Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Modernisasi Islam Untuk Siapa?



Kegelisahan Kang Moeslim

Pada tulisan sebelumnya kita banyak membahas tentang latar belakang dan masa kecil dari Moeslim Abdurrahman. Pada tulisan kali ini akan banyak membahas tentang kegelisahan Moeslim yang melahirkan pemikirannya tentang Teologi Transformatif.

Dalam karir kecendekiawanannya, Moeslim Abdurrahman menghabiskan banyak waktunya untuk memikirkan terkait modernisasi yang dibawa oleh rezim Orde Baru dalam program Pelita (Pembangunan Lima Tahun). 

Moeslim mencoba mengkaji program modernisasi tersebut dan bagaimana pengaruhnya kepada kelompok-kelompok yang termarginalkan.

Moeslim berangkat dari sudut pandang bahwa arus besar modernisasi dengan gagasan pembangunannya telah menghasilkan kehancuran terhadap kaum tertindas. 

Beliau melihat bahwa proses modernisasi, atau yang disebut Orde Baru sebagai pembangunan, ternyata di satu segi hanya bisa di akses oleh kelas menengah atas saja.

Beliau juga melakukan kritik terhadap Teologi Tradisional yang hidup dan berkembang di alam pikir umat Islam di Indonesia yang terlampau sibuk pada perkara yang melangit (Skolastik), sehingga tidak mampu membaca dan menjawab permasalahan ketertindasan yang dialami oleh kaum miskin yang terpinggirkan.

Sementara para ulama atau cendekiawan ‘pembangunan’ yang menjadi agen pemerintah, menjelaskan pentingnya modernisasi dalam pandangan Islam, marginalisasi sosial meluas kemana-mana, khususnya di kalangan masyarakat petani dan buruh yang tidak terjangkau oleh pesan-pesan Islam yang memihak hegemoni pembangunan tersebut. 

Narasi Islam dan modernisasi menjadi diskursus yang hanya bisa didiskusikan oleh anak-anak perkuliahan, dan orang-orang kelas menengah atas, sedangkan umat Islam pada umumnya yang tidak menyentuh bangku perkuliahan, dan memiliki tingkat ekonomi rendah hanya bisa menerima pasrah, narasi modernisasi dan pembangunan tanpa paham apa spirit dan esensi yang dibawa.

Umat Islam miskin yang termarginalkan hanya menjadi objek modernisasi dan bukan subjek modernisasi. Mereka hanya dipaksa menerima, tanpa punya kesempatan untuk ambil bagian dalam merumuskan jalannya pembangunan. Di era reformasi saat ini pun, gejala ini nampaknya belum hilang. 

Teologi Transformatif Sebagai Jawaban

Untuk menjawab persoalan modernisasi dan kejumudan pemikiran Teologi Islam, Moeslim Abdurrahman keluar dengan gagasan Teologi Transformatif.

Dari persoalan-persoalan di atas dapat disimpulkan, bahwa ada suatu keadaan di mana pesan-pesan agama sangat segmentatif dengan proses sosial dan inilah yang menjadi keprihatinannya.

Gagasan Teologi Transformatif ini lebih banyak digunakan sebagai alat kritik terhadap konsep modernisme dan masalah kemiskinan serta ketidakadilan sosial.

Jika ini yang menjadi fokus utama kajian Teologi Transformatif, jelas ini masih sangat relevan dengan persoalan umat dewasa ini. Sampai saat ini, dan mungkin masih jauh kedepan, masalah kemiskinan masih terus menjadi masalah yang belum teratasi dengan baik. Demikian pula masalah ketimpangan, keterbelakangan dan ketidakadilan sosial masih menjadi masalah yang tidak kunjung berakhir.

Gagasan Moeslim tentang Teologi Transformatif di sini menjadi sangat jelas, yakni komitmen kita (sebagai makhluk sosial) terhadap mereka yang tertindas, untuk bersama-sama mengusahakan pembebasan.

Author: Tim Redaksi

(Fadhlur Rohman, Rifaldo Musthofa, & Ayfa FE Auni)

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA