Tentang Masalah Tidak Ada Cara
Sumber: olvista.com |
Penulis: Mahbub Junaidi (Ketua Umum IMM KUF)
Konon katanya di sebuah lembah yang diapit
oleh dua gunung kembar, dengan kondisi yang kering tiada tumbuhan. Hiduplah
seorang pria muda yang memiliki lahan kebun yang luas, dengan beberapa biji
kangkung di gudangnya.
Juga seekor anjing kecil yang setia menemani hari-harinya untuk menghilangkan
rasa sepi dan takutnya. Yah, di kota tua itu.
Sebenarnya kota
ini adalah kota yang ramai dan digemari oleh semua orang. Air yang melimpah turun
dari puncak gunung memberikan kehidupan. Tanah yang subur menumbuhkan berbagai macam
jenis pohon berbuah sebagai konsumsi warga. Pengembara yang membawa kambingnya
menaiki gunung di setiap pagi. Kicauan
burung yang tak henti-henti. Ramainya
pasar yang saling menjaga silaturahmi.
Semua hal tersebut mewarnai keasrian dan keindahan kota
ini.
Rajanya yang sangat
adil dan merakyat ikut memberikan kehangatan. Pada setiap acara yang diadakan oleh
masyarakat, sang raja itu pasti akan mendatanginya kecuali ada halangan yang tidak
bisa ditunda. Namun arus waktu tak bisa dihentikan, sang raja pun mulai menua
dan digantikan oleh anaknya sebagai pemimpin selanjutnya.
Pada
masa awal kepemimpinannya yang aman-aman saja, mengalir bagaikan air
masih memberikan nuansa yang sama. Bersama penasehatnya, sang raja membangun
kota itu. Mendekonstruksi ulang tatanan masyarakat yang sudah mulai terbangun,
harapannya agar kota ini menjadi lebih megah dan mewah.
Dengan segala ambisi
yang dimiliki oleh penasehatnya, sang raja hanya menjadi boneka belaka.
Melakukan saran dan perintah yang penasehatnya berikan kepadanya. Satu persatu
kebijakan mulai diubah. Siapa
yang berani membangkang,
dipenggal kepalanya, siapa yang berani memberontak keluarga adalah jaminanya.
Pajak-pajak mulai
melambung tinggi dan kelaparan mulai menjadi wabah. Semua ini dilakukan untuk membangun
kembali kota kecil yang sebelumnya adalah kota yang ceria dan berubah menjadi
kota derita. Pencurian yang tak lagi bisa dielakkan, pembunuhan sudah dijadikan
makanan. Semua berawal dari harapan
hidup yang tidak lagi terselamatkan.
Dekonstruksi ini
diawali dengan munculnya banyak tokoh dalam istana. Melalui pemetaan kedudukan yang
sangat strategis dan sistematis sehingga sang raja pun tak tahu jika dia sedang
dijadikan Rahwananya. Memiliki sepuluh wajah yang melambangkan
kemunafikannya, dua puluh tangan yang berartikan kesombongan, keserakahan,
adidaya, juga pelakunya.
Mengangkat adipati dari segala lini
masyarakat yang ada, yang sekiranya pro terhadapnya. Ada yang dijadikan sebagai
pemantau penggerak perekonomian memperkerjakan masyarakat tanpa istirahat. Menyeret
rakyat bila sekarat. “Pokoknya kerja-kerja-kerja,” kata sang adipati yang
berasal dari bawah tanah.
Lalu ada juga yang
menjadi biarawati, mengajak semua orang bertasbih mendekatkan diri kepada Sang
Yang Widi tanpa menghiraukan kondisi yang tidak aman ini. Mengalir bagaikan
air, mempercayai bahwa semua ini akan terlewati. “Yah, stimulus yang baik untuk
meredam pemberontakan,” katanya dalam hati.
Semua ini ditata
sedemikian rupa oleh dalangnya, sebagai penasehat raja yang berkuasa di balik
ini semuanya. Dia pun tidak berdiri sendiri untuk menjalankan misinya juga membentuk
aliansi dengan sang Adipati
Sentot. Kerjanya nggak ngapa-ngapain
hanya sebagai pembantu menyukseskan visi-misi temannya yaitu sang penasehat.
Memang sedikit mengganjal,
kerjanya nggak ngapa-ngapain tapi ingin menjadi pembantu menyukseskan visi misi
temannya. Tapi begitulah karakter dan tugasnya dalam cerita ini.
Sejalan dengan skema
yang ada, tak lupa sang penasehat memberikan
intrupsi kepada raja, membuat tim kontra untuk membuat pemberontakan di istana.
Menyuarakan yang seharusnya disuarakan, menyampaikan yang wajib disampaikan.
Apabila usul
ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh
subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan! (Wiji
Thukul). Ayat-ayat kebenaran yang berkedok kebohongan disuarakan demi dinamika kehidupan. Entah apa yang dimaksud
kehidupan.
Banyak lagi tokoh dari
inti bumi, muncul seperti penyu-penyu yang dijadikan mars dalam hati. Tak sadar
itu menjadi hujatan dalam diri sendiri. Menyelimuti hati nurani yang seharusnya
bersih namun hari ini menjadi noda yang tak bisa dicuci. Mungkin hanya beberapa
orang yang sadar akan hal ini, tak perlu dipaksakan memang untuk disuarakan atau
diberitahukan. Sebab mungkin akan menjadi dosa turunan karena perolok-olokan.
Rahwananya
tak lagi bersuara, entah kemana perginya membawa bencana bagi kerajaannya.
Eksistensinya pun tak lagi dijadikan cerita bahkan dijadikan rasan-rasan
pun akan menjadi kajian fenomenologi keajaiban dunia. Entah, permainan politik
seperti apa yang dimainkan oleh sang penasehatnya, bahkan mulai dari akar
rumput pun dijajakinya. Bukan tak percaya dengan bawahannya, hanya saja ambisi-ambisi
yang membutakannya. Sekarang ia yang menjadi bintangnya.
Musim semi telah
menyisih, memberi ruang kosong untuk musim kemarau mengganti. Sedangkan kondisi
masyarakat semakin keruh tak memiliki arti. Titah pusaka tak henti-henti dihantamkan
ke bawah dari sang penguasa yang diperbudak oleh hawa nafsu dan
ambisi-ambisinya. Sandiwara yang dibuat menjadi drama megah. Sengkuninya adalah sang
penasehatnya. Perang tiada henti-hentinya hingga sang raja tumbang dan binasa,
pun pula tiada masyarakat yang tersisa. Meninggalkan sang penasehat dengan
anjing kecil yang diharapkan menyukseskan mimpi-mimpinya. Ya, siapa lagi kalau
bukan si penasehat (Sengkuni) dan Adipati Sentot yang tidak pernah berusaha.
Hidupnya tertatih
tidak berarah, di tengah kering dan panasnya cuaca. Hanya ada biji kangkung
yang tak berguna dalam gudangnya. Hendak di tanam pun tak mungkin karena tidak
ada air untuk membasahi tanah dan menyiramnya. Entah cara hidupnya bagaimana,
memakan bangkai yang tersisa atau melakukan tapa brata untuk menahan kematiannya. Tapi yang jelas, dia telah
menderita setelah tragedi pertumpahan darah membanjiri tanah.
Semua telah
berubah, bukan lagi yang dulu karena
telah berlalu. Bukan lagi karena masa
depan karena masa depan belum bisa digambarkan dengan gamblang. Hari ini adalah
hari ini, menghadirkan kata karya fiksi untuk menyusun peta cerita.
Tidak ada unsur kritikan atau sambatan juga sindiran kepada sang kuasa, sebab itu jangan dimaknai tekstual saja. Jangan gunakan hati, sebab mungkin engkau akan susah diri karena terbawah arus cerita ini. Jangan gunakan akal yang mendidih, sebab akan mengundang kontroversi. Gunakanlah nurani dengan itu engkau akan menemukan Nur Ilahi.