Jaga Diri Mulai dari Meminimalisir Tontonan
![]() |
Foto oleh Matheus Bertelli, diunduh dari pexels.com |
Penulis: Naufal Zaidan Aryusah
(Sekretaris Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Ibnu Rusyd)
Siapa yang tidak menggenggam gadget
dalam kehidupan sehari-hari? Di zaman sekarang, gadget atau smartphone menjadi
salah satu kebutuhan primer bagi seluruh orang. Kalau kuota internet habis pasti
disegerakan beli. Kalau WiFi terputus juga bikin kesal.
Masifnya penggunaan gadget
memunculkan istilah "gabut" yang pemaknaannya adalah bingung mau apa
jika tidak pegang handphone dan tidak ada jaringan internet.
Lantas internet itu buat apa? Mayoritas
orang menggunakan internet itu untuk mencari tahu hal yang ada di dunia luar
dan melihat apa saja aktivitas orang-orang, Mereka bisa saling berinteraksi dan
mengamati melalui media sosial, medianya itu berupa smartphone.
Sudah tidak perlu diragukan jika
ponsel milik unsur masyarakat itu terdapat aplikasi media sosial dan hampir
semua orang paham cara menggunakannya. Bagi orang-orang, media sosial itu salah
satu sarana hiburan. Karena antara satu orang dengan yang lainnya bisa
mengekspresikan diri melalui postingan foto maupun video kapan pun dan di mana pun
mereka berada.
Begitu pula postingan yang mereka
bagikan tidak hanya pada satu aplikasi saja. Melainkan postingan itu juga
dibagikan oleh penggunanya di beberapa aplikasi yang mereka miliki seperti
WhatsApp, Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, dan lain sebagainya.
Apa yang setiap orang posting dan
lihat di sosial medianya tentu memiliki timbal balik. Seperti banyaknya
pengikut atau teman baru di media sosial, like serta komentar yang
membuat mereka terkesan senang hingga percaya diri.
Jadi apakah benar jika sosial media
itu hiburan? Media sosial itu sarana hiburan yang memicu menciutkan perasaan.
Mungkin sering kali kita melihat
unggahan orang yang kita kenal, seperti teman maupun orang yang tidak kita
kenal, misalnya saja publik figur. Mereka acap kali membagikan aktivitasnya.
Mulai dari pagi sampai malam, dan
mungkin ada sebagian teman kita yang melakukan hal serupa, yang biasa
membagikan momen di mana dia pergi, dia sedang berpenampilan, menunjukkan apa
yang dimiliki ketika mendapatkan sesuatu ataupun menceritakan momen di sorotan
sosial medianya.
Masih jadi rasa terselubung pada
diri individu bila melihat postingan orang-orang di media sosial. Rasa itu
membuat sebagian individu yang menonton merasa iri dan tidak percaya diri jika
ada orang yang mengunggah postingan. Hal itu memicu sikap individu
membandingkan hidupnya dengan orang lain.
Bahkan ada sebagian orang memaksakan
diri mengeluarkan tenaga dan biayanya demi sekedar membuat momen untuk
dipublikasi di media sosial. Sungguh miris, banyak sekali orang bermaksud
tenar, berlomba-lomba membagikan momen sebanyak mungkin agar publik tahu
kehidupan yang dijalaninya.
Sedangkan di sisi lain, ada masalah
pikiran dan perasaan bagi sebagian yang menontonnya, termasuk diri sendiri,
yakni muncul rasa tidak percaya diri, munculnya iri hati, menuntut keadaan,
hingga memaksakan kemampuan.
Hal itu merupakan dampak apabila
kita punya rasa ingin tahu berlebih dan sering mengakses media sosial yang
memancing kita memperhatikan unggahan orang-orang dengan isi kehidupannya.
Selain itu, muncul pula rasa kurang
tenang karena ada rasa cemburu. Kita tidak merasakan apa yang mereka alami. Ada
rasa depresi, seperti merasa jatuh mentalnya kalau ada perbedaan
tingkat kebahagiaan dan pencapaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Maka dari itu, perlu kita sadari dan
pahami bahwa munculnya rasa dan pikiran yang mempengaruhi kita salah satunya
berasal dari media sosial pribadi. Termasuk postingan apa yang kita tonton dan
seberapa sering kita membuka media sosial itu.
Kita jangan sampai terlena kalau
media sosial itu bentuk dunia maya, isinya berupa dokumentasi menjalani
kegiatan yang dipublikasi. Di situ lah tempat setiap orang hanya membagikan
sisi momen kesenangannya. Selebihnya pasti ada sisi masalah-masalah yang tidak
dipublikasikan.
Mari kita minimalisir akses media
sosial. Jangan terpaku dengan segalanya yang dipublikasi orang-orang. Cukup
lihat gambaran cerita mereka tanpa turut merasa dan membandingkan. Perlu
diingat dan disadari, bahwa kita sendiri punya pengalaman yang beragam, ada
urusan yang setiap hari dijalani, pastinya dari situlah kita punya dokumentasi
yang tersimpan.
Namun semua itu tetap bisa dirasakan
dan dikenang tanpa harus dipublikasikan. Tidak ada buruknya bila kita tidak
melihat sorotan cerita atau unggahan orang-orang. Lagi pula tidak memungkinkan
setiap orang itu meminta kita melihat maupun memberi feedback pada
unggahannya.
Kita punya hak sendiri. Kita tidak
bisa membatasi orang lain untuk mempublikasi apa yang dialami. Tapi diri
sendirilah yang akan sanggup membatasi rasa penasaran dan ketagihan saat ingin
memperhatikan kehidupan orang lain.
For small remember, "Semoga kita bukan termasuk golongan generasi muda yang upload
sana sini, tapi minim prestasi".