Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Manifesto Takmir Koorkom

 

"Ada hantu berkeliaran di IMM UINSA, hantu itu bernama gerakan kolaboratif."

Dalam sebuah diskusi, teman saya yang merupakan Ketua Umum IMM Avempace menanyakan kurang lebih begini, "Kenapa IMM kita (IMM UINSA) tidak memiliki sebuah gerakan?" 

Saya yakin, kita juga mempertanyakan yang demikian, kan? Tidakkah kita merasa bahwa IMM kita seakan-akan hanya fokus membuat gerakan kaderisasi entah itu kultural maupun formal semisal Masa Ta'aruf (Masta), Darul Arqam Dasar (DAD), Follow Up, dsb.

Kami lalu mendiskusikan tentang banyak opsi terkait jenis-jenis gerakan yang mungkin kita buat. "Tapi yang paling penting adalah siapa yang mengisi gerakan tersebut?" tambah seorang teman saya yang adalah Ketua Umum IMM Ibnu Rusyd.

Alhasil, selain rasa rindu kepada seorang Immawati, dua pertanyaan besar tadi selalu mengusik saya di penghujung malam. Iya ya, kenapa kita tidak memiliki gerakan yang konsisten dan itu bisa diwariskan? Misalnya kita analisis dulu kebutuhan masyarakat di Jemur Sari, Kecamatan Wonocolo, Surabaya yang merupakan letak Kantor Sekretariat IMM UINSA.

Misalkan hasil analisis itu begini; ada beberapa orang dewasa atau remaja yang belum bisa membaca Alquran dengan baik dan benar. Dan, mereka ingin bisa namun sudah terlanjur berumur. 

Sementara tidak ada tempat belajarnya, karena yang tersedia hanyalah TPQ untuk anak-anak kecil. Nah, kita sebagai agen-agen dakwah mungkin saja bisa kan membuat tempat belajar ngaji untuk mereka yang sudah merasa “telat”?

Menjawab Tantangan Zaman

Dalam bayangan ideal saya begini. Setiap Komisariat, dengan ciri khas keilmuan yang dimiliki, minimal bisa membuat satu gerakan konsisten yang bisa diwariskan.

Teman-teman Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dengan spesifikasi keilmuan keguruannya, bisa menciptakan rumah binaan berbasis pendidikan. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum bisa menciptakan gerakan-gerakan advokasi dan sejenisnya. Teman-teman Fakultas Psikologi bisa membuat gerakan konseling di tengah derasnya isu kesehatan mental. Teman-teman Ushuluddin dan Filsafat, ah… mereka tetap mendiskusikan Tuhan saja deh.

Dari sini, kita harus membedakan dulu bedanya kegiatan berupa kaderisasi dan kegiatan berupa gerakan. Banyak kegiatan belum tentu memiliki gerakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gerakan adalah tindakan terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga-lembaga masyarakat yang ada.

Gerakan butuh kaderisasi, karena “mencari penerus” sangat penting untuk memastikan gerakan tetap ada yang mengisi. Namun, satu periode kita dalam kepengurusan Komisariat bisa dikatakan amat singkat untuk membangunnya. 

Sementara agenda kaderisasi yang harus digarap Komisariat amat memakan waktu dan tenaga. Pengalaman saya, di akhir kepengurusan periode lalu menuju awal kepengurusan baru, kita membuat acara Masta. Acaranya mungkin tiga hari tapi persiapannya hampir tiga bulan!

DAD sendiri agaknya bakal memakan proses sekitar dua bulan. Itu belum ditambah agenda seperti kajian-kajian, Pelantikan, Rapat Kerja, Follow Up, Upgrading, maupun kegiatan-kegiatan kultural seperti menjalin relasi dengan organisasi lain serta alumni. Satu kata, kegiatan yang dilaksanakan Komisariat amat padat dengan waktu yang sempit.

Pertanyaannya adalah, mana ada waktu untuk sebuah komisariat menciptakan gerakan? Terlebih dengan kuantitas kita yang belum seberapa. Apalagi kalau saya perhatikan, kader-kader IMM UINSA juga sibuk di organisasi-organisasi lain. Sebut saja Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dsb.

Kita pun sering mengeluhkan banyak teman kita yang kurang aktif kan? Apalagi kita di masa pandemi dimana untuk bertemu itu susahnya minta ampun. Ketemu di Google Meet? Kuliah lewat sana saja kadang kita masih kesulitan.

Kolaborasi Koorkom dan Komisariat

Koordinator Komisariat (Koorkom) adalah bagian Pimpinan Cabang (PC) IMM yang bertugas membantu sebagian tugas pokoknya. Hal ini untuk mewakili kepentingan-kepentingan PC IMM serta mengatur kerjasama antara Pimpinan Komisariat dalam suatu Perguruan Tinggi. Itu setahu saya dari diskusi dengan beberapa senior.

Tapi Koorkom kita (maupun Koorkom yang lain) agaknya berbeda. Koorkom kita selain sebagai fasilitator untuk Komisariat terkadang berperan sebagai “Komisariat” itu sendiri. Hal ini karena kadang saking banyaknya agenda mereka. Ini bisa menjadi bumerang karena berpotensi terjadi tabrakan dengan agenda Komisariat.

Hari ini masih ada paradigma “Koorkom harus aktif” dan menjadi warisan. Ini bisa menjadi bumerang. Masalahnya, yang mengisi struktur Koorkom adalah mereka yang sudah harus skripsian, bahkan mungkin sudah bersiap-siap mencari lowongan kerja atau sudah bekerja.

Maka, penting sekali untuk mendiskusikan pembagian peran Koorkom dan Komisariat untuk menghindari miss-komunikasi. Kira-kira, bagaimana jika Koorkom adalah pusat gerakan sedangkan Komisariat bertugas sebagai tempat kaderisasi?

Komisariat adalah wadah paling cocok untuk menyiapkan lingkungan bagi kader. Internalisasi ideologi juga terjadi di sini, lewat serangkaian agenda kaderisasi formal maupun kultural. 

Komisariat, dengan background keilmuan yang unik juga bisa menjadi tempat kader-kader memperdalam keilmuan mereka. Maka penting untuk Komisariat mengadakan banyak kajian. Amal tanpa ilmu itu niscaya. Dan, amal kita adalah gerakan yang mana ini bisa menjadi tugas Koorkom.

Sebagai Ketua Umum IMM Ushuluddin dan Filsafat, saya pernah memimpikan begini; komisariat saya ini punya gerakan kepenulisan, punya agenda pemberdayaan berupa rumah binaan, serta punya tim futsal sendiri.

Tapi tidak semua kader suka menulis, tidak semua mampu mengabdi di rumah binaan, pun tidak semua berminat berprestasi dalam olahraga. Namun, Koorkom punya peluang dengan delapan komisariat yang ia koordinir. Eh maksud saya tujuh komisariat, kan Saintek masih ancang-ancang memisahkan diri.

Di tengah agenda kaderisasi mereka, Komisariat bisa melakukan mapping kader. Memetakan minat dari kader-kader di tujuh komisariat. Data ini bisa diolah Koorkom untuk menginisiasi Gerakan yang isinya adalah kader-kader lintas komisariat.

Mapping ini juga tidak sembarangan. Bukan hanya bertanya “apa minatmu?” tapi juga menanyakan, “Jika minatmu x, dan Koorkom mengadakan Gerakan x, Apakah kamu bersedia mengisinya?” Jenis kegiatan yang terbanyak diminati bisa dibuatkan gerakan. Untuk hal ini, teman-teman Psikologi bisa membuat kuesioner yang lebih bagus.

Kebayang kan, jika IMM UINSA memiliki gerakan pemberdayaan bagi masyarakat Jemur Sari. Punya gerakan kepenulisan yang fleksibel agar Website kita tidak mati. Punya tim futsal yang menarget juara di turnamen. Semua produk ini akan menjadi daya tarik ketika masa-masa Open Recruitment kader baru.

Ada sebuah pernyataan dari Ketua Komsiariat IMM Ibnu Rusyd yang sangat penting untuk kita renungkan bersama, 

"ber-IMM tidak harus terus-terusan berfokus ke kajian dan kajian. Kalau bisa kita ini menciptakan sebuah kader yang berprestasi. Membentuk mereka menjadi sociopreneur, atlet olahraga, dll supaya kader kita punya tujuan di IMM. Menjadi tempat untuk melatih kemampuan sesuai dengan minat dan bidang dari masing-masing kader.”

Jadi kita tidak perlu bosan dengan hanya dengan agenda kaderisasi beserta persiapannya yang memakan waktu dan tenaga. Jika selama ini kegiatan kita di IMM hanya kaderisasi maupun kajian, mungkinkah ini menjadi sebab banyak kader yang bosan? Silakan didiskusikan. Sepertinya, ini waktu yang tepat untuk mulai berpikir sebagai IMM UINSA dan meletakkan primordial Komisariat di tempat yang tepat.

Koorkom Sebagai Pusat Gerakan

Ada sebuah tulisan dari kader saya yang menarik. Ia mengatakan begini, “Sebagai Pusat Agama, Masjid Nabawi menjadi sarana Nabi Muhammad menyampaikan dakwah. Termasuk juga pusat kegiatan ekonomi dan politik bermuara.” 

Dalam konteks IMM UINSA, Kantor Sekretariat IMM UINSA (atau yang biasa kita sebut Koorkom) bisa menjadi pusat dalam membangun gerakan sebagai bentuk dari dakwah.Kenapa Koorkom? Saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan memulai mendongeng. Semoga pembaca tidak ngantuk.

Saya ingat betul bagaimana awal masuk IMM. Datang ke pos penerimaan kader baru di samping Fakultas Syariah dan Hukum, mengisi formulir dan langsung dimasukkan ke grup WhatssApp mahasiswa baru (maba). 

Lalu menjadi kader semi-aktif pada kegiatan-kegiatan komisariat maupun kegiatan koordinator komisariat (Koorkom). Dan, sampai sekarang, (masih) menjadi kader hyper-active di organisasi ini. Meskipun demikian, dulu saya hanyalah kader tidak signifikan di IMM ini. Tidak seperti yang lain, awal-awal masuk IMM, saya tidak memiliki kenalan satu pun. 

Ditambah kala itu, saya tidak mengikuti Masa Ta’aruf (Masta) yang merupakan kegiatan formal pertama sebelum berproses disini. Masta sendiri adalah momentum bertemunya para mahasiswa baru (maba) yang mengikuti IMM sekampus. Tidak mengikutinya, berarti kehilangan peluang besar mencari teman.

Tapi namanya juga maba, saya merasa hal ini tidak seberapa masalah, toh masih ada Darul Arqam Dasar (DAD) yang merupakan kegiatan inti dalam pengaderan setelah Masta. 

DAD sendiri tidak seperti masta yang sekampus, namun sefakultas (baca: komisariat). Bahkan, di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat ini, bisa dihitung jari berapa yang mengikuti IMM. Jumlahnya, bisa dikatakan untuk membentuk tim futsal pun masih kurang.

Sampai pandemi menerjang, saya tidak kenal siapapun di luar komisariat saya. Dengan teman-teman se-komisariat, baik sesama angkatan maupun kakak-kakak tingkat, kenal hanya sebatas kenal, tidak pernah sampai ngopi dan diskusi mendalam. Berarti kurang lebih setahun sudah saya berproses di IMM dan menjadi kader semi-aktif, apatis, dan sangat tidak signifikan.

Sampai suatu saat, saya memberanikan diri dolen ke Kantor Sekretariat IMM UINSA atau yang sering disebut Koorkom. Itu pun masih malu-malu karena baru pertama masuk ke sana. 

Tempat ini fungsinya sebagai basecamp IMM se-UINSA. Kadang dijadikan tempat rapat, kajian, diskusi, ngopi, sampai untuk sekedar numpang tidur. Ya salah satunya saya, dari yang awal-awal numpang tidur, sampai nginep berhari-hari.

Kadang-kadang, saya merasakan Koorkom sangat sepi seperti hatimu yang tanpa ayang. Sepi itu dirasakan banyak orang dan beberapa mulai melakukan segala upaya untuk meramaikan Koorkom kembali. Saya pun terpantik juga sehingga kadang berhari-hari di Koorkom tanpa pulang. 

Selain meramaikan Koorkom, aktifitas sehari-hari yang saya lakukan ya mengisi ulang Sunlight, menyapu halaman belakang, menginisiasi masak, dsb. Dan, karena semua itu, entah sejak kapan saya mulai mendapat julukan Takmir Koorkom.

Padahal, lebih cocok dapat julukan Marbot Koorkom, tapi ah sudahlah. Yang jelas, dalam KBBI, diksi takmir lekat dengan upaya meramaikan atau memakmurkan. 

Dan dari julukan ini, saya mulai merenung kembali ide tentang masjid Nabawi tadi. Koorkom sebagai aset, bisakah kita manfaatkan untuk membangun gerakan? Dan, timbul sepercik ide bahwa meramaikan dan memakmurkan Koorkom menjadi penting.

Karena lewat pengamatan saya kecil-kecilan, sebagian kader masih bertahan di IMM ya karena punya banyak teman, dan relasi itu kebanyakan lintas Komisariat. 

Bukan karena ideologi atau kegiatannya semata. Sesederhana memiliki temanlah yang membuat kita bertahan. Itu juga yang saya rasakan. Kebanyakan main ke Koorkom merubah saya dari awalnya kader semi-aktif menjadi kader hyper-aktif.

Ini menyebabkan munculnya ikatan emosional, yang juga melahirkan handarbeni (rasa memiliki). Hal-hal yang kelihatannya remeh seperti nobar timnas, masak bareng, tidur berjamaah, ngopi dan diskusi sampai subuh, sampai bolos Jumatan bersama ternyata menjadi sebab munculnya semua “keraketan” itu. Tapi khusus point terakhir sebaiknya jangan ditiru!

Ikatan emosional ini menjadi penting ketika ada agenda-agenda besar. Dari Kepanitiaan Masta 2021 lalu, saya belajar banyak terkait ini. Kesuksesan Masta 2021 menjadi sejarah, dan itu semua karena kita kompak siang-malam berdiskusi sampai berjibaku menyiapkan peralatan dan kebutuhan. 

Ikatan emosional sebagai modal kita membuat lebih mudah untuk membangun tujuan bersama. Pada akhirnya, semua lelah itu terasa asyik dan menyenangkan untuk dikenang.

Tapi itu saja belum cukup. Karena hari ini banyak sekali suara-suara dari para kader agar IMM memiliki gerakan yang konsisten dan diwariskan, tidak melulu kajian dan rapat saja. Tujuan ini menjadi penting untuk selalu didiskusikan, dieksekusi, dievaluasi, berdiskusi kembali dan memperkuat gerakan yang sudah kita bangun.

Apapun gerakan yang akan kita buat itu, butuh banyak peran dari kader-kader lintas komisariat. Maka melakukan rekayasa agar kader-kader ini untuk bertemu dan saling kenal adalah penting agar terbentuknya emosi sosial. 

Dan kita bisa memaksimalkan Koorkom sebagai tempat untuk menciptakannya. Kita yang sudah akrab dengan Koorkom pun punya tugas untuk terus merawat Koorkom sembari terus mengajak yang belum pernah main ke sana. Semakin intens kader-kader yang sering bertemu ini akan menjadi modal penting untuk gerakan kita kedepannya.

Jadi, sebagai kader IMM yang tumbuh dan hidup di Koorkom, saya menyerukan untuk melakukan upaya kaderisasi semacam ini. Demi mempersiapkan gerakan kolaboratif yang suaranya menggema nyaring dari hari ke hari. Gerakan ini adalah harga mati. Karena gerakan ini, sebagai dakwah, sebagai amal dan aktualisasi ilmu kita, serta sebagai cerita yang akan kita ciptakan sendiri.

Author: Habib Muzaki

(Ketua Umum PK IMM UF 2021-2022)

Editor: Fadhlur Rohman

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA