Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teologi Transformatif dan Tiga Problem Kemiskinan



Teologi dan Problem Sosial Ekonomi

Islam di awal kemunculannya adalah sebuah agama yang menjadi energi bagi terjadinya transformasi sosial. Islam turun tidak dengan mendekati penguasa, justru sebaliknya ia lahir dan berada membersamai kelompok-kelompok yang tertindas dan dilemahkan oleh sistem sosial ekonomi yang timpang.

Namun di puncak kejayaan peradaban Islam, Islam berubah dari agama yang merangsang perlawanan pada status quo, menjadi agama yang melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan. Ini terjadi pada umat Islam di zaman dinasti-dinasti, seperti di zaman Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.

Para ulama dan teolog kehilangan kepekaan pada umat yang terpinggirkan dan termarginalkan. Hal itu terbukti dengan maraknya perdebatan-perdebatan teologis yang tidak ada hubungannya dengan persoalan umat. Perdebatan yang muncul terkesan hanya menjadi konsumsi kelompok elit agama.

Syahrastani menyebutkan ada empat masalah teologis yang menjadi pembahasan dalam diskusi-diskusi teologis di abad pertengahan yakni pertanyaan tentang: 

1. Adanya Tuhan.

2. Baik dan Buruk.

3. Berterimakasih kepada Tuhan.

4. Serta kewajiban melaksanakan yang baik serta menjauhi yang buruk.

Para teolog jarang membahas atau memperdebatkan tentang bagaimana raja yang berbuat aniaya pada rakyat, strata sosial yang timpang, dan keadaan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir kaum bangsawan.

Untuk menjawab persoalan tersebut, para cendekiawan muslim kontemporer, tak terkecuali Moeslim Abdurrahman menawarkan konsep tentang Teologi Transformatif. Terlebih melihat arus modernisasi yang makin kuat dan mengguncang kelompok masyarakat di lapisan bawah. 

Teologi Transformatif adalah studi Teologi Islam yang memikirkan dan menyelesaikan berbagai persoalan sosial dan kemanusiaan yang secara nyata dihadapi oleh umat Islam dan umat manusia.

Jadi alih-alih membahas pahala dan dosa, akal dan wahyu, atau takdir dan kehendak manusia, Teologi Transformatif justru berusaha mengkaji ulang Teologi Islam agar mampu menjadi spirit dalam menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan sosial dan mengubah struktur sosial yang tidak adil.

Tiga Problem Kemiskinan

Berdasarkan pemikiran Moeslim Abdurrahman yang ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul “Islam Sebagai Kritik Sosial” ada tiga problem kemiskinan yang dialami orang-orang miskin dan tersingkirkan dalam mobilitas sosial, yaitu:

Pertama, dalam ilmu agama. Menurut Moeslim selama ini orang-orang miskin hanya menjadi konsumen dari agama. Agama yang dikonsumsi pun hanya agama dalam bentuk yang spiritual saja, yang kalau mereka ingin berdialog dengan Tuhan harus memanggil orang yang dianggap expert untuk membaca doa.

Agama tidak menjadikan orang miskin sebagai pelaku agama, tetapi hanya sebagai konsumen agama. Jadi mereka tidak menjadi produsen dari keyakinan agamanya sendiri. Mereka tidak melakukan penghayatan secara mandiri, melainkan menerima begitu saja hasil penghayatan keagamaan dari kelompok elit agama. 

Itulah yang disebut kemudian, tatkala mereka miskin, mengalami kemiskinan, agama seolah-olah menjadi bagian dari bagaimana menjadi orang miskin yang kuat.

Kedua, institusi agama. Majelis Ta’lim dan organisasi-organisasi keagamaan pada umumnya dikuasai oleh kelas-kelas yang lebih tinggi, kelas-kelas yang mempunyai akses kepada hegemoni pembangunan.

Tidak ada circle yang menghimpun orang marginal, tempat mereka memperbincangkan nasibnya, circle yang menjadi wadah perbincangan yang transenden tentang problem kehidupan sehari-hari.

Itu yang Moeslim katakan, bahwa sampai sekarang orang miskin itu sama sekali miskin betul dari kelembagaan agama.

Ketiga, di bidang kelembagaan sosial ekonomi. Orang miskin memang miskin betul dari soal politik. Mereka hanya dimobilisasi untuk pemilu. Jadi tidak ada upaya pencerdasan dan penyadaran, hanya ada penggalangan suara untuk memenangkan calon atau partai tertentu.

Moeslim melihat tidak adanya upaya regrouping orang-orang miskin di dalam komunitas-komunitas ekonomi, yang dengannya mereka bisa memiliki kekuatan ekonomi, walaupun mungkin kecil pada mulanya.

Orang-orang miskin dari kalangan petani, misalnya tatkala panennya tidak ada arti dan tidak ada harga di pasar, serta dirugikan betul oleh mekanisme pasar yang ada, mereka tidak punya wadah untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka dan sama sekali juga tidak memiliki kelembagaan ekonomi yang cukup.

Author: Tim Redaksi

(Fadhlur Rohman, Rifaldo Musthofa, & Ayfa FE Auni)

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA