Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ma’rifatullah Pada Setiap Manusia

Sumber: Twitter @NASA


Penulis: Maulida Puteri (Ketua Bidang Kader IMM Avempace)


Apa arti kehidupan bagi manusia? Setiap manusia memiliki pandangan tersendiri atas hidup yang mereka jalani.

Bagi manusia yang beragama, hidup mereka maknai sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhannya. Sebagai bentuk penghambaan dengan menjalankan segala ajaran yang telah ditetapkan pada masing-masing agama yang dianut.

Manusia hidup di dunia untuk mencapai sebuah kesejahteraan. Namun pada masa kini, banyak yang mengatakan bahwa ajaran dari setiap agama tidak murni. Melainkan ada campur tangan dari manusia yang tidak bertanggung jawab.

Namun berbeda dengan ajaran agama Islam, yang dengan lantang dan percaya diri menjelaskan bahwa Alquran yang merupakan dasar atau landasan bagi umat Islam, tiada keraguan di dalamnya.

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah ayat 2)

Hal ini dapat digaris bawahi pada kalimat petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Kalimat bertakwa memiliki makna mereka-mereka yang taat dan patuh pada setiap ajaran yang ada pada Alquran.

Maka, bagi orang bertakwa tiada keraguan pada hati mereka dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dengan berpegang teguh pada Alquran. Begitu pula kepada second guidelines yaitu Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Manusia yang meyakini kedua ajaran tersebut, akan mengalir haqqul yaqin pada hati mereka dalam setiap kegiatan. Bahwa apa yang mereka lakukan membuahkan hasil yang baik bagi diri mereka sendiri, apabila mereka taat terhadap aturan yang berlaku.

Karena mereka mempercayai adanya pembalasan ataupun konsekuensi bagi setiap perbuatan. Bahkan sekecil dan sesepele apapun. Mereka meyakini Q.S Al-Zalzalah ayat 7-8 yang berbunyi, “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya”.

Namun sebelum mencapai hal tersebut, keyakinan akan hadirnya Tuhan pada setiap manusia apakah perlu? Atau mungkin, kehadiran Tuhan tidak diperlukan, melainkan hanya kepercayaan kepada utusan-Nya dan ajaran yang dibawa?

 

Agama Keturunan

Fenomena yang terjadi pada sebagian besar umat adalah termasuk ke dalam agama keturunan, yang memilki arti agama yang diyakini merupakan agama bawaan dari kedua orang tua atau keluarga. Apabila ayah dan ibu beragama Islam, maka secara otomatis anak akan mengerjakan ajaran agama Islam, karena yang diajarkan dan dilihat setiap hari adalah ajaran Islam.

Tetapi dampak yang terlihat dari agama keturunan adalah tidak adanya kedalaman hati dan pikiran dalam menjalankan ajaran. Berbeda dengan orang mualaf yang ketika dilihat dari segi ibadah dhohirnya, terkadang lebih khusyuk ketimbang orang yang berislam dari bayi. Hal ini dikarenakan mualaf telah “menemukan” wujud Allah dalam diri mereka sendiri.

Mengapa bisa disebut demikian? Apakah perlu wujud Allah untuk menjadi hamba yang tawakal? Pengetahuan terhadap Allah menentukan kadar keimanan seseorang. Karena iman manusia sifatnya dinamis, kadang di atas kadang di bawah, dan hal tersebut perlu dipacu setiap waktu.

Ketika seseorang telah menemukan hubungan sejati antara dirinya dengan Tuhan, maka dengan mudah akan mengontrol keimanan agar senantiasa berada di atas. Hal tersebut sering disebut dengan kejadian makrifat atau proses mengenal Tuhan secara intens melalui wasilah tertentu yang sesuai dengan kadar keimanan hamba. Hal itu juga bisa disebut dengan jalan untuk mengetahui Allah.

Makrifatullah memiliki tingkatan yang berbeda-beda, hal tersebut disesuaikan dengan kadar keimanan seorang hamba. Yang nantinya menimbulkan mahabbah atau kecintaan terhadap Allah.


Tingkatan Makrifat

Di dalam buku Ma’rifatullah (Membangun Kecerdasan Spiritual, Intelektual, Emosional, Sosial, dan Akhlak Karimah) karya K.H. Muchtar Adam dan Fadhlullah Muh. Said disebutkan bahwa setidaknya tingkatan makrifat ada dua secara garis besar, yaitu makrifat “keimanan” dan makrifat “keyakinan”.

Untuk menuju tingkatan tersebut terdapat tiga metode, yaitu; metode akal, asmaul husna, dan ibadah. Pada setiap metode, menghasilkan tingkatan makrifat yang berbeda.

Seperti pada metode asmaul husna misalnya, setidalnya ada lima bentuk versi manusia di dalamnya yang muaranya sama-sama tawakal dan menjadi hamba yang taat kepada Allah.

Pertama, makrifat dengan al-Qadirnya (menimbulkan perasaan Khauf atau takut). Pada tingkatan ini, hamba akan takut akan azab-Nya sehingga menjadikan hamba tersebut mematuhi segala bentuk perintah dan larangan.

Kedua, makrifat dengan al-Kafi (mendapatkan jaminan dari Allah). Hal ini menjadikan manusia senantiasa merasa memiliki kekurangan dan bergantung terhadap Allah.

Ketiga, makrifat dengan muraqabbah (berada dekat atau selalu diawasi oleh Allah). Merasa dekat akan menjadikan manusia sebagai hamba yang taat beribadah.

Keempat, yakni makrifat dengan al-Haya’u (merasa malu kepada Allah). Kesadaran ini menjadikan seorang hamba senantiasa menghormati dan memuliakam Allah dengan mengerjakan seluruh perintah dan larangan.

Kelima, yaitu makrifat dengan syauq (kerinduan atau merasa rindu kepada Allah). Perasaan ini membuat seorang hamba di dalam jiwanya terdapat cinta dan rindu yang berkobar dan membara. Dengan seluruh pencapaian tersebut menjadikan ibadah yang dilakukan tidak melirik ataupun tergoda hal lain selain Allah.

Semua hal ini seperti yang terdapat pada Q.S. Al-Ankabut ayat 69, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) kami, kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik”.

Poin pentingnya terdapat dalam kalimat “subulana” yang merupakan kalimat jamak yang memiliki makna ganda, “jalan-jalan”.

Hal ini berarti bahwa jalan atau cara menuju Allah sangat banyak. Dan, dari semua jalan tersebut muaranya adalah mahabbah kepada Allah yang di dalamnya memerlukan tiga aspek penting; aspek kognitif (pengetahuan), afektif dan psikomotor.

Ketiga aspek tersebut akan menciptakan sebuah sikap dan nilai di dalam diri manusia.