Barat dan Islamic Studies
Jonathan Brown, Mualaf Amerika dan Profesor Ahli Hadits |
Di
Barat, studi Islam disebut dengan istilah Islamic studies, yang artinya
adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Studi Barat atas Islam tentu menghasilkan
sebuah polemik. Misalnya dalam beberapa kajian yang dilakukan oleh Barat
tentang fundamentalisme Islam yang sangat dangkal. Kajian yang mereka lakukan terkadang
menempatkan Islam sebagai oknum yang bertanggung jawab penuh atas semua
peristiwa terorisme yang terjadi di masyarakat dunia. Padahal di sana ada
beberapa faktor lain yang menjadi aktor utama, yaitu faktor sosial, politik,
ekonomi, dan lain sebagainya.
Di
pihak lain, umat Islam sebagai orang dalam (insider), dalam merespon
hasil-hasil kajian dari para orientalis itu seringkali bertindak apriori dan
cenderung untuk menolaknya, tanpa mau mengkaji terlebih dahulu secara ilmiah.
Bahkan ketika ada seorang pemikir muslim yang menyadur dari pemikiran Barat,
dengan segera dituduh sebagai bagian dari misi orientalis dan bahkan cenderung
untuk dikafirkan. Sebagaimana mereka
juga bersikap sinis kepada Barat.
Kondisi
itu menggambarkan bahwa usaha untuk menyatukan pemikiran dari Barat dan Timur
seperti membuang air di samudera, sebab sejak awal mereka sudah terisolir
secara kelompok. Hal ini terjadi karena bahasa metode yang digunakan oleh Barat
tidak sama dengan terminologi yang terdapat dalam kajian keislaman di
Timur. Seorang pemikir muslim dari
Mesir, Muhammad Sa’îd al-Asymâwî, mengatakan bahwa mayoritas umat Islam ketika
mengkaji sebuah pemikiran, berpedoman pada keyakinan (keimanan), dan bukan pada
tataran metode penelitian ilmiah, bersandar pada emosi (intuisi), dan bukan
pada rasio.
Dari
sikap seperti itulah kemudian muncul aksi takfîr (tuduhan kafir terhadap
seseorang). Padahal, perkembangan dan
pengaruh global terhadap penduduk muslim dunia menyebabkan Islam mendapat
perhatian besar dalam studi agama. Pemahaman tentang Islam sebagai agama dan
pemahaman tentang agama dari sudut pandang Islam merupakan persoalan yang perlu
dielaborasikan dalam diskusi dan pembahasan para pelajar di bidang studi agama.
Berbagai peristiwa di Timur Tengah dan di dunia Islam lainnya telah mendorong
sejumlah sarjana, jurnalis dan kaum terpelajar, termasuk dari Barat, untuk
menulis karya-karya baru tentang Islam.
Tak
bisa dipungkiri bahwa motif Barat dalam mengkaji Islam memang awalnya sebagai
perlawanan. Menurut Bernard Lewis, dorongan utama orang Barat untuk melakukan
studi Islam pada awalnya bersumber dari dua motif. Pertama, untuk
belajar lebih banyak tentang warisan klasik yang terpelihara dalam terjemahan
dan komentar berbahasa Arab. Kedua, untuk menyokong kepentingan orang
Kristen terpelajar yang melawan Islam. Alasan kedua inilah yang menyebabkan
timbulnya kecurigaan terhadap kajian Islam di dunia Barat.
Namun
seiring dengan berjalannya waktu, dua motif itu pun menjadi pudar. Bahkan pada
masa Renaissans muncul alasan-alasan baru dalam melakukan studi Islam. Studi
Islam kemudian menjadi semakin menarik, karena bentuk-bentuk bias yang
dimunculkan oleh kalangan non-muslim tentang Islam mulai berkurang. Bahkan
banyak kemudian teori-teori baru, pendekatan-pendekatan baru yang disumbangkan
oleh para pengkaji Islam kepada umat Islam. Hal ini pada akhirnya bermanfaat
untuk umat Islam itu sendiri.
Tentunya,
menemukan dan menguji pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan melalui
penelitian. Artinya adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari
suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga
berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Dan,
penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan
meneliti agama pada dimensi kemanusiaannya.
Dengan
kata lain, studi Islam di sini bukan mengkaji kebenaran Islam secara teologis
atau filosofis. Akan tetapi bagaimana Islam sebagai agama itu ada dalam ranah
pemeluknya, baik di wilayah kebudayaan dan sistem sosialnya berdasarkan pada
fakta atau realitas sosio-kultural.
Maka
menjadi penting untuk keluar dari sikap spesialisasi keilmuan yang sempit. Karena
sikap seperti itu dapat menyebabkan terpisahnya seorang ilmuan dari ilmuan
lainnya, sehingga tidak mampu menghadirkan sebuah pemahaman yang benar dan menyeluruh
dari peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Sikap ini dapat menyebabkan
penyudutan obyek kajian, gambaran yang sepotong, dan tidak menyeluruh.
Untuk
saat ini, melakukan studi Islam semacam ini menjadi penting karena banyak di
antara umat Islam di dunia ini yang memiliki kecenderungan untuk mensakralkan
pemikiran keagamaannya (taqdîs al-afkâr al-dînî), dan menganggap pendapat
kelompoknya paling benar, sementara kelompok yang lain disalahkan.
Padahal
Islam sebagai agama tidak cukup dipahami melalui teks otoritatif (wahyu)
semata, tetapi juga perlu dipahami melalui pemahaman pemeluknya, sebagai
masyarakat muslim menghayati, meyakini dan memperoleh pengaruh dari Islam
tersebut. Di mana Islam itu dipahami oleh masyarakat muslim secara berbeda, sehingga
tidak dapat dipaksakan umat Islam untuk memiliki satu bentuk pemahaman yang
sama. Untuk itulah dibutuhkan metode dalam melakukan studi Islam ini.
Author:
Shulthon Aminullah (Kader IMM KUF)
Editor:
Fadhlur Rahman