Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Krisis Iklim Semakin Nyata, Tanggung Jawab Siapa?

Perubahan iklim merupakan masalah besar yang harus menjadi perhatian umat manusia saat ini. Berdasarkan laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change yang dirilis pada 28 Februari 2022, bahwa dunia akan menghadapi krisis iklim nyata yang akan memengaruhi ekonomi, ekologi, dan sosial.

Atas dasar itu, Koordinator Komisariat Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan (RPK) IMM UINSA menggelar kajian membahas persoalan lebih lanjut mengenai bahaya krisis iklim, dengan judul “Krisis Iklim Semakin Nyata, Tanggung Jawab Siapa?” yang diselenggarakan pada Kamis, 1 September 2022.
 
Krisis iklim sebetulnya tema yang lumayan berat untuk dibahas. Karena itulah RPK IMM UINSA mengundang Greenpeace Indonesia yang dinilai sebagai narasumber yang tepat. Greenpeace Indonesia diwakili oleh Fauzi selaku Public Engagement Campaigner menyampaikan bahwa Greenpeace memang aktif terlibat langsung dalam pelbagai kampanye lingkungan.

Meskipun dalam aksinya terjun langsung ke lapangan, Greenpeace tidak bertindak sembarangan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Fauzi bahwa Greenpeace tetap memegang prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan, diantaranya:
1. Konfrontasi langsung tanpa kekerasan;
2. Menjadi saksi langsung perusakan lingkungan;
3. Tidak memiliki sekutu maupun lawan permanen;
4. Independen secara pendanaan dan politik;
5. Memberi solusi dari setiap kampanye lingkungan.

Dengan demikian sebelum memulai kampanye, tim Greenpeace sudah melakukan kajian secara matang. Terlebih lagi soal krisis iklim yang merupakan isu yang tidak pernah lepas dari perhatian Greenpeace.

Krisis iklim terjadi akibat kenaikan suhu global secara signifikan yang berasal dari aktivitas manusia, dari rumah tangga sampai industri. Salah satu kontributor utama krisis iklim adalah berasal dari emisi karbon. Hal ini bertambah parah lebih ketika manusianya hanya peduli soal investasi pembangunan yang tidak memerhatikan kelestarian lingkungan.

Limbah industri
Aktivitas industri pabrik cukup banyak berkontribusi besar terhadap krisis iklim, ditambah pembuangan limbah yang sembarangan sangat membahayakan lingkungan, terutama yang paling berdampak adalah masyarakat sekitar yang tinggal di kawasan tersebut.

Pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara misalnya yang menghasilkan limbah fly ash dan bottom ash (FABA). FABA merupakan sisa pembakaran batubara berupa partikel halus yang dapat menimbulkan masalah kesehatan pada manusia, seperti kanker paru-paru, asma, gangguan pertumbuhan janin, stroke, dan lainnya.

Permasalahan semakin parah ketika pemerintah lewat PP No. 22 Tahun 2021 mengeluarkan limbah batubara tersebut dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Hal ini tentunya semakin berpotensi buruk pada penurunan kualitas lingkungan hidup, seperti mencemari sungai dan laut yang merupakan pusat kehidupan masyarakat pesisir.

Tidak hanya cukup sampai di situ, limbah batu bara yang menguap ke atmosfer semakin lama akan mengikis lapisan ozon sehingga menyebabkan pencemaran udara. Alhasil, masyarakat pun menghirup udara tidak sehat. 

Kelestarian alam
Terumbu karang dan hutan merupakan penyerap karbon alami. Oleh karena itu, menjaga keduanya adalah sebuah keharusan. Tapi, jika terumbu karang banyak yang mati akibat perbuatan IUU (Ilegal, Unreported, and Unregulated) Fishing, maka penyerap karbon pun berkurang. IUU Fishing merupakan segala aktivitas penangkapan ikan yang menyalahai aturan, seperti penggunaan bom ikan misalnya. 

Dampaknya bukan main, tidak hanya merusak terumbu karang, bahkan juga ekosistem yang ada di sekitarnya. Karena itu manusia harus menyadari betapa berbahayanya penggunaan alat tersebut. 

Kemudian kelestarian hutan tak kalah penting untuk dijaga. Gelar paru-paru dunia yang disematkan kepada Indonesia perlu dipertanyakan karena semakin banyaknya hutan yang terkikis. 

Jika penyerap karbonnya berkurang, selain merasakan perubahan iklim yang signifikan akibat naiknya suhu global, hal yang tak kalah membahayakan adalah krisis iklim ini akan meningkatkan frekuensi kebakaran hutan. 

Gaya hidup ramah lingkungan
Menjaga kelestarian alam adalah tanggung jawab bersama. Dimulai dari diri kita sendiri dengan mengubah gaya hidup yang lebih ramah lingkunga, seperti mengurangi penggunaan plastik yang berlebihan dan menaiki angkutan umum sebagai upaya mengurangi karbon dioksida dari penggunaan kendaraan pribadi.

Pengalihan menuju sumber energi terbarukan juga harus segera diselesaikan. Penggunaan sumber energi dari fosil dan semisalnya yang tidak ramah lingkungan banyak berdampak buruk terhadap lingkungan.

Meski teknologi sumber energi terbarukan tidak menelan biaya yang murah, tapi tetap harus ada masa peralihan sedikit demi sedikit dan menunjukkan keinginan untuk berbenah lewat aksi nyata, tidak hanya sekedar berbicara di forum-forum. Perlu adanya payung hukum dan pengawasan yang ketat untuk menunjukkan keseriusan langkah menanggulangi krisis iklim.

Contoh nyata dari krisis iklim adalah perubahan musim yang sulit diprediksi. Hal tersebut disebabkan salah satunya karena emisi karbon yang dihasilkan dari batubara. Pada akhirnya krisis iklim semakin membuat bumi menjadi sakit parah. Jika kita bandingkan bencana dari tahun 2019 sampai 2021 mengalami peningkatan. 

Mengutip data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa bencana yang terjadi pada 2019 sebanyak 3.814, pada 2020 naik menjadi 4.650, kemudian pada 2021 semakin naik menjadi 5.402 bencana. Bencana ini akhirnya juga dapat membuat ekonomi terkuras. Menurut Bank Indonesia, kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai Rp 100 triliun per tahun.

Menimbang hal tersebut, perlu adanya tindakan kolektif dari masyarakat dan pemerintah untuk pelestarian lingkungan dan menyelamatkan bumi dari kerusakan. Sebab, bumi hanya satu dan kita sebagai khalifah memiliki tanggung jawab untuk menjaganya sesuai perannya masing-masing.
 
Author: Auni H. (RPK IMM UINSA)
Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA