Muhammadiyah, Sebuah Kegelisahan Sosial-Religius

Muhammadiyah didirikan oleh Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan sebutan K.H. Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta pada tanggal 08 Dzulhijjah 1330 H/ 18 November 1912 sebagai tanggapan atas berbagai usulan dari teman-teman dan murid-muridnya untuk mendirikan sebuah lembaga yang bersifat tetap.
Secara umum, faktor
pendorong kelahiran Muhammadiyah berawal dari beberapa kegelisahan dan
keprihatinan sosial religius dan moral. Kegelisahan sosial ini terjadi dikarenakan
oleh suasana kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat.
Adanya kegelisahan religius ini disebabkan
karena melihat praktik keagamaan yang mekanistik tanpa terlihat hubungannya
dengan perilaku sosial dan positif di samping syarat dengan takhayul. Sedangkan
kegelisahan moral disebabkan oleh kaburnya batas antara baik dan buruk, serta
pantas dan tidak pantas.
Terkadang, Muhammadiyah masih
sering disalahpahami oleh sebagian masyarakat Indonesia sebagai sebuah aliran
atau bahkan “agama baru” yang berbeda dengan “Islam” seperti halnya yang mereka
pahami. Hal tersebut dapat dimengerti sebab dalam masyarakat sudah mengakar
pemahaman bahwa Islam itu yakni seperti apa yang sudah merekan jalankan sebagaimana
kehidupan sehari-hari.
Didukung oleh doktrinasi secara
turun-temurun diterima, maka pemahaman tersebut mengakar begitu kokohnya dalam
masyarakat. Padahal jika dlihat dari sejarah murninya, maka Muhammadiyah
didirikan oleh seorang tokoh yang bernama K.H. Ahmad Dahlan justru berawal dari
pemahaman beliau terhadap Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum pertama dan utama dalam ajaran
agama Islam.
Berdirinya Muhammadiyah memiliki
latar belakang tersendiri. Pertama, Muhammadiyah hasil pendalaman terhadap Al-Qur’an yakni
salah satu ayat
Al-Qur’an. Ayat ini menginspirasi
perjuangan K.H. Ahmad Dahlan, yaitu Surat Ali-Imron ayat 104. Ayat tersebut dipahami oleh K.H. Ahmad Dahlan
sebagai perintah untuk mendirikan organisasi dalam memecahkan
persoalan-persoalan umat Islam.
Kedua, maraknya Tahayul, Bid’ah dan Churofat (TBC) di masyarakat. Ahmad Dahlan melihat bahwa pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam oleh umat Islam sendiri sudah banyak perbedaan yang
menyimpang dari ajaran murni yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, tidak ada lembaga pendidikan Islam yang memadahi. Kondisi umat Islam
baik di Indonesia dan dunia saat itu secara umum dapat diibaratkan
dalam kondisi mengenaskan terjajah, miskin dan bodoh. Lembaga pendidikan milik
umat Islam yang mengajarkan ilmu umum dan agama belum terwadahi. Oleh sebab
itulah, K.H. Ahmad Dahlan mencetuskan ide mendirikan madrasah diniyah Islamiyah
yang tidak hanya memberikan ilmu-ilmu agama tapi juga ilmu-ilmu umum.
Keempat, kelemahan kepemimpinan Islam. Kelemahan kepemimpinan umat Islam
ketika itu bisa dilihat dari mayoritas negara-negara Islam saat itu dalam
kondisi terjajah. Persatuan diantara pemimpin-pemimpin dunia Islam pun tidak
ada. Terlebih dengan berakhirnya masa kesultanan Utsmaniyah (Ottoman)
yang menjadi pemerintahan terakhir dalam menyatukan dunia Islam pada tahun 1924
semakin memperlemah kekuatan umat Islam.
Kelima, meningkatnya misi agama lain ke Indonesia. Adanya penjajahan Belanda
ketika itu memberikan support yang luar biasa terhadap misi penyebaran agama
nasrani. Kondisi ini mendorong K.H. Ahmad Dahlan untuk membendungnya dengan
melakukan gerakan-gerakan sosial untuk menyelamatkan aqidah umat Islam.
Keenam, pengaruh dari gerakan pembaharuan dalam dunia Islam. Gerakan
pembaharuan ini berawal dari Timur Tengah yang mempunyai tujuan supaya
menyadarkan umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam sehingga kekuatan dan
kepercayaan diri umat Islam bisa Kembali pulih.
Gerakan pembaharuan ini dapat
menyebar luas melalui interaksi umat Islam dan sampai ke Indonesia salah
satunya dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan yang mendapat inspirasi gerakan
pembaharuan ini ketika menjalankan ibadah haji serta belajar di Arab Saudi.
Semangat pembaharuan itu dibawa dan diterapkan oleh K.H. Ahmad Dahlan di
kampung halamannya dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Sebagai sebuah organisasi yang
berasaskan Islam, tujuan Muhammadiyah yang paling utama yakni untuk menyebarkan
ajaran Islam, baik melalui pendidikan ataupun kegiatan sosial lainnya. Selain
itu, meluruskan keyakinan yang menyimpang serta menghapuskan perbuatan yang
dianggap Muhammadiyah sebagai bid`ah.
Muhammadiyah pula
memunculkan praktek-praktek ibadah yang sebelumnya belum pernah dikenal oleh
masyarakat, seperti shalat pada hari raya di lapangan, mengkoordinir pembagian
zakat dan sebagainya. Agar mencapai berbagai tujuan-tujuan dari organisasi ini,
Muhammadiyah memiliki maksud supaya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan,
mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang mana berbicara megenai masalah-masalah
Islam, mendirikan lembaga wakaf dan masjid- masjid juga menerbitkan buku-buku,
brosur, surat kabar dan majalah.
Setelah berdirinya Muhammadiyah,
kemudian pada tanggal 20 Desember 1912 K.H. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan
kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum (recthtspersoom)
bagi Muhammadiyah, namun permohonan itu baru disetujui pada tahun 1914 dengan
Surat Ketetapan Pemerintah No. 18 tanggal 22 Agustus 1914, izin ini berlaku
hanya untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah
Yogyakarta juga.
Terkait pembatasan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan memberikan masukan supaya cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta berdiri dengan menggunakan nama lain, seperti
Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, Ahmadiyah di Garut, dan
perkumpulan SATF (Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah) di Surakarta.
Daerah operasi organisasi
Muhammadiyah mulai berkembang pada tahun 1917, setelah Budi Utomo menyelenggarakan
kongres di daerah Yogyakarta. K.H. Ahmad Dahlan sebagai tuan rumah mampu memberikan
daya Tarik bagi peserta kongres melalui pidatonya, dalam kongres itu banyak usulan-usulan
agar mendirikan cabang Muhammadiyah di Jawa, pengurus Muhammadiyah menyikapi
hal tersebut dengan menerima permintaan dari beberapa daerah untuk mendirikan
cabang-cabangnya.
Untuk mencapai maksud ini, anggaran
dasar dari organisasi Muhammadiyah yang membatasi diri hanya pada
kegiatan-kegiatan di Yogyakarta saja, seharusnya lebih dahulu dirubah. Hal
tersebut, dilaksanakan pada tahun 1920 saat wilayah operasi Muhammadiyah sudah meliputi
seluruh pulau Jawa dan pada tahun selanjutnya yakni tahun 1921, Muhammadiyah
mulai berkembang ke seluruh wilayah di Indonesia.
Sejak ketika itu, Muhammadiyah mulai
memperlihatkan pengaruh yang cukup kuat di Indonesia. Sebagai sebuah organisasi
dalam bidang kemasyarakatan, Muhammadiyah tidak cuma menangani permasalahan
pendidikan saja, tetapi juga memberikan pelayanan di berbagai usaha pelayanan
masyarakat seperti kesehatan, pemberian hukum (fatwa), panti asuhan, penyuluhan
dan lainnya.
Hal tersebut menjadi bukti bahwa dengan berdirinya Muhammadiyah menjadi banyaknya sekolah, rumah sakit, masjid, rumah yatim, rumah miskin, rumah jompo dan lain sebagainya. Selain itu, di dalam keorganisasian Muhammadiyah sendiri, banyak pula berdiri majelis, lembaga serta organisasi otonom yang menangani masalah-masalah keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Author: Dini Ratna Aulia (Sekbid Kader IMM KUF 2021-2022)
Editor: Fadhlur Rohman