Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyingkap Hubungan Muhammadiyah dan Jawa

 

Kelahiran Muhammadiyah memang tidak jauh dari kata Jawa. Jawa adalah awal di mana Muhammadiyah bisa dikenal hingga saat ini. Seperti yang kita tau, K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh ulama besar yang sukses membawa perubahan bagi masyarakat khususnya wilayah Yogyakarta dan Jawa sekitarnya. 

Hingga akhirnya beliau melahirkan organisasi islam yaitu Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1912. Tujuan muhammadiyah sendiri menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam sehingga terwujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya.

Jawa semakin dikenal saat perang Jawa pada 1825 yang pada saat itu dipimpin oleh pangeran Diponegoro. Sebelum kelahiran muhammadiyah di Jawa, banyak tokoh-tokoh penulis yang mengujarkan bahwa Islam itu terbagi menjadi beberapa golongan. Ada yang mengatakan jika islam di Jawa itu terbagi menjadi dua yaitu Abangan dan Putihan.

Abangan adalah Islam yang sangat kental dengan bau bau kultur dan budaya Jawa. Dan putihan adalah islam yang tidak ada campur tangan dengan kultur dan budaya Jawa. Ada lagi penulis bernama Clifford Geertz. Ia mempunyai buku “Agama Jawa” disana disebutkan jika jawa terbagi jadi 3 golongan, yaitu Abangan, Santri dan Priyayi. 

Atau bisa disebutkan Abangan adalah Islam kultur, santri adalah Islam yang taat dengan ajarannya, dan priyayi adalah islam yang dianut oleh para bangsawan/ningrat yang kurang dengan ajaran Islamnya. Bukti dari adannya tiga golongan Islam jawa tersebut yaitu keberhasilan perang Aceh karena menggabungkan dari ke-3 golongan Islam tersebut.

Dalam buku Najib Burhani, hubungan muhammadiyah dan jawa terbagi menjadi dua yaitu budaya luar (outside culture) dan budaya dalam (deep culture). Dalam buku itu, budaya luar itu terbagi lagi menjadi lima sub, yang pertama Perilaku. K.H. Ahmad Dahlan pernah ikut melaksanakan upacara grebeg yang notabene nya itu adalah upacara adat asli budaya jawa, tetapi dengan itu beliau memanfaatkannya untuk sarana berdakwah dan juga menghargai kultur budaya di lingkungannya.

Kedua, K.H Ahmad Dahlan mengikuti organisasi Budi Utomo, dengan itu banyak dari orang Muhammadiyah yang mengikuti organisasi Budi Utomo juga. Budi Utomo merupakan organisasi yang meneruskan perjuangan Jamiyatul Khair. Ketika diartikan, Jamiyatul Khair berarti perkumpulan kebaikan. Sedangkan, Budi Utomo memiliki arti yang sama hanya menggunakan bahasa Jawa. Budi Utomo secara mayoritas diisi oleh orang-orang lokal khususnya Jawa.

Ketiga adalah nama-nama orang Muhammadiyah, maksudnya disini meskipun orang Jawa, tetapi nama namanya memiliki unsur keislaman. Walaupun Muhammadiyah mengambil nama berbahasa Arab. Tetapi, Muhammadiyah periode awal didirikan dan diisi oleh orang-orang Jawa. Periode awal ini terdiri dari K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri, Sosrosugondo, Muhammad Sangidu, Mas Raji, Mas Ngabehi Joyosugito dkk.

Keempat adalah busana, pasti terlihat busana orang-orang Muhammadiyah akan terlihat sedikit berbeda dengan busana dari masyarakat Jawa biasanya. Dan yang terakhir adalah bahasa, umumnya orang jawa memakai bahasa Jawa dalam kesehariannya, tetapi biasanya akan terlihat sedikit berbeda bahasa yang biasa dipakai oleh masyarakat dan juga orang Muhammadiyah. 

Tetapi berbeda dengan budaya luar, budaya dalam mendapatkan banyak kecaman karena yang kita tahu Muhammadiyah memerangi TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat) yang semua itu ada dalam budaya masyarakat Jawa.

Periode awal membuktikan bahwa Muhammdiyah sangat dekat dengan Jawa. Muhammadiyah sebagai gerakan modernitas tidak menolak mentah-mentah budaya Jawa secara gamblang. Penolakan Muhammadiyah dilakukan terhadap budaya yang bersifat mengikat masyarakat dan melahirkan kesengsaraan bagi masyarakat. Selain itu, Jawa yang diterima oleh Muhammadiyah adalah Jawa sebagai kulturnya bukan isme atau pemahamannya.

Perkembangan pada masa selanjutnya, Muhammadiyah seakan-akan menjadi momok bagi budaya Jawa. Lebih jauh, Jawa mulai mengalami keharmonisan dengan Islam tradisionalis yang diwakili NU. Jurang pemisah ini mengakibatkan perbedaan pandangan masyarakat luar mengenai Muhammadiyah dengan Jawa. Proses sejarah Muhammadiyah seakan-akan menghilang dari penilaian masyarakat mengenai hubungan Muhammadiyah dan Jawa.

Muhammadiyah nyatanya mengalami perkembangan di internalnya. Dalam penelitian Munir Mulkhan misalnya, Muhammadiyah terbagi menjadi beberapa golongan yang memiliki pemahaman berbeda. Pertama merupakan kelompok Dahlan yang disandarkan pada pendiri Muhammadiyah. Kedua, kelompok Ikhlas yang keras dan cenderung menentang. 

Ketiga, kelompok kiri yang berpaham marhaenis milik soekarno. Keempat, kelompok Mu-Nu yang berioentasi Muhammadiyah dan NU. Mereka mengamalkan Islam tradisional dan berpaham Muhammadiyah. Terakhir adalah kelompok Munas (Muhammadiyah Nasional). Munas ini adalah kelompok yang memiliki orientasi ke politik.

Jurang antara Muhammadiyah dan Jawa semakin memuncak saat awal abad 21. Dalam penelitian Abdurrahman Wahid menyebutkan bahwa gerakan Islam radikal juga memasuki tiga organisasi Islam terbesar di Indonesia. Mereka memasukan kader-kadernya ke dalam organisasi seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI (Majelis Ulama Indonesia). 

Menanggapi hal tersebut, Muhammadiyah mengembalikan sejarah lama mengenai Jawa dan Muhammadiyah ke permukaan. Hal itu dibuktikan dengan lahirnya dakwah kultural yang tercetus dalam sidang tanwir di Bali pada tahun 2002. Dengan itu, Muhammadiyah tidak membatasi dengan budaya khususnya Jawa.

(Kader IMM Al-Kindi)

Editor: Fadhlur Rohman
Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA