Perihal Rumah
Sumber: Pixabay |
Penulis:
Farel Rivano Rahanmitu (Anggota Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM
KUF)
Sebuah bangunan
untuk bersinggah di kala lelah dengan segala urusan lalu beristirahat di dalamnya,
apakah itu arti dari sebuah rumah?
Rumah yang kita
ekspetasikan saat kita masuk lalu kita tenang di dalamnya. Lantas bagaimana
dengan orang yang kita sebut rumah? Entah orang tua, pasangan, teman dan lain
lain yang kita sebut mereka rumah? Apakah mereka adalah bangunan? Sebenarnya apa
itu rumah? Apakah sependek itu kita mengartikan rumah?
Rumah adalah
tempat, hal, atau sesuatu yang kita tenang. Rumah dalam definisi ini menjadi
sesuatu yang dimana ketika kita datang atau mendengarkan bisa menghilangkan lelah
hati maupun fisik. Sehingga rumah adalah hal yang saat kita sampai di rumah
tersebut, kita mendapatkan ketenangan.
Banyak orang yang
membuat manusia sebagai rumah mereka karena mereka dapat menenangkan hatinya di
kala sedih, berat, dan stress. Bukan berarti tempat singgah yang biasa kita
sebut sebagai “rumah secara fisik” hancur atau rusak. Tapi mereka tidak
merasakan arti rumah di tempat singgah mereka. Sehingga mereka menjadikan suatu
orang ini sebagai rumah.
Sebagai tempat
mereka mengadu, tempat mereka curhat, tempat sambat dan apapun itu yang bisa
membuat tenang. Namun apakah cukup sampai disini? Lantas benda apa itu rumah? Apakah
bangunan? Orang? Sesuatu?
Dan,
apakah IMM adalah rumah?
Apakah IMM itu
rumah? Hanya karena di IMM memiliki kantor sekretariat, atau yang juga biasa oleh
kami –para agitator Ushuluddin dan Filsafat- sebut sebagai Pondok Kader sebagai
tempat peristirahatan atau tempat diskusi?
Apa karena kita
saat pulang kuliah mengantuk lalu ke Pondok Kader untuk tidur, maka dengan
begitu kita sebut IMM rumah? Dengan segala kebisingan Pondok Kader yang seperti
itu akan tetapi banyak sekali orang menganggap itu rumah.
Padahal untuk
orang normal tidur di sana adalah sebuah tantangan. Bagaimana cara kita tidur
di dalam kebisingan yang sangat random dan sangat tidak jelas seperti
itu?
Namun sebenarnya mereka
menganggap IMM rumah, bukan karena Pondok Kader itu ada sebagai bangunan. Akan
tetapi mereka mendapatkan ketenangan di dalamnya, yang dimana mereka tidak
mendapatkan ketenangan di dalam tempat singgah mereka yang mereka sebut rumah.
Maka, di sinilah
kita bisa melihat aktualisasi dari nilai humanitas IMM. Namun lantas apakah
semua orang merasa demikian? Merasa bahwa IMM adalah hal yang membuat tenang? Atau
malah menambah beban mereka?
“Pondok Kader
adalah rumah kedua kalian,” kata-kata yang sering kita dengar dari senior kita.
Tapi apa maksud dari kata-kata tersebut? Apakah setelah kita bergabung di IMM
ini, kita tidak perlu bayar kos dan berbondong-bondong memindahkan
barang-barang kita ke Pondok Kader?
Setelah saya
berbulan-bulan sering ke sini, ternyata arti dari “Pondok Kader adalah rumah
kedua kalian” adalah jika kalian memerlukan bantuan, pendengar, atau yang lain
datanglah kemari. Maka kami adalah rumah kalian tempat itu merehatkan hati
kalian yang sudah keruh tercemar oleh rusaknya dunia fana.
Mungkin bagi
mereka yang terlahir dengan keluarga cemara yang bahagia dan tentram, hal
seperti ini dianggap sepele. Karena tempat persinggahan mereka atau rumah
mereka sangat mencerminkan arti dari kata “rumah”.
Lalu bagaimana
nasib mereka yang memiliki “rumah” yang tidak seperti rumah. Tidak memberikan
ketenangan akan tetapi menambah keruhnya hati. Apakah bagi mereka itu hal yang
sepele?
Mereka yang tidak
memiliki “rumah” di tempat singgahnya, akan sangat bersyukur dengan adanya hal
tersebut.
Namun, jika
nantinya sampai IMM itu ternyata bukan “rumah”, maka apa gunanya kata humanitas
dalam trikom IMM? Apakah hanya sebagai bagus-bagusan? Hanya formalitas?
Mari kita bertanya
pada diri sendiri. Apakah kita mendapatkan “rumah” itu di IMM ini? Apakah kita
merasa tenang atau sebaliknya? Proposal, kajian, ngopi, apakah dari situ telah
kita mendapat rumah kedua saat berada di IMM? Atau hanya sekedar mengikuti
dengan rasa dan emosi yang flat?
Terkhusus para
pengemban amanah jabatan. Mereka yang tidak memiliki “rumah” di tempat singgah mereka
apakah sudah kita ayomi? Jika tidak kita ayomi lantas apa guna kata humanitas itu
diajarkan?
Sebagai kader, ah bukan,
lebih tepatnya sebagai manusia kita harus menjadi “rumah” bagi mereka yang
tidak mendapatkannya. Jika tidak, bisakah kita disebut kader IMM yang baik?
Atau bisakah kita disebut seorang manusia?
Sekali lagi,
apakah IMM sudah menjadi rumah? Dan, apakah kita telah mendapatkan rumah itu di
IMM? Dan apa benar IMM itu rumah? Menarik untuk ditanyakan di dalam diri
masing-masing.