Melihat Sekilas Studi Islam
Semua agama, pada
hakikatnya terbentuk berdasarkan wahyu dan tafsir terhadap wahyu. Wahyu
bersifat pasti dan tetap. Ia merupakan pernyataan aktual dan mengandung
kebenaran-kebenaran abadi. Sementara tafsir, merupakan tanggapan hati nurani
manusia terhadap wahyu. Tafsir menjadi
sasaran tekanan, baik oleh kekuatan luar maupun dalam. Begitu juga dengan
Islam, ia dipahami oleh pemeluknya secara berbeda sesuai dengan kapasitas
keilmuan yang dimilikinya, serta konteks sosial dan budayanya. Hal seperti ini
dikaji dalam Studi Islam, dimana agama dilihat sebagai sesuatu yang di dalamnya
terdapat banyak persepsi, konsep, dan pemahaman terhadap Islam.
Studi Islam sendiri
adalah diskursus yang menjadi pengantar untuk pengkaji Islam agar memahami
fenomena perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam sehingga tidak mengalami
keterkejutan budaya atau culture shock. Dari sini, kita dapat mengenal manfaat dari
studi Islam di perguruan tinggi dan perbedaan mengkaji Islam secara
teologis-normatif dengan mengkajinya secara ilmiah di perguruan tinggi. Kita
juga dapat bersikap arif dalam menghadapi perbedaan model pemahaman keagamaan
yang terjadi di masyarakatnya, dan tidak menampilkan Islam yang kaku (rigid),
atau dapat menerima model pemahaman yang berbeda.
Secara historis, Islam
adalah agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada
seluruh umat manusia. Proses turunnya wahyu dimulai ketika Nabi berada di Gua
Hira dan berproses selama hampir 23 tahun dari mulai masa Makkah hingga
Madinah. Setiap kali Nabi Muhammad saw
menerima wahyu, beliau menyampaikannnya kepada para Sahabat. Terkadang Nabi menjelaskan
maksud dari ayat-ayat itu, tetapi terkadang juga tidak, kecuali jika para
Sahabat bertanya kepadanya.
Sementara itu, para
Sahabat juga jarang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang permasalahan yang
telah disampaikan oleh Nabi. Mereka melakukan segala bentuk perintah tanpa
banyak bertanya, dan cukup dengan menirukan yang dilakukan oleh beliau. Ketika
terjadi perselisihan di kalangan para Sahabat dalam memahami isi kandungan
wahyu, Nabi Muhammad SAW segera menyelesaikan segala permasalahan itu, sehingga
perselisihan yang muncul dapat segera diselesaikan dengan baik.
Tetapi setelah Nabi
Muhammad saw wafat dan Islam mulai melakukan kontak dengan dunia luar,
perbedaan pemahaman di kalangan umat Islam tidak dapat dikendalikan seiring
dengan semakin tajamnya perbedaan kehidupan sosialnya. Perbedaan itulah yang melahirkan
keragaman pemahaman di kalangan umat Islam. Perbedaan pemahaman yang paling utama dan
pertama di kalangan umat Islam adalah dalam masalah kepemimpinan (imÄmah). Umat
Islam ada yang meyakini bahwa pengganti sah Nabi Muhammad setelah beliau wafat
adalah Ali bin Abi Thalib, karena sesuai dengan wasiat beliau yang disampaikan
di Ghadir Khum, setelah haji Wada’. Sementara ada kelompok lain yang
tidak meyakini kebenaran wasiat itu.
Berawal dari masalah
kepemimpinan itu, perbedaan pemahaman di kalangan umat Islam berkembang ke
masalah teologi, fikih, dan tasawuf beserta institusinya (tarekat). Hingga
kini, perdebatan di kalangan umat Islam (termasuk di Indonesia) terus
berkembang dan tidak dapat ditemukan satu kesepakatan. Di antara kelompok besar
dalam Islam yang dapat diidentifikasi sebagai hasil dari perbedaan pemahaman di
kalangan umat Islam itu adalah:
- Syi’ah, Sunni dan Khawarij untuk bidang politik.
- Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah untuk bidang hukum Islam.
- Khawarij, Murji’ah, Muktazilah, Maturidiyyah dan Asy’ariyyah untuk bidang teologi.
- Ghazalian dan Rusydian untuk bidang filsafat.
- Amali dan Falsafi untuk bidang tasawuf.
- Qadiriyah, Syadziliyah, Sattariyah, Naqsabandiyah untuk bidang tarekat.
Munculnya perbedaan ini
dapat dimaklumi, karena wahyu itu datang dari Allah sehingga pesannya
sangat universal. Lantas para pemeluknya dalam memahami pesan itu
menggunakan penafsiran sesuai dengan bahasa dan budaya mereka dalam
kapasitasnya sebagai manusia. Kebenaran
agama bisa saja diklaim sebagai kebenaran yang suci dan absolut, namun kualitas
dan pengalaman keberagamaan manusia tetap dalam ranah relatif dan selalu
berubah-ubah. Meskipun relatif, tetapi pengalaman keberagamaan itu selalu
melibatkan sikap emosional. Tanpa emosi dan keyakinan tidak akan ada
keberagamaan.
Maka, keyakinan keagamaan
-secara metodologis- harus dibedakan dari agama itu sendiri. Agama sangat universal,
sementara keyakinan keagamaan bersifat particular. Begitu juga dengan Kitab
suci, pesannya sangat universal, berlaku secara seragam bagi umat penganutnya
di seluruh penjuru dunia. Tetapi, pada waktu agama itu harus menjadi
operasional dalam kehidupan manusia, teks suci tersebut tidak dapat begitu saja
digunakan dalam kehidupan yang nyata. Supaya operasional, maka ajaran dalam
teks suci tersebut harus diinterpretasikan makna-maknanya supaya dapat dipahami
oleh para pemeluknya, untuk kemudian dijadikan sebagai pedoman bagi
kehidupannya.
Dalam upaya
menginterpretasikan makna ajaran-ajaran yang ada dalam teks suci tersebut, para
pemeluk agama yang bersangkutan menggunakan kebudayaan mereka sebagai acuan.
Sadar atau tidak, hasil interpretasi mereka itu menjadi bagian dari
sistem-sistem pengetahuan dan keyakinan di tempat mereka menjalani kehidupan. Hasil-hasil
interpretasi itu kemudian menjadi pedoman yang sakral atau suci bagi
kehidupannya. Dengan kata lain, hasil interpretasi itu kemudian menjadi model kebudayaannya
atau menjadi bagian dari kebudayaan yang telah mereka ciptakan.
Author: Shulthon Aminullah (Kader
IMM KUF)
Editor: Fadhlur Rahman