Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perwujudan Kesetaraan Gender di Tengah Masyarakat Patriarki Indonesia

Isu kesetaraan gender makin hangat dibicarakan seiring berjalannya waktu. Hal ini sejalan dengan equality yang makin digaungkan bukan hanya di negara-negara dengan peradaban tinggi tetapi juga masuk ke bahan perbincangan pada negara-negara berkembang. 

Di Indonesia sendiri isu gender mulai berkembang pada era 80-an, dan pada era 90-an mulai memasuki isu keagamaan. Sebenarnya isu kesetaraan gender telah ada sebelum tahun-tahun tersebut, akan tetapi pada saat itu belum banyak orang yang sadar akan hal itu dikarenakan masih melekatnya budaya-budaya tradisional. Seperti halnya yang dilakukan ibu kita Raden Ajeng Kartini yang memperjuangkan hak perempuan untuk mengeyam pendidikan sama seperti laki-laki. 

Perwujudan kesetaraan gender tidak akan berjalan mulus selama pengaruh budaya patriarki masih ada. Budaya patriarki ialah sebuah budaya yang berkembang dan mengakar kuat dalam sendi-sendi masyarakat di berbagai belahan dunia. Dalam budaya patriarki mereka berpandangan bahwa seorang laki-laki lebih berhak menduduki peran-peran penting dalam hal apapun. 

Laki-laki juga direpresentasikan sebagai sosok yang lebih kuat dan lebih perkasa daripada perempuan, sehingga keterpihakan lebih dominan ditujukan kepada laki-laki. Budaya ini terus berlangsung dari masa ke masa. Pemaknaan gender tidak bisa disamakan dengan sex. 

Perbedaan sex dengan gender

Sex atau jenis kelamin lebih bermakna pada aspek kodrati dan berbagai keadaan biologis yang tidak dapat dirubah. Seperti contoh laki-laki memiliki jakun, penis, dan sperma. Sedangkan perempuan memiliki payudara, vagina, ovum. Sedangkan gender pemaknaannya berkaitan dengan aspek yang bisa dirubah seperti karakter atau sifat. Seperti contoh laki-laki memiliki sifat pemberani, kuat, dan keras sedangkan perempuan bersifat lemah lembut, penakut.

Menurut Alfian Rokhmansyah(2013) dalam bukunya yang berjudul Penganter Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat, yang artinya struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai tokoh sentral dan segala-galanya. 

Laki-laki memiliki peran sebgai kontrol utama dalam masyarakat, sebaliknya perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bahkan tidak memiliki hak untuk memberikan kontrol dalam masyarakat. Kontrol di sini bisa termasuk dalam aspek ekonomi, politik, sosial, psikologi bahkan dalam institusi pernikahan. 

Hal inilah yang menjadi penyebab perempuan diletakkan pada posisi inferior. Pembatasan peran seorang perempuan dalam budaya masyarakat patriarki menyebabkan perempuan tidak bisa leluasa untuk mengembangkan dirinya dan menjadi terbelenggu dengan aturan-aturan patriarki yang menjadikannya mudah mendapat perlakuan diskriminasi. 

Pengaruh budaya

Budaya masa lampau yang menempatkan laki-laki sebagai hierarki teratas sedangkan perempuan berada di bawahnya. Seperti contoh seorang raja atau pemimpin masyarakat hanya boleh diduduki oleh kaum laki-laki saja, nama belakang keluarga juga didasarkan pada nama suami. Banyak hal yang memberatkan perempuan dalam sistem patriarki ini, seperti contoh perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan, bekerja ataupun keluar rumah tanpa sepengetahuan atau izin dari suami, perempuan juga harus menjaga sikap dan perilaku demi kehormatan suami. 

Perempuan juga harus rela dimadu jika menikah dengan bangsawan, bahkan mereka juga harus rela dibuang jika tidak bisa memberikan keturunan. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, perempuan dijadikan budak seks bagi tentara-tentara yang ditugaskan di Indonesia. Praktik budaya patriarki ini masih terus berlanjut hingga kini di tengah gencarnya gerakan feminis dan aktivis permpuan yang terus menyuarakan dan menegakkan hak-hak perempuan. 

Praktik tersebut terlihat pada aktivitas domestik, ekonomi, politik, budaya, yang menyebabkan masalah masalah sosial lain di Indonesia yang merujuk pada definisi masalah sosial dari buku karangan Soetomo, masalah sosial adalah suatu kondisi yang tidak diinginkan terjadi oleh sebagian besar masyarakat yaitu KDRT, pelecehan seksual, pernikahan dini, dan lain sebagainya. 

Dampak patriarki

Dilihat melalui pendekatan masalahnya, dampak dari budaya patriarki di Indonesia masuk ke dalam system blame approach, yaitu permasalahan yang diakibatkan oleh sistem yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan atau harapan. Masalah tersebut terjadi karena sistem budaya cenderung memperbolehkan dan hukum yang berlaku di Indonesia juga membiarkan hal itu terjadi secara terus menerus.

Dengan berakar kuatnya sistem patriarki di Indonesia menyebabkan perwujudan kesetaraan gender sulit untuk dilakukan. Selain sistem patriarki yang menjadi penyebab utama, kesadaran individu mengenai isu kesetaraan gender juga masih kurang. 

Menurut Koentjaraningrat(1974), budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Koentjaraningrat mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat. Koentjaraningrat mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang akses atau masyarakat.

Solusi permasalahan

Pendidikan menjadi solusi utama bagi permasalah ini, dengan pemerataan pendidikan serta tingginya jenjang pendidikan yang ditempuh akan meningkatkan serta merubah pola pikir masyarakat menjadi lebih terbuka dan maju. Pendidikan juga merupakan salah satu sarana untuk mentransfer norma-norma masyarakat dan pengetahuan serta kemampuan mereka. 

Untuk itu perlu diwujudkan keadilan gender dalam lembaga pendidikan. Rendahnya pendidikan akan berpengaruh pada aspek-aspek lainnya seperti rendahnya terhadap pekerjaan. Perempuan yan tidak memiliki sumber daya pribadi berupa pendidikan tidak bisa bekerja pada sektor formal sehingga hanya terbatas pada sektor nonfomal seperti asisten rumah tangga atau buruh kasar. Ketimpngan gender juga bisa dilihat pada isi buku-buku pelajaran seperti sastra, pendidikan jasmani, IPS, IPS, PPKN, dan sejenisnya. 

Dalam buku-buku tersebut masih jelas terlihat adanya nilai-nilai yang menganut bias gender. Perempuan-perempuan dalam buku itu masih ditempatkan dalam domestic roles, sebaliknya laki-laki ditempatkan pada productive roles. Dengan demikian buku-buku tersebut masih mengakui segresi yang ketat antara laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki berada di ruang publik sedangkan perempuan di ruang domestik. 

Materi pelajaran serta kurikulum pendidikan yang belum menegakkan prinsip-prinsip kesetaraan gender akan menyebabkan perempuan tetap tidak memilikimentalitas sebagai masyarakat yang produktif. Tawney dikutip Megawangi mengakui adanya keragaman pada manusia, entah itu biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan, cocok dengan paradigma inklusif. 

Ia mengatakan bahwa konsep yang mengakui faktor spesifik seseorang dan memberikan haknya sesuai dengan kondisi perseorangan, atau disebut “person-regarding equality”. Kesetaraan ini bukan dengan memberi perlakuan sama kepada setiap individu agar kebutuhannya yang spesifik dapat terpenuhi, konsep ini disebut “kesetaraan kontekstual”.

Artinya, kesetaraan adalah bukan kesamaan (sameness) yang sering menuntut persamaan matematis, melainkan lebih kepada kesetaraan yang adil yang sesuai dengan konteks masing-masing individu. Mewujudkan kesetaraan gender merupakan salah satu bentuk kepedulian kita yang berkaitan dengan aspek kemanusiaan. 

Di tingkat kecil seperti keluarga kesetaraan gender dapat menambah keharmonisan rumah tangga sehingga dapat memberikan rumah yang nyaman bagi anak-anak dan berdampak pada kualitas keturunan yang baik. Dalam lingkup yang lebih luas, kesetaraan gender akan semakin menambah kepercayaan diri bagi setiap anak bangsa untuk tampil di depan menampakkan dirinya untuk berkarya serta mengembangkan minat dan bakatnya. Bila semua itu terwujud maka akan diharapkan terwujudnya masyarakat yang adil dan bermartabat.

Dalam mewujudkan kesetaraan gender di tengah kentalnya budaya patriarki di Indonesia bukan hanya kewajiban pemerintah ataupun para aktivis sosial, akan tetapi kewajiban setiap warga negara. Karena perubahan besar dimulai dari perubahan kecil. Maka dengan kesadaran individu yang didukung oleh pendidikan yang mencukupi akan lambat laun menggeser pola pemikiran masyarakat untuk lebih berpikiran terbuka menerima perbedaan.

Author: Nur Aidini (Kader IMM Avempace)

Editor: Auni H. (RPK Korkom IMM UINSA)

Thumbnail: Unsplash/Micheile

Sumber:

Suhra, S. (2013). Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur'an dan Implikasinya terhadap Hukum Islam. Al-Ulum, 13(2), 373-394. 

Margono, A. (2015). Perjuangan Kesetaraan Gender Tokoh Wanita Pada Novel-Novel Karya Abidah El Khalieqy. Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 4(1). 

Muqoyyidin, A. W. (2013). Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Gerakan Feminisme Islam. Al-Ulum, 13(2), 490-511. 

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang BaruTentang Relasi Gender, Bandung: Mizan), Tahun 1999 

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 1974 

Mursyidah. Pendidikan Berbasis Kesetaraan dan Keadilan Gender. Jurnal Muwâzâh, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

-Note: tulisan lomba milad IMM

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA