Genealogi Watu Kali
Kebetulan
tahun lalu saya punya kesempatan ngopi dengan salah satu
senior dari tahun 2.000-an. Dialah Cak Ciro, seniornya para
senior. Banyak yang kami bicarakan, salah satunya tentang sejarah
pergantian nama komisariat IMM di UINSA (yang saat itu masih bernama IAIN Sunan
Ampel).
Pada tahun-tahun itu, para kader IMM IAIN
Sunan Ampel agaknya adalah
sekelompok mahasiswa yang hobi jalan-jalan. Sebuah aktivitas
traveling yang
diniatkan untuk mencari ilmu.
Kebiasaan senior-senior kita pada tahun itu adalah
berkelana. Dari satu kota ke kota, mengunjungi majelis-majelis perngopian
sampai dolen ke komisariat-komisariat yang ada disana. Tak
jarang pula sampai studi banding. Dan, salah satunya adalah sebuah perjalanan
ke Malang.
“Mana
ya model komisariat yang maju? Salah satu yang ada di Jawa Timur dan cukup
besar pada saat itu ya IMM Fakultas Teknik, namanya Komisariat Aufklarung.
Kita ngopi kesana untuk berdiskusi,” ujar Cak Ciro yang juga
Ketua Umum IMM Ushuluddin tahun 2002.
Sepulang
dari Malang, jelas mendapatkan banyak ilmu. Tapi juga mulai tumbuh minat
terhadap penamaan komisariat. Di IMM IAIN Sunan Ampel, saat itu masih memakai
nama fakultas sebagai nama Komisariat. Berbeda dengan komisariat-komisariat di
Malang yang memakai nama-nama unik untuk Komisariat mereka.
Lalu muncul inspirasi untuk menamai Koordinator Komisariat (Koorkom) pada saat itu. Dipilihlah nama Koorkom Progresif meskipun tidak sampai menjadi nama resmi. Hanya sebuah nama kultural yang tentunya mencerminkan keinginan kolektif.
Ini
terjadi di saat Cak Ciro dan kawan-kawan sudah naik ke jajaran Koorkom.
Dengan ghirah sama, muncul juga ide untuk merubah nama
komisariat-komisariat yang ada. Pada momen inilah mulai bermunculan embrio
nama-nama unik komisariat seperti yang ada hingga hari ini.
“Terus Ushuluddin ganti nama apa Cak?” tanya Ketua Komisariat saat yang saya lupa namanya. “Watu Kali! Barange jelas, tujuane jelas,” jawab Cak Ciro yang merupakan Ketua Bidang Kader Koorkom pada saat itu. Penamaan Watu (Batu) Kali bukan tanpa sebab.
Wujud dan tujuannya jelas. Wujudnya ya batu, dan tujuannya
ya untuk bermanfaat. Salah satunya digunakan sebagai fondasi penting dalam
konstruksi bangunan. Jadi, Watu Kali adalah sebuah nama yang dipilih untuk
menghindar dari jebakan eksistensi semata.
Dan memang, bukankah sebuah nama harus mengandung suatu filosofi yang jelas? Bukan
hanya sekedar “keren-kerenan” saja. Maka sudah menjadi PR bagi kita semua untuk
mempertanyakan kembali nama yang dipakai oleh komisariat. Apa filosofinya?
Kenapa memakai nama itu? Apa tujuannya? Untuk Apa? Dan, segudang
pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Inilah
juga kenapa rapat untuk menentukan tema itu penting dan memakan waktu lama.
Bukan untuk sok ndakik dan agar terlihat wah. Tapi
sebagai metode belajar untuk lebih memahami arti dari sebuah rangkaian kata.
Pun, sebagai cara untuk menanamkan sebuah nilai, harapan, tujuan, dan
sebagainya.
Nama
juga menyimpan landasan kuat untuk melahirkan gerakan yang sistematis dan
komperhensif. Bahkan, nama itu sangat sakral karenanya mengandung nilai masa
lalu dan tradisi yang dijaga. Nama juga mengandung semangat yang oleh
pembuatnya berusaha diwariskan ke generasi penerus di masa mendatang. Begitu
kiranya yang saya simpulkan setelah dua jam lebih berdiskusi dengan Cak Ciro.
Diskusi
itu akhirnya juga menjalar secara luas ke Komisariat Ibnu Khaldun pada periode
kemarin. Terkait nama komisariat, sudah sejak lama kami berusaha mencari tahu
kenapa komisariat ini dinamakan Ibnu Khaldun?
Ibnu
Khaldun memang intelektual muslim yang pikirannya melampaui zamannya.
Gagasannya mulai menyebar ke Eropa sejak Silvestre de Sacy pada tahun 1806
melakukan penerjemahan karya Ibnu Khaldun ke dalam bahasa Prancis. Ia bahkan
dianggap sebagai bapak sejarah dan sosiologi dunia karena karyanya muncul jauh
sebelum Pemikir Barat mengulasnya.
Tapi
entah kenapa, kami sebagai generasi saat ini tidak puas dengan fakta itu.
Karena yang kami cari adalah “alasan kenapa” dipilih nama itu oleh generasi
masa lalu. Tapi kami bahkan tidak menemukan siapa pencetus nama Ibnu Khaldun.
Bahkan Cak Ciro pun tidak tahu, begitu pula beberapa alumni yang lebih tua
maupun lebih muda.
Nama
Ibnu Khaldun, seperti tiba-tiba ada. Dokumentasi tentang perubahan nama
komisariat ke Ibnu Khaldun menjadi missing link. Ini wajar karena
agaknya kami kurang dalam upaya mewariskan data dan informasi. Karenanya, kami
di komisariat mulai resah. Nama seakan menjadi sekedar kata tanpa nilai.
Pada
saat itu juga, di komisariat-komisariat UINSA mulai terjadi krisis identitas.
Sejauh pengamatan kami, beberapa jajaran kurang mengerti asal mula penamaan
komisariatnya. Apalagi mengajarkannya ke kader-kader yang masih baru. “Tidak
tahu,” ungkap banyak kader dan bahkan jajarannya ketika kami tanya alasan dan
asal mula penamaan komisariat mereka.
Bahkan,
penulis sendiri di Komisariat Ibnu Khaldun tidak pernah diberi diskusi soal
Ibnu Khaldun. Kenal Ibnu Khaldun saja tidak, tapi kenapa memakai nama itu?
Sebuah kegelisahan yang saya yakin juga dirasakan kader-kader antar komisariat.
Maka
setelah melewati setahun penuh diskusi dan puncaknya pada Musyawarah Komisariat
(Musykom) tahun lalu, muncul sebuah kesadaran baru. Yaitu untuk mengganti nama
Komisariat Ibnu Khaldun menjadi Komisariat Ushuluddin dan Filsafat (KUF).
Hal ini karena kami berada di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Fakultas yang terkenal dengan budaya pemikiran filosofis yang membentuk intelektualitas dari individu mahasiswanya. Budaya di fakultas ini membentuk keragaman pemikiran kami.
Keragaman yang tidak dapat terdikotomi oleh
nama satu tokoh saja, meskipun sekaliber Ibnu Khaldun pun. Kami juga
berpendapat bahwa jika satu tokoh dijadikan nama komisariat, maka hal itu tidak
dapat merepresentasikan keragaman berpikir kader-kader yang sudah merupakan
ciri khas kami.
Mengubah
nama komisariat menjadi kembali ke nama awal ini tidak mudah. Banyak tantangan,
salah satunya adalah memaknai kembali nomenklatur “Ushuluddin” dan “Filsafat”.
Kenapa harus KUF? Kenapa dua kata itu? Sebuah proses yang sedang kami jalani
hari ini.
Akhir
kata, tulisan ini ditulis bermodal ingatan yang agak kurang valid. Mau
bagaimana lagi, file rekaman diskusi di hp butut sudah tidak bisa dipertahankan
lagi seperti kisah cintamu. Semoga kedepannya ada tulisan tandingan
dengan sumber yang lebih baik. Tapi semoga cukup untuk memantik sebuah diskusi
tentang Sudahkah Kita Memahami Arti Nama Komisariat Kita?
Author: Habib Muzaki (Ketua Umum IMM KUF
2021-2022)
Editor: Fadhlur Rahman