Mencegah Malaikat Izrail Datang
Siapa yang bosan ber-IMM? Ayo angkat tangan! Iya,
cukup angkat tangan saja jangan angkat kaki. Karena tanpamu, IMM tidak lengkap dan
kekurangan orang untuk menyebar proposal dana.
Untuk menemani kebosanan itu, opini berjudul IMM Telah
Mati! yang ditulis oleh Muhammad Amin Azis ini mungkin bisa mewakili
keresahan kalian.
“Gerakan-gerakan
IMM saat ini cenderung berorientasi pada penyelesaian program yang telah
dibentuk ketika rapat kerja pimpinan bukan untuk bergerak dan bertindak
menanggapi kondisi bangsa saat ini, sekalipun bertindak hanya sekadar
mengkritisi persoalan dengan hasil observasi dan subjektifitas bukan
melakukannya dengan kerangka metodologis layaknya seorang akademisi yang termaktub
dalam tujuan IMM,” tulis Muhammad Amin Azis yang menggugah pikiran saya.
Emmm… tunggu dulu, siapa juga Amin Azis? Kalau di keterangan
tulisannya, Amin Azis adalah seorang aktivis IMM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tunggu dulu, Yogyakarta? Sebuah kota yang oleh
beberapa orang dianggap sebagai pusatnya gerakan intelektual disamping Malang
dan Surabaya.
Eh, Surabaya? Mungkin ada yang menahan tawa tapi itu hak
pembaca, sih. Tapi kalau kader IMM dari kota yang “menjadi pusat gerakan
intelektual” saja sampai mengatakan demikian, apa kabar dengan IMM yang ada di kota-kota
lainnya?
Terlepas dari itu, apakah pembaca sekalian setuju dengan
apa yang ditulis oleh Amin Azis? Jika tidak, esai berjudul Apa Benar IMM
Telah Mati? yang ditulis
oleh Zeniza Mar Azizana mungkin akan mewakili isi pikiran pembaca.
IMM Telah Mati?
Namun apa benar IMM telah mati? Saya rasa, untuk
menjawabnya kita harus melihat tujuan IMM itu sendiri.
Adapun tujuan tersebut yaitu, untuk mengusahakan
terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan
Muhammadiyah, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Bagaimana masyarakat Islam yang sebenar-benarnya? Sependek
pengetahuan saya, masyarakat yang seperti ini bukan hanya berisikan orang-orang
yang rajin sholat tahajud, puasa sunnah, punya hafalan Alquran yang banyak,
maupun yang status Whats App-nya berisikan caption islami sembari
mengutip teks-teks dari kitab suci.
Bukan hanya sebatas itu! Namun sebuah masyarakat yang
di dalamnya berisikan banyak orang-orang bertakwa, yang dari bangun hingga tidurnya
digunakan untuk beribadah.
Tidak hanya ibadah ritual, namun juga ibadah sosial. Orang-orang
semacam ini, tentu tidak bekerja sendiri. Namun senantiasa berkolaborasi dalam mencurahkan
pikiran dan membangun gerakan yang berusaha menjawab segala permasalahan. Mulai
dari permasalahan lokal, krisis nasional sampai tantangan global.
Ada banyak sekali masalah di sekitar kita. Setara
Institute misalnya, pernah melaporkan
ada sekitar 424 tindakan intoleransi pada 2020 di Indonesia. 239 kasus di
antaranya dilakukan oleh aktor negara dan 185 di antaranya dilakukan oleh aktor
non-negara.
Pernahkah kita membaca temuan-temuan dari Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan? Lembaga ini pernah mencatat
adanya 940 kasus Kekerasan Seksual Bebasis Gender (KSBG) pada tahun 2020. Angka
ini naik menjadi 1.721 kasus pada tahun 2021. Artinya ada kenaikan sebanyak 83%
kasus KSBG dalam rentang waktu satu tahun.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pernah melaporkan
bahwa ada sebanyak 41 proyek reklamasi yang tersebar di 20 provinsi di
Indonesia. Kehadiran proyek reklamasi ini telah memperburuk kualitas hidup
masyarakat pesisir, yang terlihat dari turunnya rata-rata penghasilan nelayan secara
drastis sejak kehadiran reklamasi.
Apakah IMM pernah mengkaji masalah-masalah semacam
ini? Kalau tidak, lantas bagaimana solusi maupun aksi nyata dapat tercipta.
Mencegah Kematian
Ketika penulis sendiri berusaha mencermati tujuan
Muhammadiyah tadi, wah berat juga. Tujuan seberat itu jelas memerlukan
kolaborasi dari semua elemen masyarakat. Tak terkecuali elemen mahasiswa.
Peran etis mahasiswa adalah menjawab problematika
bangsa, meskipun beberapa masih bingung mencari kerja.
Terlebih dengan ilmu-ilmu dan pengalaman yang
dimilikinya, mahasiswa dapat menjadi ujung tombak untuk mewujudkan transformasi
sosial.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa kita tidak bisa
untuk menjawab semua permasalahan karena saking banyaknya. Justru,
karena itulah kenapa IMM didirikan di banyak kampus-kampus se-Indonesia.
Dengan bidang keilmuan yang berbeda-beda, agaknya IMM
sebagai kesatuan gerakan nasional harusnya mampu aktif berperan di semua lini.
Peran-peran itu harus diemban oleh IMM, mulai dari tingkat komisariat sampai
pusat.
Namun, penulis sendiri melihat
ada beberapa yang tidak optimis bahwa IMM bisa berperan aktif. Pasalnya, banyak
yang yakin bahwa ada dekadensi gerakan di dunia kemahasiswaan.
Dari yang paling dasar,
hari ini kita sulit sekali untuk untuk bisa fokus membaca buku sampai katam.
Iya apa tidak?
Mungkin benar ketika Amin
Azis mengatakan dalam tulisannya tadi, bahwa hari ini terjadi ketidakmampuan dari
kader-kader IMM dalam mengkritisi suatu permasalahan dengan kerangka
metodologis. Jangankan berbicara metodologi, menyentuh buku saja jarang, kok.
Bagi penulis, “IMM telah
mati” dapat menjadi semacam gambaran di masa depan ketika IMM itu benar-benar kehilangan
fungsinya sebagai eksponen mahasiswa di dalam tubuh Muhammadiyah.
Mencegah kematian IMM, dapat
dimulai dari diri sendiri. Belajar untuk fokus membaca buku dan menguji
pemahaman atas buku tadi melalui diskusi adalah salah satu yang bisa kita
lakukan.
Sulit memang tapi
percayalah, lebih sulit melupakan Rehan, apalagi Rehan baik.
Terlebih, bukankah mewujudkan
visi besar tidak akan pernah mudah? Lelah sebagai dakwah, susah derita menjadi
ibadah.
Sebagaimana yang
dikatakan Azizana, “Semakin tingginya krisis yang terjadi, akan membuat pikiran
menjadi tidak karuan hingga buram”.
Namun ia segera optimis
bahwa IMM dapat menjadi gerakan mahasiswa yang bermanfaat. Optimisme ini, menurut
penulis haruslah dibangun di banyak ruang-ruang kaderisasi. Bukan sebagai narasi
penyemangat tanpa makna, namun upaya memaknai dinamika.
Menjawab Keresahan: Pendampingan
Komunitas
Ketika yang satu menulis IMM
Telah Mati dan yang satu lagi menulis Apa Benar IMM Telah Mati? Mungkin
beberapa bertanya, sebenarnya IMM itu jadi mati atau tidak?
Namun dibanding mencari
jawabannya, penulis lebih berfokus dengan keresahan intelektual yang sama di
dalam tulisan Amin Azis dan Azizan, meskipun keduanya berbeda dalam menjelaskan
gagasannya.
Mungkin benar bahwa ada
komisariat atau bahkan pimpinan cabang dari IMM yang disfungsi. Hal itu adalah
bagian dari dinamika. Semua pasti memiliki pasang-surut bukan?
Namun tidak menuntup
kemungkinan bahwa itu adalah awal dari dekadensi yang istiqomah. Sampai
akhirnya malaikat Izrail menjemput nyawa organisasi tersebut.
Dari sini, penulis
berpikir kenapa IMM tidak dijadikan saja sebagai objek penelitian? Bukan
penelitian yang kualitatif maupun kuantitatif dalam kerangka kerja positivistik,
namun penelitian partisipatif.
Mudahnya begini, semacam
Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang berbentuk pendampingan untuk IMM yang sekarat
secara gerakan maupun pemikiran.
Dari penelitian semacam
ini, kita akan memiliki data di setiap IMM yang “mati suri”, di sisi lain,
penelitian tersebut dapat membantu organisasi agar dapat berdaya.
Bahkan penelitian itu
bukan hanya dilakukan ke IMM yang “mati suri”, bisa juga ke IMM yang telah berdaya
sekalipun.
Misalkan ada IMM yang memiliki
gerakan pemberdayaan masyarakat yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Lalu diteliti sehingga dapat dideskripsikan cara dan strateginya,
maka IMM yang lain dapat belajar dari hasil penelitian tersebut.
Ketika ada komisariat
yang kesulitan menanamkan kebiasaan membaca buku di dalam diri kader-kadernya, tentunya
komisariat itu akan bertanya bagaimana caranya. Jika ada komisariat lain yang
berhasil melakukannya, bayangkan seberapa manfaatnya jika dilakukan penelitian
yang menganalisis keberhasilan tersebut?
Saat data-data ini
dihimpun, dapat menjadi sebuah data yang berharga untuk digunakan
mengantisipasi masalah-masalah besar yang ada di masa depan.
Data tersebut, juga dapat
menjadi pertimbangan kita dalam melakukan studi banding. Dimana hal ini penting
untuk saling belajar demi kemajuan bersama. Dari studi banding tersebut, dapat
menjadi bahan diskusi ketika pulang ke komisariat masing-masing.
Keterhubungan yang
inklusif semacam ini, siapa tahu akan menjadi modal penting kita di masa depan.
Siapa tahu loh ya, penulis kan hanyalah seekor kader kemarin sore.
Author: Habib
Muzaki (Ketua Umum IMM KUF 2021-2022)
Editor: Fadhlur
Rahman