Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

K.H. Mas Mansur: “Arek Suroboyo” yang Menjadi Ketua Muhammadiyah

 

Siapa yang tidak mengenal K.H. Mas Mansur, beliau adalah salah satu tokoh muda yang membawa warna baru bagi persyarikatan, terlebih beliau adalah tokoh termuda yang menjabat sebagai Ketua Umum PB Muhammadiyah saat itu, (pen: sebelum berganti nomenklatur menjadi Pimpinan Pusat).

Dia terpilih sebagai Ketua Umum pada Muktamar Muhammadiyah yang ke-26 di Yogyakarta pada usia 41 tahun. Masa jabatannya selama 5 tahun, yakni dari tahun 1937-1942. 

Keluarga dan Kehidupannya

Mas Mansur kecil lahir pada tanggal 25 Juni 1896 di Kampung Sawahan Surabaya Utara.  Ayahnya bernama K.H. Mas Achmad Marzuqi yang juga seorang ulama besar pada zamannya di Surabaya. Ayahnya menjadi tokoh pioner bagi syiar-syiar agama Islam di Kota Surabaya pada kala itu. 

Perlu kita ketahui juga bahwa Mas Mansur memiliki darah ningrat yang mengalir dari garis keturunan ayahnya yang merupakan bangsawan Astatinggi, Sumenep, Madura. Sementara ibunya Raudlah, merupakan wanita kaya yang berasal dari keluarga pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya.

KH. Mas Mansur wafat pada tanggal 25 April 1946. Di tahun 1964, pemerintah Republik Indonesia dengan SK Presiden RI no. 162 tanggal 26 Juni 1964, K.H. Mas Mansur ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional karena kontribusinya dalam pergerakan nasional dalam memperjuangkan Bangsa.

Pendidikan

K.H. Mas Mansur mendapat pendidikan langsung dari ayahnya K.H. Mas Achmad Marzuqi di Pesantren Sawahan. Selain belajar agama langsung dari ayahnya, ia juga pernah belajar kitab kuning di Pesantren Sidoresmo, yaitu Pondok Pesantren Salafiyah An-Najiyah, yang diasuh oleh K.H. Mas Muhammad Thoha. 

Pada 1908, saat K.H. Mas Mansur berusia 12 tahun, ia melanjutkan pendidikannya ke Mekah bersama K.H. Wahab Hasbullah, yang nantinya akan menjadi tokoh NU di kemudian hari. 

Pada 1910, Mekah mengalami pergolakan politik yang cukup besar. Akhirnya K.H. Mas Mansur memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Mesir, yaitu di Universitas Al-Azhar, Kairo. Tepatnya di Fakultas Al-Din yang mempelajari ilmu-ilmu Ubudiyah dan Siyasatul Islamiyah.

Selama di Mesir pula, K.H. Mas Mansur pernah bertemu dan berdiskusi bersama dengan Rasyid Ridha, tokoh pembaharu asal Mesir, yang merupakan murid Muhammad Abduh. 

Di tahun 1914, bulan Agustus Perang Dunia I meletus. Pecahnya perang dunia tersebut mengakibatkan suasana Mesir menjadi tidak kondusif dan karenanya K.H. Mas Mansur memutuskan untuk pulang ke Surabaya pada tahun 1915. 

Karirnya di Muhammadiyah

1. Ketua Cabang Surabaya

K.H. Mas Mansur memulai karirnya saat menjadi Ketua dari Kepengurusan Muhammadiyah Cabang Surabaya yang baru saja berdiri pada 27 April 1921. 

Muhammadiyah Cabang Surabaya sendiri adalah Cabang Muhammadiyah kelima yang didirikan di Jawa Timur pada saat itu. Kantor Muhammadiyah yang baru berdiri itu bertempat di Sawahan, Gang I (sekarang: Kalimas Udik Gang III), Kota Surabaya. 

2. Ketua Konsul Daerah Jawa Timur

Dirasa kepengurusan di Cabang dan Ranting belum memadai, Muhammadiyah dalam Kongres ke-19 tahun 1930 yang berlangsung di Minangkabau, Sumatra Barat, memutuskan Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah  atau hoofdbestuur membentuk perwakilan di daerah dengan nama Konsul Pengurus Besar Muhammadiyah atau disebut dengan Konsul Daerah. 

Pembentukan Konsul Daerah akhirnya terlaksana, wilayah Jawa Timur menjadi salah satunya. Wilayah Jawa Timur dibagi menjadi enam daerah di bawah Konsul ialah Surabaya, Madiun, Madura, Besuki, Pasuruan dan Kediri. 

Pada pendirian Konsul Daerah Jawa Timur itu (pen: sekarang setingkat dengan Pimpinan Wilayah) K.H. Mas Mansur ditunjuk oleh Pengurus Besar atau hoofdbestuur, untuk menjadi Ketua Konsul Daerah Jawa Timur, tepatnya pada tahun 1932-1937. 

3. Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah 

Naiknya K.H. Mas Mansur sebagai Ketua PB Muhammadiyah tidak terlepas dari persaingan dan ketidakpuasan tokoh-tokoh muda Muhammadiyah terhadap para tokoh tua.

Ada keluhan dan ketidakpuasan yang disampaikan oleh para tokoh muda Muhammadiyah. Hal itu dikarenakan mereka merasa hanya menjadi kaki tangan dari tiga tokoh sentral Muhammadiyah, yaitu K.H. Syuja’, K.H. Mokhtar, dan K.H. Hisyam. 

Akibat besarnya ketidakpuasan yang disuarakan oleh tokoh-tokoh muda Muhammadiyah, ketiga tokoh tua itu dengan ikhlas dan lapang dada menyerahkan tampuk kepemimpinan pada generasi muda Muhammadiyah yang saat itu mengikuti Muktamar ke-26 di Yogyakarta pada 1937. Dari kejadian itu akhirnya para tokoh muda sepakat untuk menunjuk K.H. Mas Mansur sebagai Ketua Muhammadiyah. 

Walau sempat menolak, K.H. Mas Mansur akhirnya menerima jabatan itu dengan syarat, yakni Ki Bagus Hadi Kusumo harus mendampinginya di Pengurus Besar.

Ki Bagus Hadi Kusumo yang tidak berkenan masuk kedalam bagian Pengurus Besar kemudian menyarankan K.H. Ahmad Badawi. Dan akhirnya setelah K.H. Mas Mansur bertemu K.H. Ahmad Badawi beliau berkenan menjadi Ketua PB Muhammadiyah yang ke-4.

Author: Tim Redaksi

(Fadhlur Rohman, Rifaldo Musthofa, & Auni)

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA