Al-Ashr, Semua Mengalir
Demi masa!
Manusia tidak akan melangkah ke dalam sungai yang sama.
Sekitar tahun 540 SM muncul salah seorang tokoh pemikir filsafat baru di daerah Ephisus Asia kecil yang bernama Heraclitus. Gagasannya yang bersumber pada alam terkait perubahan terus-menerus, atau semua mengalir (panta rhei) masih kerap dipakai sebagai rujukan.
Contohnya adalah seperti seseorang tidak akan berenang di dalam sungai yang sama. Ya walaupun sungainya sama, pasti ada perbedaan pada saat pertama kali berenang dengan kedua kalinya. Maka dapat diartikan segala sesuatu itu mengalami perubahan entah itu dari prosesnya, kondisi, hasil atau yang lainnya.
Sempat terkesimak sesaat ketika membaca sebuah buku Pengantar Filsafat karya Ali Maksum yang membahas tentang Heraclitus. Jika direnungkan secara mendalam, gagasannya yang dipaparkan oleh Heraclitus ini hampir sama dengan surat Al-ashr yang menerangkan tentang betapa berharganya waktu. Dimanah itu adalah seperti sungai yang mengalir, tidak akan terjadi keberulangan yang sama.
Ayat pertama yang memiliki arti “Demi masa”. Para ulama sepakat bahwasanya yang dimaksud masa adalah waktu, namun terjadi perbedaan pendapat pada yang dimaksud dengan waktu itu seperti apa.
Sebagian ulama mengatakan bahwasanya yang dimaksud dengan waktu yaitu apabila ada aktivitas yang berlangsung di dalam-Nya. Mulai dari makan, bangun tidur, mandi, gosok gigi sampek tidur lagi dan seterusnya. Ini yang dimaksud dengan waktu oleh sebagian ulama.
Dalam tafsir Ibnu Katsir mengartikan bahwasanya yang dimaksudkan dengan waktu adalah waktu shalat Ashar. Sebab mulai pagi hari tenaga mereka sudah diperas habis-habisan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan pada perniagaannya. Sehingga pada waktu sore sudah kelelahan dan lalai pada shalat Ashar.
Ada juga yang mengatakan bahwasanya waktu yang dimaksud dalam surah Al-Ashr adalah waktu ketika nabi Muhammad muncullah dalam pentas kehidupan. Yang mana beliau telah banyak sekali mengukir sejarah yang gemilang dan membawa revolusi moral pada bangsa Arab yang suka mengubur anak perempuan hidup-hidup, mengundi nasib dan lain sebagainya. Bukan bangsa Arab saja tentunya, namun hingga saat ini beliau masih menjadi suri tauladan bagi seluruh umat.
Sedangkan yang dijelaskan oleh Tafsir Al-Misbah yang dimaksud dengan waktu adalah untuk membantah kebiasaan orang-orang arab yang suka berkumpul dan membahas tentang waktu baik dan waktu buruk, waktu sial dan waktu mujur. Hal ini dilakukan untuk mengetahui nasib yang akan didapatkannya. Sebab kebiasaan ini sudah dilakukan secara turun temurun mulai dari nenek moyang mereka hingga ke cucu-cucu mereka.
Dapat disimpulkan bahwasanya dari seluruh tafsir yang telah dijelaskan di atas, semuanya membahas hal-hal penting dan momen-momen penting terkait waktu. Kembali kepada gagasan yang dijelaskan oleh Heraclitus waktu bagaikan sungai yang mengalir maka tidak akan dijumpai lagi apa itu keberulangan yang sama.
Musim panas dan musim dingin, berjalan dan berlari, perang dan damai, susah dan senang serta lain sebagainya semua ini berjalan dan terikat pada waktu. Perubahan yang terus terjadi dan berjalan sesuai rencana serta izin ilahi selalu membuat dinamika pada perputaran waktu.
Waktu adalah modal utama dalam melakukan apa pun, seandainya seseorang sudah tidak memiliki waktu maka dia tidak akan bisa melakukan apa pun sebab sesungguhnya dia sudah mati. Ibarat rumah kontrakan, apabila masa kontraknya sudah habis maka orang yang mengontrak tidak bisa melakukan apa pun lagi pada rumah itu.
Maka pada ayat selanjutnya dalam surah Al-Ashr yang berarti “sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian”. Bagaimana tidak? Sedangkan waktu terus berjalan dan tidak bisa terulang kembali. Hanya kenangan-kenangan yang bisa diabadikan, sedangkan penyesalan hannyalah sekedar penyesalan.
Sangat rawan tentunya ketika kita bermain-main dengan waktu, sekali saja membuat waktu itu sia-sia maka berjuta-juta harapan dan kesempatan telah hilang untuk melangkah ke depan.
Pada ayat yang ke-tiga dan yang terakhir ini memiliki memberikan jawaban dan pengecualian yaitu yang berarti “kecuali orang-orang yang beriman, beramal yang saleh serta saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran”.
Mengutip dari tafsir Al-Misbah bahwasanya pada ayat ini terdapat dua poin penting yang saling melengkapi, Yaitu Aqidah dan Syariah. Pada dasarnya Aqidah yang harus didasarkan kepada pengetahuan yang mendasar sehingga memunculkan iman yang kuat, sedangkan syariah yang berjalan pada proses pengamalannya.
Iman yang kuat membawa si hamba kepada niat yang yakin. Sehingga dalam mengamalkan syariah akan lebih mantap lagi. Seperti hadist nabi yang berarti “segala sesuatu itu tergantung pada niatnya”.
Artinya ketika seorang makhluk memiliki niatan baik maka akan dihitung sebagai kebaikan. Sedangkan jika niat awal buruk maka akan di hitung sebagai keburukan. Ah, tidak membahas itu terlalu dalam karena masih belum menemukan sumber yang cukup.
Baik, maka mari kita lanjut pembahasan kita tentang Heraclitus, pada ayat ketiga diperintahkan untuk saling berwasiat kebenaran dan kesabaran. Sudut pandang dari Heraclitus terkait kebenaran ini dituntun oleh Akal Universal. Nah, sedangkan yang dimaksud Akal atau yang dikenal dengan Logos adalah Tuhan yang menggerakkan segala yang terjadi di dunia ini. Artinya apa, kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang berasal dari Tuhan.
Heraclitus yakin bahwasanya Akal Universal ini ada pada setiap diri manusia, yang menuntun pada suatu kebaikan yang universal. Kebaikan yang universal adalah kebaikan yang diakui oleh banyak orang bahkan seluruh makhluk. Contohnya yaitu mencuri, seluruh makhluk pasti sepakat bahwasanya mencuri adalah suatu perbuatan yang salah. Maka Akal Universal akan memberikan arahan kepada seluruh makhluk agar tidak mencuri.
Segala kegiatan dan kejadian yang dilakukan oleh makhluk tidak akan lepas dari waktu. Entah itu berasal dari Akal Universal atau akal manusia itu sendiri semua itu berjalan dalam keterikatan oleh waktu.
Sehingga ketika waktu itu mengalir bagaikan air sungai, jangan harap akan berulang kembali. Momen yang telah terlewati di waktu yang telah usai tidak mungkin dapat diulang lagi. Seperti itu kiranya kata Heraclitus.
Author: Mahbub Junaidi
(Anggota Bidang RPK PK IMM UF 2021-2022)
Editor: Fadhlur Rohman