Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antara Organisasi dan Batasan Privasi

 


Sebagai mahasiswa Bata-Bata yang juga nyambi menjadi aktivis abal-abal, organisasi merupakan tempat paling nyaman untuk menghilangkan beban dan tuntutan perkuliahan yang terkadang sangat melelahkan. 

Terlebih ketika kita punya support system di sana, kata teman- teman seperti itu. Kader di dalam organisasi juga banyak sekali jenisnya, ada kader militan, kader abal-abal, kader penyu bahkan juga kader bucin yang sering kita jumpai sekarang. 

Sebenarnya kader bucin ini tidak selalu merugikan, justru manusia-manusia spesies ini cenderung menguntungkan untuk organisasi, tergantung bagaimana sudut pandang kita sebagai manusia melihat dan memperlakukannya.

Namun sayangnya manusia "Spesies" ini banyak menjadi korban bully baik dari teman angkatan ataupun seniornya. alasannya klasik, menjalin hubungan di organisasi yang sama. 

Disadari atau tidak, tindakan seperti ini tentu memiliki dampak besar terhadap jiwa loyalitas kader terhadap organisasi. Yang sering dilupakan adalah tidak semua manusia di dunia ini memiliki mental sekuat baja terutama perempuan. 

Perempuan merupakan mahluk perasa yang memiliki sensitivitas lebih tinggi dari kaum adam. Sehingga banyak ditemukan kader ngambek tidak mau berkontribusi karena perasaanya terluka dan kecewa.

Hal-hal seperti itu tentunya sangat menganggu roda organisasi, namun coba kita liat dari sisi yang berbeda. Mari kita lihat dari sudut pandang si kader. Menjadi korban roasting atau korban bully tentunya sangat mengganggu psikis dan bepengaruh pada kesehatan mental. 

Sekali dua kali mungkin tidak menjadi masalah, namun ketika tindakan ini dilakukan berulang tentunya membuat si kader jengah dan berpotensi mengalami cidera hati dan memutuskan ghosting dari Organisasi. 

Sebagian orang akan mengganggap hal- hal seperti ini adalah seleksi alam dan akan selalu terjadi. Tetapi beberapa oknum dari mereka jarang mau memahami alasan mengapa kader- kader yang berpotensi menjadi militan ini memilih tidak aktif lagi.

Menyandang status sebagai Kader dalam organisasi tentu memiliki banyak resiko, mulai dari tidak adanya ruang untuk privasi sampai urusan patah hati pun menjadi konsumsi banyak pihak. 

Kalimat “jadi kader berat kalau tidak serius kamu tidak akan kuat” seolah menjadi asumsi bahwa setiap organisasi mengharuskan kader- kadernya untuk full 100 persen ngurus semua hal yang ada di dalamnya dan menggeser urusan pribadinya. Dari hal tersebut muncul pertanyaan “sampai mana batasan privasi kader yang dimiliki?" 

Batasan dalam privasi tentu menjadi hal sangat penting bagi setiap individu kader, dengan adanya batasan ini ada hal-hal yang tidak bisa dicampuri kepentingan organisasi, atau pun organisasi tidak bisa dicampuri kepentingan dan masalah pribadi.

Menurut Irwin Altman privasi merupakan sebuah proteksi diri terhadap orang lain sehingga kita bisa mengontrol siapa saja yang mengetahui data pribadi dan akses yang kita miliki. Mengutip dari buku Privacy And Freedom yang ditulis oleh Alan Westin ada 4 privasi yang dimiliki oleh manusia yaitu solitude sering diartikan sebagai kesendirian. 

Manusia membutuhkan ruang untuk sendiri dan tidak ingin diganggu oleh siapapun, Intimacy hak untuk menjalin keintiman dengan lingkungan terdekat, seperti keluarga, teman dan pasangan, anonymity hak untuk mendapat kebebasan di ruang publik tanpa diketahui orang yang tidak diinginkan, reverse hak untuk membatasi informasi pribadi dan komunikasi terhadap orang lain.

Dari 4 jenis privasi yang dijelaskan oleh Alan Westin, kita sebagai kader dari suatu organisasi harus mampu membedakan mana hal yang bisa menjadi konsumsi publik dan mana hak- hal yang cukup menjadi konsumsi pribadi. 

Di IMM mengenal adanya slogan "Anggun Dalam Moral Unggul Dalam Intelektual" namun belum banyak kader-kader IMM yang menyadari bahwa menghargai batasan privasi merupakan salah satu wujud nyata dari slogan anggun dalam moral dalam diri kader. 

Menghargai privasi merupakan hal kecil yang memiliki dampak besar terutama untuk kesehatan mental seorang kader. Budaya roasting dan bullying tentu merupakan problem yang selama ini menjadi momok menakutkan untuk kader yang memiliki hubungan spesial atau teman dekat di organisasi yang sama. 

Sehingga perlu adanya pencegahan terhadap budaya-budaya seperti itu, selama tingkah laku kader tidak mencoreng nama baik organisasi dan melanggar AD/ART organisasi.

Menjadi kader akan menyenangkan jika sesama anggota organisasi mampu membangun komunikasi dan ikatan emosional yang baik, tanpa harus menjatuhkan, merendahkan, membully dan juga menghormati sesama. 

Setiap manusia bebas memilih bagaimana jalan hidupnya, sebagai spesies manusia yang baik kita cukup menghargai pilihan hidup seseorang. 

Kewajiban kita sebagai manusia adalah mengingatkan ketika seseorang melakukan kesalahan namun bukan dengan cara yang keras dan menyakiti. poin yang paling penting adalah privasi dan informasi pribadi bukanlah hal yang bisa digunakan untuk bahan ghibahan atau candaan, karena kita tidak pernah tau kesehatan mental seseorang seperti apa.

Author: Nur Rohmah

(Ketua Bidang RPK PK IMM UF 2021-2022)

Editor: Fadhlur Rohman

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA