Si Yai Dungu
![]() |
Sumber: Pinterest |
Penulis: Mahbub Junaidi (Ketua Umum IMM KUF)
Tetang hidup dan matinya perkaderan,
diceritakan dalam cerita yang fana. Meratapi sebuah keadaan yang tak bisa
dikondisikan. Hanya sebatas mimpi indah melalui bayangan. Lalu dimana
perkaderan?
Cerita ini diawali dengan sebuah
puisi pengakuan atas diri sendiri. Mewakili perkataan dalam hati, yang tak bisa
digambarkan melalui pembisuan.
Aku si Yai dungu yang tak tau malu
Berdakwah sesuka hatiku
Memutuskan tanpa lugu
Alasan palsu tak apalah itu
Yang penting aku aman dari kajian
Wabiwahku tak apalah jatuh
Skripsi ku selesailah itu
Belajar namun tak berubah dari waktu ke waktu
Tetap egoku nomor satu
Satu dari amanah dan satu tentang si Dia
Aku si Yai dungu
Mendobrak harapan kaderku
Melumpuhkan gerak dan laku
Yang penting aku tetap dungu
Belajar sara menuai hina
Belajar luka tuk temukan cinta
Cinta untuk si Dia yang tak mau menerima
Aku si Yai dungu
Bicara cinta tak tau makna
Bicara cerita tak tau strukturnya
Bicara mantra pun tak kuat tirakatnya
Bodohnya si Yai dungu
Pagi di ujung
jalan nestapa tiada arah, walaupun demikian Yai tetap berjalan dengan gagahnya.
Menyebar dakwah yang benar mungkin kiranya, yang penting dan perlu diketahui
semua orang itu beda-beda cara berdakwahnya.
Ada yang mendalami kitab-kitab
dengan benar dengan tafsirannya. Ada yang menyesuaikan dengan budaya yang ada.
Ada juga yang ijtihad saja.
“Pokoknya yang paling penting dan
yang perlu diketahui adalah semua orang itu beda-beda!”
Dalam perjalanannya si Yai menemukan
masjid megah dan banyak jama’ahnya. Karena kebetulan hari itu orang
yang diundang tidak bisa hadir, sang Yaipun dipanggil untuk mengisi
kekosongan hari itu. Tanpa malu dan sedikit ilmu, beliau pun mengiyakan dan
memulainya.
Para jamaah juga sangat antusias
untuk menyimaknya. Muqaddimah yang begitu menggebu-gebu membangunkan semangat
ghirah para jama’ah.
“Allah hu Akbar! Manusia adalah
makhluk yang istimewa, yang diciptakan Allah tiada tara. Maka marilah kita
panjatkan puja dan puji syukur kepada-Nya”
“Dan tak lupa kepada baginda nabi
besar Muhammad Saw yang telah mendobrak pintu-pintu kekafiran yang membelenggu
dan membodohkan umat manusia menuju manusia yang memiliki kecerdasan tiada
tara, hingga mempertanyakan Tuhannya! Subhanallah!”
“Sumpah atas waktu Dhuha sebelum
subuh datangnya.” Hah? Para jama’ah
pun saling memandang mempertanyakan.
“Sumpah atas waktu. Sesungguhnya
manusia berada dalam keberuntungan. Kecuali orang yang beriman dan semua orang
yang berakal serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasihati
untuk menghargai keberbedaan.” Hah? Para
jama’ah mulai saling berpandang-pandangan.
Suara gemuruh jama’ah mulai
terdengar, mempertanyakan akal sang Yai yang tak henti-henti berkoar-koar tak
karuan.
“Iki bener yai tah mbak, opo wong
gendeng?” Jamaah lain menjawab, “Mboh mbak, kok
salah kabeh ngene?”
“Wahai umat manusia! Manusia
diciptakan dari tanah, yang kemudian dibentuk oleh Allah sedemikian rupa,
memiliki tangan, kaki, mata dan lain sebagainya. Kemudian Tuhan
meniupkan ruh kepada-nya, maka hiduplah Adam yang tak berdosa. Maka inilah
proses penciptaan manusia yang berguna dengan egonya.”
“Pak yai! Opo sampean iki gak salah
ngomong kawet mau, ngelantur murak marek, nafsirno Al-Qur’an sak enake udele
dewe?” Teriak salah seorang jama’ah yang mendengarkannya.
“Ingat para jama’ah! Semua orang
diciptakan berbeda-beda, maka beda pula penafsirannya. Maka jangan salahkan
saya jika tidak sesuai dengan yang Anda pikirkan, karena semua orang itu
beda-beda. Saya bersuara dengan hasil analisis skripsi saya yang belum selesai,
maka inilah kebenaran yang harus diterima.”
Yai itu pun
melanjutkan, “Apakah ada kebenaran yang
sesungguhnya? Apakah ada kebenaran yang benar adanya? Tentu tidak jama’ah, ini
semua tergantung kita. Sebab kita yang menentukan keberadaannya, dengan segala
perbedaan yang kita alami dan ego kita sendiri. Jika kalian tidak ingin
menerimanya, maka itulah proses yang sebenarnya. Proses dalam pencarian
kebenaran yang tiada tara itu yang disebut para aktivis dengan perkaderan. Maka
nikmatilah!”
“Takbir!!” Teriak para jama’ah.
“Allah hu Akbar! Allah hu Akbar!
Allah hu Akbar!!”
“Seret keluar Yai dungu ini! Ini
telah menyalahi semuanya! Agama telah dipermainkan, dilecehkan dengan
terang-terangan. Padahal Tuhan menciptakan perbedaan bukan bermaksud demikian! Keluar!”
“Allah hu Akbar!”
“Kami tidak maksud bertindak
kekerasan, tapi setiap kami tegur kau sepelekan dan kau bantah dengan deskripsimu
yang tak selesai!”
“Allah hu Akbar!”
Begitulah Si Yai dungu berdakwah. Namun ini hanya cerita rekayasa. Bukan diperuntukkan untuk orang yang
tidak mengetahui maksudnya. Hanya boleh dibaca namun jangan dibenturkan oleh
apa-apa, karena akan menimbulkan huru-hara.