Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menghidupkan Kembali Kultur Lingkar Diskusi Keilmuan, Kenapa Tidak?

 


 

Saya mulai dengan satu pertanyaan; kenapa kelas-kelas kuliah itu terkadang membosankan? Dari sekian banyak penyebabnya, ada satu penyebab yang ingin saya ajukan, yaitu dosen yang mungkin kebanyakan berbicara. Sementara itu kita tidak paham materi dan tidak memiliki kesempatan untuk berbicara. Entah membicarakan dimana letak ketidaktahuan maupun membicarakan satu-dua narasi yang ingin kita sanggah dengan pengetahuan yang dimiliki.

Alasan di atas jelas tidak valid dan sulit dipertanggungjawabkan. Tapi dari situ, ada satu keyakinan bahwa sebenarnya mahasiswa itu… ah atau kita sebut saja keseluruhan manusia. Sebenarnya manusia itu sangat suka ngomong. Lihatlah sosial media hari ini, penuh dengan pikiran-pikiran manusia yang terkadang tidak sempat dicurahkan secara langsung.

Teman saya yang suka ­nge-tweet pernah menulis begini, “Makin tua semester, bukannya makin pinter materi malah makin pinter parafrase”. Saya coba diskusikan hal itu dengannya. Kita mulai dengan mempertanyakan kenapa. Kita saling memberikan alasan; mungkin faktor bekerja paruh waktu sehingga waktu nugas tersita, mungkin kurang mendalami materi sejak awal, atau mungkin galau menjadi faktor peforma belajar turun, dan masih banyak lagi.

Diskusi kami lantas ngomongin tentang kurang mendalami materi kuliah. Ada cerita teman kita yang bekerja paruh waktu sejak awal semester. Waktu belajar mandiri yang tersita, uang untuk membeli buku sulit, dsb. Sejak awal, keluarganya memang tidak memiliki privillege katanya. Lantas ini semua disambungkan dengan penjelasan teori struktural-konflik dalam ilmu sosial. Buku Pengantar Teori-Teori Sosial karya Pip Jones dkk menjadi referensi kami.

Termasuk ketika mendiskusikan galau yang menyebabkan peforma belajar turun. Apakah dicintai adalah kebutuhan yang segitu pentingnya? Kita ambil teori hierarki kebutuhan manusia Abraham Maslow sebagai pisau analisis. Berlanjut ke pertanyaan kenapa manusia mencintai? Kenapa harus cemburu padahal tidak memiliki? Kenapa merindu? Lantas kita kutip beberapa pemikiran filsafat cinta mulai dari Erich Fromm, Gabriel Marcel, Khalil Gibran sampai kisah Layla-Majnun dan hadits-hadits Nabi soal cinta.

Dia adalah pendiam di kelas, tapi menjadi begitu banyak bicara di warung kopi. Dari sini saya semakin yakin bahwa seseorang kalau dipantik dan terpantik akan banyak bicara. Dan, untuk memantik diskusi yang lebih dalam, kita sekiranya bisa mulai dari hal-hal di sekitar kita yang selalu diresahkan.

Hal ini juga terjadi di Komisariat Ushuluddin dan Filsafat (KUF) ketika kami mengadakan kajian. Baru kemarin, kami melakukan kajian mandiri terkait hermeneutika. Di dalam diskusi kami, ada satu pembahasan tentang dekonstruksi tafsir terkait legalitas LGBT. Teman-teman malah terpantik untuk mendiskusikan LGBT-nya karena memang hal itu sering bermunculan di media (Maaf hermeneutik, kamu bukan priotitas). Dan, masih banyak lagi momen dimana kita kajiannya apa, tapi fokusnya kemana.

Ini sebenarnya positif, memantik jajaran komisariat untuk kedepannya berusaha lebih keras menciptakan materi kajian dan diskusi yang menarik. Sekaligus membuat kami belajar bahwa semua individu kalau dipantik, maka akan bersuara. Jadi sebenarnya tidak ada mahasiswa yang tidak tahu apa-apa atau mahasiswa yang malas berdiskusi.

Semua ini membuat saya berpikir-pikir; Kenapa ya kita tidak membuat saja forum diskusi keilmuan terkait apa yang kita suka? Khusunya sebagai kader IMM, kenapa kita tidak membuat saja forum-forum diskusi keilmuan antar komisariat. Tidak perlu pemateri, karena semua yang hadir adalah pemateri. Ini berkaitan dengan kemungkinan yang saya katakan di awal. Bahwa mungkin sebenarnya kita bosan kuliah di kelas karena kita butuh untuk berbicara, namun masih belum bisa.

Teman-teman kelas saya lainnya yang terhitung pendiam, ternyata banyak berbicara ketika di warung kopi. Terlebih ketika membicarakan tugas. Entah kenapa, forum kecil dengan sedikit orang seperti itu terkadang melatih kita berbicara sampai nantinya terbiasa. Lantas benar-benar berani berbicara di kelas.

Saya jadi teringan buku Pergolakan Pemikiran Islam, sebuah buku yang berisi catatan harian Ahmad Wahib yang wafat di usia muda. Di bagian pengantar, Mukti Ali mengatakan bahwa ia mengenal Ahmad Wahib dari “Lingkaran Diskusi Limited Group”. Sebuah lingkar diskusi yang diadakan setiap Jum’at sore di rumahnya yang ada di kompleks IAIN Sunan Kalijaga pada 1967-1971. Dalam diskusi itu banyak sekali nama-nama besar yang pernah hadir. Sebut saja Muhammad Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Deliar Noer, Niels Mulder, James Peacock, dan masih banyak lagi.

“Setiap Jum’at sore kami dan beberapa kawan lain yang berminat terutama kalangan muda, mendiskusikan berbagai masalah, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, budaya dan masyarakat. Dalam bulan-bulan pertama lingkaran diskusi terutama mencoba mencari persoalan-persoalan dasar umat Islam Indonesia dan berusaha menyusunnya dalam sebuah kerangka tema diskusi. Di sana pembicaraan juga sering menyentuh masalah-masalah teologis yang sering tidak terpikirkan. Sudah barang tentu dalam sebuah diskusi yang sifatnya bebas, timbul pertanyaan atau malah pernyataan, yang pada dasarnya lebih merupakan penajaman permasalahan, yang dianggap kurang pada tempatnya,” tulis Mukti Ali.

Coba kita renungkan penggalan kalimat, “Mencoba mencari persoalan-persoalan dasar umat Islam Indonesia dan berusaha menyusunnya dalam sebuah kerangka tema diskusi”. Saya kira, akan menjadi menarik saat IMM yang memiliki slogan anggun dalam moral, unggul dalam intelektual bisa menciptakan lingkaran diskusi seperti ini secara mandiri.

Terlebih, akhir-akhir ini jarang kajian kan? Padahal banyak sekali hal menarik di sekitar kita. Terkait perempuan misalnya, kenapa term penggoda selalu dilekatkan kepada janda? Padahal sebenarnya ia adalah perempuan tangguh yang menghidupi keluarganya. Kenapa kita jarang menyoroti sisi kemandirian itu? Atau mengapa di dalam agama, poligami itu boleh dan poliandri tidak? Bagaimana asal usulnya? Bagaimana perkembangan hukum Islam terkait itu?

Mengapa juga perempuan harus identik dengan memasak, mencuci, dan beres-beres rumah? Padahal panci dan sapu tidak memiliki jenis kelamin. Atau mengapa masih sering terdengar argumen perempuan sebaiknya nggak jadi pemimpin? Atau tentang kasus pelecehan seksual itu korbannya kebanyakan perempuan dan terkadang mengapa perempuan yang disalahkan? Atau mengapa… ah rasanya terlalu banyak. Para immawati yang tertarik mungkin bisa membuat lingkar diskusi keilmuan terkait ini. Terlebih jika di dalam diskusinya, semua diberikan kesempatan untuk bertanya, berpendapat serta mengeluarkan keresahan.

Mereka yang tertarik filsafat pun demikian. Belajar filsafat, sulit dilakukan secara full autodikdak. Ia butuh suasana diskusi untuk terus menguji hasil bacaan. Belajar filsafat pun kadang dianjurkan harus urut dari filsafat yunani sampai filsafat postmodern. Pernah dulu saya langsung belajar Karl Marx tapi tidak paham. Ternyata saya disarankan harus terlebih dahulu belajar pemikirannya Hegel dan Feuerbach yang mengilhami pikiran-pikiran Marx.

Hegel tentu tidak terlepas dari pengaruh Immanuel Kant. Kant sendiri dipengaruhi oleh David Hume. Dan, ini semua itu tidak akan berakhir sebelum kita benar-benar belajar itu semua dari filsafat Yunani yang dipelopori Thales. Semua yang suka filsafat, kadang tidak mendapatkan materi itu di prodinya karena ya tidak dianggap penting. Namun ketertarikan sebuah diskursus di luar materi yang diberikan prodi adalah sesuatu yang sering kita temui.

Maka, menjadi masuk akal bagi kita mulai berkumpul dan berdiskusi secara intens. Sekali lagi, tidak perlu pemateri. Cukup kita tentukan saja dimana ketertarikan kita. Lalu memetakan point-point penting yang ingin dikaji secara sistematis. Kita bahas sendiri karena semua adalah pemateri. Jika ada yang merasa ahli di dalam diskusi itu, terkadang ia harus menahan keinginan untuk berbicara dan memberikan yang lain kesempatan agar setara. Lalu sesekali kita bisa hadirkan orang yang ahli di bidangnya untuk diajak diskusi dan belajar bersama.

Kenapa lingkar diskusi seperti ini harus diadakan di IMM, ya karena kita kader IMM. Bayangkan, banyak dari kader IMM mampu membangun kultur diskusi keilmuan semacam itu. Kita berdiskusi sambil membawa buku. Kita melingkar dimana-mana; di gazebo fakultas, di belakang Twin Tower, di trotoar depan kampus, sampai di warung-warung kopi. Lalu banyak dari mereka yang tertarik untuk masuk IMM eh maksudnya untuk membuat hal yang serupa di organisasi atau komunitas masing-masing. Secara tidak langsung kita telah melakukan fastabiqul khairat yang memiliki arti berlomba-lomba dalam kebaikan.

Di dalam diskusi, kita juga melakukan upaya untuk menjelaskan ulang hasil bacaan. Banyak kan dari kita yang merasa sudah baca seratus lembar masih tidak paham-paham? Menjelaskan ulang ini bisa menjadi solusinya. Kita juga melatih kemampuan berbicara kita, yang mana kemampuan ini punya peran penting dalam dunia kerja besok. Dengan ini, waktu-waktu kuliah kita mungkin akan terasa lebih bermakna. Terlebih, kita punya kegiatan positif setelah terluka olehnya.

Seingat saya, tokoh-tokoh bangsa dulu sangat akrab dengan diskusi. Saat masa pembuangan di Ende, Nusa Tenggara Timur, Soekarno sering berdiskusi dengan kalangan agamawan maupun tamu-tamunya yang lain. Mas Mansyur bersama Wahab Hasbullah juga pernah membentuk majelis diskusi yang diberi nama Taswir al-Afkar. Dan, masih banyak lagi.

Seorang dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, dalam sebuah majelis perngopian pernah menceritakan keluh Prof. Abd. A’la tentang aktivitas diskusi mahasiswa. Jadi dulu, diskusi itu sudah menjadi makanan sehari-hari yang sangat masif dan bisa kita temui dimana-mana. Namun sekarang jumlahnya sudah terlihat semakin menurun. “Saya itu kangen mas lihat budaya diskusi melingkar dimana-mana seperti dulu lagi,” ujar dosen itu menirukan ucapan Prof. Abd. A’la yang pernah menjabat Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.

Jadi tunggu apalagi teman-teman, sudah siap menghidupkan kembali kultur lingkar diskusi keilmuan?


Author: Habib Muzaki (Ketua Umum IMM KUF 2021-2022)

Editor: Fadhlur Rahman

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA