Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tasawuf dalam Ajaran Suluk Saloka Jiwa

 


Tasawuf dalam bahasa Inggris disebut Islamic Mysticism (mistik yang tumbuh dalam Islam). Adapun tujuan utama dan seseorang yang mengamalkan ajaran tasawuf menurut Abdul Hakim Hasan dalam bukunya al-Tashawwuf Fi-al Syi’ri al-Arabi diterangkan yang artinya sebagai berikut:

Sasaran (tujuan) tasawuf ialah sampai kepada zat al haqq atau mutlak (Tuhan) dan bersatu dengan dia.

Dari konsep di atas jelas bahwa tujuan utama dari tasawuf adalah untuk sampai kepada Allah agar dapat makrifat secara secara langsung kepada zat Allah atau bahkan ada yang ingin bersatu kembali dengan Tuhan. Adapun jalan untuk sampai kepada Allah disebut tarekat (thariqah). 

Makrifat di sini bukan melulu hanya berupa pengetahuan semata, namun berupa pengalaman (experience), yakni ingin bertemu langsung dengan Tuhan melalui tanggapan kejiwaannya. Bukan melalui panca indra serta akal. 

Tanggapan kejiwaan ini dapat dianalogikan seperti halnya mimpi atau mabuk (ectasy) jiwanya sampai ke alam lain. Seluruh aktifitas ketasawufan langsung atau tidak langsung berkaitan dengan tujuan makrifat kepada Allah tersebut. 

Oleh karena itu, aktifitas ketasawufan hanya bisa dipahami hal-hal yang berkaitan dengan tujuan makrifat. Jalan ,untuk mencapai makrifat kepada Allah dalam tasawuf disebut thariqah, yang berarti jalan menuju Tuhan. 

Orang yang menempuh jalan tarekat untuk sampai kepada Tuhan diibaratkan sebagai musyafir dan disebut salik, yakni berasal dari bahasa arab salak al-thariqa (menempuh jalan tasawuf). Memasuki wilayah tarekat ini di Indonesia sering disebut dengan suluk (memasuki tarekat). 

Salah satu yang mencirikan tasawuf dari upaya keberagaman biasa adalah bahwa tasawuf memperkenalkan suatu disiplin yang disebut sebagai suluk. Dalam suluk tercakup penyelenggaraan ibadah secara ihsan seperti dirujuk di atas, yang dihasilkan melalui penerapan mujahadah.

Mujahadah adalah upaya keras penaklukan jiwa rendah (al-nafs al-ammarah bi al-su’) meliputi penanaman zuhud (pembatasan konsumsi sampai tingkat seminimum mungkin), sahar (mengurangi tidur), shamt (mengurangi bicara), dan ‘uzlah (mengurangi pergaulan) serta riyadhah (pelaksanaan berbagai ibadah sunnah, sebagai tambahan yang wajib, termasuk berbagai macam zikir, doa dan sebagainya. 

Dengan karya wirid dan suluk, dalam khazanah kepustakaan Jawa, para pujangga dan cendekiawan Jawa, seperti R.Ng. Ronggowarsito, Yasadipura, K.G.A.A Mangkunegara IV dan lain-lain, tampak berusaha menyerap unsur-unsur ajaran tasawuf Islam dan dipertemukan dengan tradisi ilmu kejawen untuk memperhalus dan meningkatkan aspek kerohanian serta etika ilmu kejawen. 

Ronggowarsito sebagai pujangga Mataram tentu bertugas meneruskan tugas para sastrawan dan budayawan pendahulunya, yakni berusaha mempertahankan dan memelihara serta melestarikan kontinuitas kebudayaan kejawen di satu pihak, dan di pihak lain berupaya mendukung terciptanya stabilitas sosial budaya dengan karya-karya yang bisa menjembatani jurang perbedaan antara lingkungan kebudayaan kejawen dengan lingkungan kebudayaan pesantren.

Stabilitas sosial budaya itu tentu merupakan tugas suci yang diamanatkan oleh raja kepada abdi dalemnya wirid hidayat jati  merupakan satu bentuk karya pujangga Ronggowarsito yang berusaha menyelaraskan dan berusaha mempertemukan tradisi kejawen dengan unsur-unsur etika dan filsafat kerohanian tasawuf. 

Dalam hal filsafat kerohanian dan ketuhanan, Ronggowarsito dalam wirid hidayat jati memilih ajaran tasawuf yang berkembang di aceh abad ke-XVII Masehi, yakni ajaran martabat tujuh yang dikembangkan oleh Syamsudin pasai dan Abdul Raul Singkel. 

Ajaran martabat tujuh ini memang merupakan pengembangan dari ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang sering disebut berpaham monoisme (wahdat al-wujud) dengan teori penciptaan tajaliyah-nya, yaitu suatu ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta dan manusia merupakan penampakan keluar (manifestasi) yang bertingkat-tingkat dari yang esa, yaitu tuhan. 

Dalam ajaran martabat tujuh diterangkan manusia-manusia tercipta dari tajalli dzatuallah melalui tujuh martabat. Dalam wirid hidayat jati konsep martabat tujuh ini dipadukan dengan penghayatan arya sena yang terdapat dalam serat dewaruci.  

Yang perlu dicatat di sini adalah ciri dari seni budaya dan sastra Jawa (kejawen) yang tumbuh pada masa itu, yakni wataknya yang bersifat mistis, mitologis dan feodalis. Agaknya, semua itu merupakan kompensasi dan akibat ditelanjanginya kekuasaan politik kenegaraan oleh pemerintah kolonial belanda serta ditambah dan keinginan para priyayi sendiri untuk mencari kebesaran dan kewibawaan dalam alam yang serba mistis dan mitologis. 

Demi maksud tersebut, maka karya sastra dan budayalah yang dapat menjadi wasilah (perantara) yang paling efektif untuk mempertahankan kebesaran raja dan hak-hak istimewa para priyayi.

Ajaran mistik dan kepercayaan yang mitologi yang serba magis merupakan sarana mempertahankan kepercayaan jawa terhadap konsep “raja titisan dewa”. Oleh karena itu, para pujangga yang bertugas demi maksud tersebut sangat aktif menyerap ajaran tokoh-tokoh sufi yang beraliran union mistik (manunggaling kawula-gusti) bagi pengembangan ajaran ilmu kejawen. 

Ajaran ketuhanan dan Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Abdul Karim al-Jilli, dan Hamzah al-Fansuri beserta muridnya seperti Syamsuddin Pasai amat digemari kalangan ilmu kejawen. Wirid hidayat jati atau serat wirid karya Ronggowarsito berusaha mempertahankan teori penciptaan alam secara emanasi melalui tujuh martabat yang dikenal di aceh dengan ajaran serat dewaruci. 

Dari mana Ronggowarsito mengambil ajaran martabat tujuh ini sulit dilacak. Mungkin dan sastra melayu langsung (karya Syamsuddin atau Abdul Rauf Singkel). Atau dari sastra suluk Cirebonan. Mungkin pula dan gubahan jawa serat tahfah dan juga sangat mungkin dan Serat Centhini. 

Serat Centhini  yang salah satunya penulisnya kakek Ronggowarsito dan juga gurunya, yakni Yasadipura II tampak besar pengaruhnya terhadap pemikiran Ronggowarsito. Atau mungkin wirid hidayat jati merupakan saringan dari Serat Centhini.  Namun sebagai seorang pujangga, Ronggowarsito tampak mengembangkan ajaran martabat tujuh dari dasar pikiran mistik Ronggowarsito. 

Sebagai filsafat mistik wirid hidayat jati merupakan kitab yang ringkas, padat, dan lengkap. Dimulai dari keterangan tentang  Tuhan, teori penciptaan secara emanasi, perincian tentang hakikat manusia, dan laku untuk dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan Tuhan (manunggaling kawula-gusti). Bahkan tercermin pula secara ringkas ajaran budi luhur sebagai sarana mendekati Tuhan.

Author: Aria Bagus Iyana (Ketua Bidang Tabligh PC IMM Ngawi)

Editor: Fadhlur Rohman

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA