Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

3 Pandangan Mengenai Agama dan Politik

Sumber: cottonbro studio (pexels.com)


Penulis: M. Tanwirul Huda (Sekretaris Bidang Media dan Komunikasi IMM KUF)


Ketika mendengar agama dan negara, sebagian besar masyarakat Indonesia akan langsung berspekulasi terhadap sebuah gerakan berupa politik identitas. Politik identitas merupakan sebuah gerakan yang dilakukan oleh sekelompok suku dan etnis hingga agama untuk meraih kekuasaan atau tujuan tertentu.

Spekulasi tersebut tidak sepenuhnya salah, sebagaimana yang telah terjadi di Indonesia khususnya DKI Jakarta akibat dari sebuah konflik penistaan agama beberapa tahun yang lalu. Dengan diikuti masifnya perhatian masyarakat terkait konflik tersebut dimana berakibat pada sebuah polarasiasi yang masif diantara masyarakat Indonesia sendiri.

Jika ditelisik lebih dalam, terdapat beberapa corak pandangan terkait hubungan agama dan negara. Dari beberapa pandangan tersebut pun yang nantinya banyak dimanifestasikan oleh tokoh-tokoh dalam berpolitik. Pandangan terkait relasi tersebut dapat ditemukan dalam tiga tokoh sekaligus dengan tiga pandangan yang berbeda pula.

Fundamentaslisme Agama

Pandangan yang pertama adalah “integratif” atau “penyatuan” agama dan negara yang dikemukakan oleh Abul A’la Al-Maududi. Dimana tokoh ini cenderung mengarahkan pandangannya terhadap nilai-nilai agama yang medasar dan diutamakan atau “fundamentalisme Agama”. Pandangan ini menerangkan bahwa agama (Islam) meliputi segala bidang dalam kehidupan.

Al-Maududi menegaskan bahwa syari’ah (sistem Islam) tidak mengenal adanya sekat dalam agama dan negara. Pertama syari’ah merupakan perwujudan kehidupan yang sempurna dan meliputi segala bidang dalam kehidupan.[1] Kedua, manusia dan manusia harus tunduk pada kekuasaan tertinggi, yakni kekuasaan yang dimiliki oleh Allah.

Ketiga, negara agama adalah sebuah sistem yang tidak terbatas pada aspek-aspek kehidupan, negara agama adalah sistem yang mengatur dunia secara universal (keseluruhan). Sistem yang diinginkan Al-Maududi bisa disebut juga sebagai Teo-demokrasi.

Sistem ini mengedepankan prinsip syari’ah namun sebagaimana terma yang muncul di atas, Al-Maududi tetap mengadobsi trias-politica yang tersusun dalam sistem demokrasi klasik yakni legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Pandangan Fundamentalisme ini juga menerapkan konsep kategorisasi kewarganegaraan.

Kategorisasi kewarganegaraan ini terbagi menjadi dua yakni muslim dan non-muslim. Dimana non-muslim ini dalam peribadatan akan mendapat kebebasan. Namun, di luar hal tersebut non-muslim harus tunduk pada sistem agama yang dijalankan pemerintahan. Dalam pandangan inilah narasi politik identitas lebih terlihat bias, dimana dalam sistem juga kepemimpinan negara hanya diperbolehkan dipegang oleh seorang muslim saja.

Fungsionalisme Agama

Pandangan ini menganggap agama dan negara berhubungan secara timbal balik (simbiotik). Agama membutuhkan negara untuk dioptimalisasikan. Sebaliknya negara membutuhkan agama untuk kestabilan masyarakat berupa penerapan nilai dan norma (etika dan moral).[2]

Fungsionalisme Agama memiliki dasar bahwa agama tidak selamanya dapat mengatur segala aspek sebagaimana politik dan kenegaraan. Namun, pandangan ini juga menolak adanya pemisahan agama dan negara. Dari Agama sendiri juga memberikan kebebasan dalam memilih sistem negara apapun.

Dalam pandangan ini jika diimplementasikan ke dalam politik Islam akan melahirkan sebuah konsep tauhid dan humanis. Tauhid dapat mengontrol setiap sikap dan tindak manusia dalam bernegara menuju sebuah kestabilan politik. kemudian humanis, dimana konsep ini dapat memberikan ruang kebebasan, persamaan dan persaudaraan.

Sekularisme

Pandangan yang terakhir adalah adalah sekularisme. Sebuah pandangan yang dibawa oleh Ali Abd Al-Raziq, cendekiawan muslim yang berasal dari Mesir. Tokoh ini berpandangan bahwa Agama tidak memiliki hubungan apapun dengan sistem kenegaraan.

Pandangan ini berkeinginan untuk memisahkan wilayah agama dan negara.[3] Penggagas pandangan ini menganggap bahwa agama hanya terbatas pada ruang privat. Secara sederhana pandangan ini mengemukakan bahwa negara dan agama harus dipisahkan di segala ruang kenegaraan.

Agama diharuskan untuk menjaga jarak dengan negara terutama terhadap masyarakat plural yang ada di negaranya. Dikarenakan agama adalah merupakan nilai kebenaran yang tidak dapat dipaksakan untuk diikuti oleh segenap masyarakat, maka secara tidak langsung juga nilai yang terkandung dalam agama tidak dapat dibawah ke ruang publik sebagai bentuk hukum atau kebijakan.

Kesimpulan

Jika kita mengacu pada sejarah Islam, politik Islam secara umum telah melewati berbagai tantangan dan masa-masa sulit, mulai dari kepemimpinan yang dibawah Nabi Muhammad sampai dengan era kontemporer saat ini.

Dalam konteks Indonesia sendiri, hubungan agama dan negara juga sempat mengalami pergolakan. Mulai dari awal kemerdekaan hingga era reformasi saat ini. Agama dan negara sering menjadi perbincangan yang terniscahyakan terlebih di masa-masa menjelang pemilu atau regenerasi kepemimpinan.

Dari beberapa pandangan di atas, kita dapat saja mengklasifikasikan personalia maupun kelompok yang menerapkan salah satu dari ketiga pandangan tersebut dalam berNegara kenegaraan. Sebagaimana yang telah terjadi dalam sejarah maupun peristiwa yang telah terjadi dalam rentan waktu tertentu, sehingga jika kita memahami hubungan Agama dan Negara tidak sebatas satu pandangan berupa Negara identitas kita dapat menambah wawasan kita terhadap berbagai paradigma maupun dialektika diantara hubungan keduanya.


[1] Achmad Irwan Hamzani & Havis Aravik, Negara Agama: Sejarah dan Pemikiran, (Pekalongan: PT. Nasya Expanding Management, 2021), 42.

[2] Ibid., 43.

[3] Ibid., 42.