMM?
Saya pribadi, ingin bermanfaat sebagai mahasiswa. IMM adalah pilihan tempat berproses untuk mewujudkannya. Maka, harus mengusahakan IMM agar lebih baik dari sekarang. Membuat organisasi sekelas IMM memiliki gerakan yang bermanfaat bagi kader, baru bagi umat.
Namun sebelum membangun gerakan, maka butuh kaderisasi. Bagaimana caranya IMM menjadi ekosistem yang mampu merubah kader-kadernya from zero to hero. Maupun membuat kader-kadernya yang sudah memiliki kapasitas memiliki wadah untuk mengaktualisasikan dirinya.
Bentuk Kaderisasi
Ada beberapa tahap dalam kaderisasi. Mulai dari menyiapkan lingkungan bagi kader, internalisasi ideologi, mapping kader, diaspora kader, baru membangun gerakan.
Menyiapkan lingkungan ini sangat penting. Berapa banyak kader yang hilang karena lingkungan yang tak pernah direkayasa oleh jajaran?
Sejauh pengetahuan saya, kader bisa aktif sampai jajaran itu bukan perkara soal ideologi semata. Melainkan ada yang sesederhana karena ia punya banyak teman di lingkungan organisasi.
Kebanyakan dari kita berpikir bahwa individu akan dengan sendirinya memiliki teman. Mungkin iya, tapi tidak berlaku untuk semua kader.
Beberapa kader perlu diajak, satu angkatan perlu sering dikumpulkan dalam sebuah agenda. Ini penting agar kita membuat individu memiliki momentum untuk kenal dengan sesamanya. Terlebih kita punya Sekretariat Koorkom IMM UINSA, sebagai tempat dimana kita bisa mengumpulkan orang-orang.
Namun yang sering terjadi, kader hanya diajak kegiatan saat agenda formal saja. Lah sekarang coba pikir, datang ke acara formal tanpa mengenal satu pun orang itu membuat malas datang. Bener gak?
Itulah kenapa, saya dan teman-teman IMM yang sadar akan hal ini banyak membuat agenda ngopi sebelum Masta. Tujuannya adalah mempertemukan orang-orang untuk meminimalisir ketidakhadiran mereka di Masta. Karena Masta sangat urgen untuk mengenal lebih banyak teman baru.
Sebenarnya, ngopi bukanlah tujuan utama. Karena tujuan utamanya adalah meningkatkan intensitas bertemu. Kita bukanlah organisasi profesional, melainkan kolektif kolegial. Maka, semangat gerakan kita adalah ikatan emosional dengan sesama sebagai yang paling dasar.
Dan, memperbanyak ngopi bisa menjadi cara yang sederhana untuk menumbuhkannya. Ngopi ini berpotensi mempertemukan kader-kader dari lintas angkatan dan komisariat. Dari sana, diharapkan timbul aktivitas diskusi. Hal yang sangat penting dalam rangka mentransfer gagasan dan memperbaruinya. Di situlah internalisasi ideologi, memperbaharui gagasan, dan tujuan-tujuan mulia lainnya akan terwujudkan.
Kalau pembaca sendiri sebagai kader IMM gimana? Dichat WA hanya saat acara formal saja kah? Kalau iya, saya sarankan untuk segera mulai merancang pemberontakan. Sebab, agenda-agenda kultural adalah nyawa bagi IMM hari ini jika masih ingin bertahan.
Jajaran Sebagai Fasilitator
Jika kader harus difasilitasi untuk acara-acara kultural. Maka siapa lagi yang menjadi fasilitator dan inisiator kalau bukan jajaran?
Sepulang Masta pun bukan berarti kita selesai. Acara-acara kultural semisal ngopi maupun futsal pun perlu terus diakan secara berkala. Karena semua perlu untuk lebih mengenal satu sama lain lagi.
Sekretariat Koorkom pun perlu dirawat bersama. Bergiliran untuk stay di sana agar kader tidak sungkan maupun bosan. Terkadang sekretariat sangat sepi. Menjadikan kita malas untuk datang kesana.
Tapi sepertinya Koorkom periode ini memiliki program piket, ya kita doakan dan sukseskan saja. Lagipula menjadi kebanggaan sendiri ketika Koorkom bisa menjadi rumah bagi semua kader.
Lalu sebagai fasilitator, kita juga perlu mapping kader. Ini adalah tahap dimana kita menganalisis untuk mengeluarkan potensi mereka dimana, apa minat dan bakatnya, dsb. Mempertemukan kader lintas komisariat dengan minat yang sama juga diperlukan. Maka memperbanyak interaksi dengan kader menjadi hal yang sangat perlu. Kalau tak kenal bagaimana bisa menganalisis kader?
Mapping ini penting untuk mewadahi keinginan kader. Minat keilmuan misalnya. Itulah kenapa kegiatan kajian dan diskusi menjadi penting. Kadang karena kurang pahamnya kita dengan kader sendiri, lantas kajian hanya dianggap sebagai formalitas semata, seng penting onok. Padahal sesekali menyesuaikan kajian dengan selera kader juga perlu. Mulai dari materi, cara diskusi, suasana, dsb.
Mereka yang suka dalam hal kaderisasi, bisa diikutkan Latihan Instruktur Dasar (LID), kader yang ingin mengasah keilmuan bisa diikutkan Darul Arqam Madya (DAM), bisa pula diberangkatkan ke Sekolah Cendekiawan (kalau masih ada), Baret Merah (BM) di Jogja maupun Forum Cendekiawan Merah di Malang, dll. Semua ini penting di samping nantinya melakukan diaspora.
Menumbuhkan kesadaran semacam ini pada jajaran itu penting. Semakin banyak yang sadar, semakin baik kita dalam membagi peran. Dan, jika kader telah diayomi sedemikian rupa. Hal ini nantinya akan membuat kita semakin mudah untuk membangun gerakan.
Sebuah Refleksi
Melakukan kaderisasi yang serinci ini, bukankah itu tujuan IMM? Yaitu mengusahakan terbentuknya Akademisi Islam yang Berakhlak Mulia dalam rangka mencapai Tujuan Muhammadiyah. Melakukan kaderisasi formal maupun kultural adalah cara kita dalam menciptakan wadah. Di mana kita akan berproses bersama di dalamnya.
Kita sendiri, yang sedemikian rupa berproses di Komisariat, pada saatnya akan menjadi kader Muhammadiyah di tengah Masyarakat. Bahkan kita adalah tonggak negara, sebagai pemuda yang akan berkonstribusi pada kesejahteraan masyarakat.
Sampai sini, mari kembali ke pertanyaan kita bersama. “Mengapa menyebar proposal sangat melelahkan?” Jawabannya sederhana; Karena menyebar proposal dijadikan sebagai tujuan. Padahal itu harusnya dianggap sebagai langkah logis dari kita yang ingin memfasilitasi kader
Di samping adanya kas organisasi maupun support alumni, menyebar proposal sangat penting untuk menjalankan agenda-agenda kaderisasi formal maupun kultural yang sebanyak itu.
Andai cara berpikir ini ada di alam berpikir semua jajaran, mungkin saja menyebar proposal akan lebih mudah.
Tapi malas menyebar proposal pun sebenarnya bukan salah individu semata. Bisa jadi ada yang benar-benar merasa dijadikan alat. Tanpa mengetahui gagasan besar apa yang ingin diwujudkan oleh komisariat, eh ujug-ujug disuruh menyebar proposal. Ya gimana mau tahu, lha wong jajaran saja lupa untuk mengayomi kader.
Intensitas bertemu antar jajaran dan kader saja lupa dibangun sejak awal. Apalagi mendiskusikan kembali apa itu esensi kaderisasi, apa gerakan yang mau dibangun, apa yang kurang, apa yang harus direvisi, dsb.
Author: Habib Muzaki (Ketua Umum PK IMM Ushuluddin dan Filsafat 2021-2022)
Editor: Fadhlur Rohman