Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keterasingan Kader; Sirah Karl-Marxiyah dan Agenda Pemberontakan Kita

Designed with: Canva


Penulis: Habib Muzaki (Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan Koorkom IMM UINSA)


Baru-baru ini, teman-teman Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Avempace UIN Sunan Ampel Surabaya melakukan sebuah diskusi panjang dalam rangka mengevaluasi pondasi-pondasi penting yang terkandung di dalam program kerja mereka.

Penulis menyimak dan terlibat dalam diskusi tersebut. Ada satu poin penting yang sangat menarik perhatian penulis. Yaitu sebuah keinginan untuk mengajak kader mengetahui siapa dirinya. Ini menjadi indikator paling dasar yang ditetapkan di komisariat ini.

“Kader mengetahui siapa dirinya,” menjadi sebuah keinginan yang harus diwujudkan sebelum keinginan-keinginan lain diwujudkan. Kira-kira begitulah narasi kasarnya sebelum hal ini akan mereka olah lagi lebih lanjut tentunya.

Mengetahui diri sendiri, pasalnya adalah aktivitas manusia yang paling menarik bagi penulis. Sebuah diskursus yang sudah berlangsung sejak dahulu sekali.

Siapa itu manusia? Apakah ia adalah mahluk di antara dua dimensi sebagaimana yang diungkapkan Plato? Sebagai hewan mamalia yang bertransformasi dari mahluk tidak signifikan menjadi penguasa planet seperti yang diungkapkan Yuval Noah Harari?

Sebagai mahluk yang dilingkupi penderitaan sebagaimana analisis Sidharta Gautama? Mahluk yang dijadikan Tuhan sebagai “khalifah” dengan tugas untuk memakmurkan bumi sebagaimana Q.S. Al-Baqarah ayat 30?

Atau mungkin kalau meminjam gagasan Karl Marx, manusia adalah mahluk yang sedang mengalami alienasi atau keterasingan.

 

Berkenalan dengan Marx

Karl Marx adalah hantu, bukan rohnya yang menghantui umat manusia. Tapi pemikirannya yang menghantui dunia dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Ia dan sahabatnya, Friedrich Engels pernah mengatakan di buku mereka yang berjudul Manifesto Partai Komunis, "Ada hantu berkeliaran di Eropa, hantu komunis."

Agaknya Marx salah. Karena bukan hanya di Eropa saja, namun bahkan seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Sebut saja Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terkenal karena menancapkan luka di sejarah bangsa ini.

Meski penulis pribadi tidak setuju dengan cara dehumanisasi yang dilakukan untuk memberantas PKI. Namun penulis setuju dengan Franz Magnis-Suseno dalam pengantar bukunya yang berjudul Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.

Ia mengatakan, "Indonesia sudah benar dalam memutusankan pembubaran PKI, menghalangi serta menutup jalan baginya. Sebab ideologi PKI tak mungkin dapat ditampung dalam pola pluraritas penghayatan Pancasila."

Memang banyak aksi-aksi “berdarah” dari gerakan-gerakan komunis, terkadang dialamatkan kepada Karl Marx. Namun terlepas daripada itu, buah pemikirannya sebenarnya menarik untuk dikaji.

Apa untungnya mempelajari Marx? Namun hemat penulis, apa juga ruginya mempelajari pemikirannya? Terlebih pemikirannya sangat berpengaruh sepanjang abad ke-20.

Pemikiran Marx bukan hanya teori –ini uniknya– namun praksis. Orang biasa mungkin tidak mengenal filsafatnya G. W. F. Hegel –barangkali terlalu rumit. Tapi filsafat Marx, melahirkan gerakan sosial-politik yang sangat mendunia dan diterima oleh para masyarakat biasa sebagai basis ideologi mereka. Di dunia politik, pemikiran Marx pecah menjadi Marxisme-Leninisme, Trotskyisme, Maoisme, Luxemburgisme, Hoxhaisme, Marxisme Libertarian, dll.

Hari ini, sudah banyak sekali antitesis untuk gagasan-gagasan Marx. Banyak yang mengatakan bahwa pemikirannya telah usang. Namun sebenarnya, beberapa pemikirannya juga terlihat masih relevan. Salah satunya adalah terkait alienasi atau keterasingan manusia.

 

Kita dan Keterasingan

Marx berpendapat bahwa manusia mengaktualisasikan diri melalui pekerjaannya. Aktualisasi ini lah yang akan membuat manusia mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

Namun sejak kapitalisme menjadi sistem ekonomi yang mapan, banyak manusia yang kehilangan aktualisasi dirinya. Karena ia harus bertahan hidup, maka ia mengerjakan sesuatu yang bukan dirinya. Alhasil, manusia menjadi terasing. Manusia bekerja hanya sekedar untuk mendapatkan upah, bukan untuk kebutuhan aktualisasi.

Pekerjaan tidak lagi menjadi tujuan akhir sebagai ekspresi dari kemampuan dan potensi seseorang, tetapi direduksi menjadi sarana untuk mendapatkan keuntungan dari segelintir pemilik modal.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh George Ritzer dan Douglas Goodman dalam buku mereka Teori Marxis dan Bebagai Ragam Teori Neo Marxian, Marx menyatakan bahwa ada kontradiksi nyata antara sifat manusia dan cara kerja manusia yang disebabkan oleh kapitalisme.

Kalau konsep ini kita pakai untuk membaca dinamika IMM UIN Sunan Ampel Surabaya, apakah keterasingan ini ada di dalam tubuh ikatan?

IMM jelas memiliki sistem yang telah mapan. Tapi bagaimana kalau sistem yang kita terapkan hanya sekedar untuk survive? Hanya sekedar agar terlihat ada acara sebagaimana periode sebelum-sebelumnya. Hanya sekedar mewarisi tradisi dan formalisme belaka.

Kalau hanya sekedar itu, lantas apakah cukup? Sementara kader-kader sedang membutuhkan ruang aktualisasi dengan memilih IMM sebagai wadah pengembangan diri. Kader yang penulis maksud bukan hanya kader baru, tapi seluruh individu yang ada di dalam komisariat termasuk pengurus juga.

 

Mari Agendakan Pemberontakan

Coba kita bayangkan, ada kader yang sedang membutuhkan diskusi seputar pemikiran keislaman kontemporer. Namun yang ia dapatkan di IMM hanyalah rapat, rapat, dan rapat untuk mengkonsep suatu acara yang sebenarnya tidak ia butuhkan. Acara itu, yang membutuhkan hanyalah beberapa orang saja.

Atau misalnya, ada kader yang sedang membutuhkan pengembangan kapasitas di bidang desain grafis. Namun seniornya malah menekannya untuk menulis esai dan opini dengan alasan untuk mengembangkan literasi.

Contoh lain yang sering terjadi, kader-kader sukanya berbisnis, jelas butuh ilmu, relasi, dan pengalaman. Namun yang dia dapatkan di komisariat hanyalah kajian terkait tema itu-itu saja; “Peran Mahasiswa terkait…”, “Pentingnya Ideologi untuk…”, “Pemikiran Keeneth dalam…”, dsb.

Jangan-jangan selama ini, kita sebagai pengurus telah salah dalam membaca dan menganalisis kebutuhan kader. Lalu dengan itu, kita memberikan apa yang tidak mereka butuhkan. Jangan-jangan, kita membuat acara-acara pengkaderan hanya untuk memuaskan ego diri sendiri, bukan benar-benar untuk semua kader.

Sehingga, banyak kader merasa asing dan terasing dengan lingkungannya saat ber-IMM. Apa yang ia lakukan dan "kerjakan" di komisariat tidak membuatnya berkembang.

Kalau kita meminjam pemikirannya Marx, maka kita akan memahami bahwa kapitalisme sebagai sistem, hanya memberikan manfaat dan keuntungan untuk segelintir orang yang memiliki modal.

Sementara yang lainnya tertekan, hanya menjadi pekerja yang bekerja untuk memenuhi hasrat pemilik modal.

Apakah sistem di dalam IMM hari ini juga sama? Hanya memberi keuntungan bagi segelintir elit pengurus komisariat saja. Tidak untuk seluruhnya.

Kalau benar demikian, maka kita sebagai kader-kader yang merasa terasingkan harus mengkaji kembali. Lalu melancarkan pemberontakan ke komisariat masing-masing, atau bahkan ke koordinator komisariat.

Sebuah pemberontakan yang konstruktif untuk membangun IMM tercinta ini tentunya. Bukan dengan ngilang dari ikatan, karena itu sih namanya baper, bukan pemberontakan.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA