Membaca Ali Syari'ati, Mengobati Alergi Diskusi
Designed With Canva |
Penulis: Habib Muzaki (Ketua Bidang
Riset dan Pengembangan Keilmuan Koorkom IMM UINSA)
Ketika mendengar kata “piramida”
yang ada di Mesir, kira-kira apa yang terbayang di benak kita?
Apakah itu adegan di film Transformers:
Revenge of The Fallen? Atau kita membayangkan kira-kira, berapa banyak cabang Mixue
yang bisa didirikan Fir’aun andai ia memilih berinvestasi ketimbang membangun
piramida? Tentang keindahan dan betapa menakjubkannya bangunan yang penuh
misteri tersebut? Atau tentang buruh romusha proyek piramida yang katanya
adalah budak-budak Yahudi?
Adapun terkait siapa tenaga kerja yang
membangun piramida itu, masih menjadi tanda tanya yang terus diteliti oleh para
arkeolog. Untuk sementara ini, banyak peneliti yang mengatakan bahwa bukan
budak yang digerakkan untuk membangunnya.
Namun pada suatu hari sebelum kesimpulan
itu populer, seseorang cendekiawan asal Iran berkunjung ke piramida. Pemandu
wisata di sana menjelaskan bahwa untuk pembangunan piramida itu, para budak bekerja
keras membawa
batu-batuan dari jarak yang sangat jauh.
Bukannya takjub, namun hati
cendekiawan tersebut merasa pedih membayangkan betapa menderitanya para budak saat
itu. Ia merenungi bagaimana kekuasaan bertindak dengan sangat tidak manusiawi
demi sebuah kepentingan pribadi. Perenungan ini pun pada akhirnya menjadi salah
satu yang mengilhami sang cendekiawan untuk terus senantiasa memperhatikan
mereka yang ditindas oleh tirani kekuasaan.
Cendekiawan itu bernama Ali Syari’ati.
Seseorang yang konon katanya, gagasan yang ia hasilkan mampu menjadi ilham bagi
terjadinya Revolusi Iran pada tahun 1979.
Gagasan yang ia tuangkan masih abadi
selepas kematiannya di usia 44 tahun. Ide-ide yang ia tulis mampu menggerakkan
kelompok massa untuk menumbangkan
rezim tiranik yang telah 200 tahun lamanya berkuasa. Doktor jebolan Universitas
Sorbone, Prancis itu pun menjadi bukti bahwa pemikiran filsafat dan agama bisa
menjadi sebuah kunci bagi berlangsunya perubahan besar.
Namun bagaimana mungkin sebuah
gagasan mampu menggerakkan masyarakat dalam skala besar? Apakah ini omong
kosong penulis? Entahlah, tapi pembaca sekalian bisa membantu penulis untuk
mengoreksinya. Kalian bisa membaca beberapa temuan para peneliti yang banyak
tersedia secara gratis di jurnal-jurnal ilmiah. Sebuah pemikiran ternyata mampu
membuka jalan ke arah gerak perubahan.
Pemikiran Syari’ati atau
pemikiran-pemikiran lainnya yang pernah menggerakkan dunia, tidak serta merta
dipahami dengan hanya membaca. Ada proses panjang literasi yang melibatkan
kegiatan membaca, bertanya, mencari informasi, menulis, sampai berdiskusi.
Terkait poin terakhir, sebeneranya
agak menggelikan jika seandainya mahasiswa hari ini masih alergi dengan aktivitas
bernama diskusi. Pasalnya, banyak gagasan-gagasan segar untuk dibicarakan. Ini
penting sebagai jalan untuk menghadirkan solusi bagi masalah-masalah yang ada
di masyarakat.
Terlebih bagi kader-kader Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), yang digadang-gadang sebagai kaum intelektual
yang sangat diperlukan perannya dalam berlangsungnya misi pembebasan
Muhammadiyah.
Apakah misi itu bisa diwujudkan jika
sumber daya mahasiswanya malas berdiskusi? Pertanyaan ini agaknya menjadi PR
kita bersama. Karena hari ini, banyak yang mengeluh bahwa mahasiswa sulit
sekali diajak untuk berdiskusi. Hal ini tercermin melalui anjuran agar tidak
banyak tanya saat presentasi. Diskusi-diskusi mandiri yang dilakukan mahasiswa
pun, lebih sering sepi daripada ramai oleh insan-insan yang penasaran.
Pemahaman Sebatas Judul Berita
Mahasiswa, katanya hari ini lebih
suka reaksioner ketimbang mencerna masalah di sekitarnya dengan lebih
sistematis. Apa benar? Coba kita cek sendiri ke diri kita dan orang-orang
terdekat.
Misalnya akhir-akhir ini, kita
dihebohkan dengan pemberitaan-pemberitaan terkait ratusan pelajar di ponorogo
yang hamil duluan lalu
mengajukan dispensasi nikah. Tidak sedikit yang menyuarakan kegelisahan terkait
hal ini. Beberapa bahkan berbau penghakiman, dengan menyatakan bahwa moral generasi
muda sedang anjlok.
Pertanyaannya adalah, apakah layak
segala kesalahan dibebankan kepada generasi muda? Pernahkah kita berpikir
bagaimana kebutuhan mereka; kebutuhan sosial, kebutuhan pendidikan, kebutuhan
ekonomi, dsb sudah terpenuhi atau belum? Jika belum, jangan-jangan ini adalah
alasan dari mengapa mereka terjebak pada perilaku yang menggiring ke situasi
tersebut.
Cukupkah kita merubah kondisi hanya
dengan menghakimi? Cukupkah kita dengan hanya meng-upload judul berita
tersebut di snap WhatssApp masing-masing? Bukankah kita bisa melakukan lebih? Dengan
berdiskusi dengan rekan-rekan yang ada misalnya. Membandingkan data-data,
penelitian-penelitian, serta manajemen konflik yang dipelajari di kelas-kelas.
Betukar pikiran dan sudut pandang.
Mengapa harus berdiskusi? Coba kita
kembali ke kisah Revolusi Iran tadi. Adanya perubahan dalam skala besar, tidak
serta merta terjadi dengan sendirinya. Melainkan dimulai dari semangat
perubahan dan perlawanan yang digaungkan Syari’ati di dalam alam pemikiran
masyarakat, khususnya pada mahasiswa hari itu. Meskipun bukan satu-satunya
sebab, pemikiran Syari’ati cukup memiliki pengaruh yang besar.
Kita juga perlu memahami bahwa di
dalam masyarakat, sebuah perubahan terjadi secara cepat dan tidak dapat dihindarkan.
Perubahan itu dapat direncanakan secara sistematis maupun terjadi dengan
sendirinya seiring dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini, sebenarnya
mahasiswa memiliki banyak sekali kesempatan untuk merekayasa terjadinya sebuah
perubahan ke arah yang positif.
Kita bisa merekayasa agar remaja
benar-benar memahami terkait kehamilan yang tak direncanakan. Kita bisa
merekayasa bahwa orang tua harus memperhatikan kebutuhan anak demi anak itu
sendiri dan stabilitas sosial. Kita bisa merekayasa agar mereka mengetahui
caranya. Kita bisa melakukannya, dan karena itulah kita sebagai mahasiswa
sering disebut sebagai agent of change.
Dalam proses rekayasa itu, kebiasaan
berdiskusi akan membantu kita. Salah satunya untuk menemukan akar
permasalahannya. Jika akarnya tidak dihabisi dan malah memotong daunnya.
Masalah yang sama akan timbul kembali.
Mempertanyakan sejak dalam pikiran,
melawan gagasan-gagasan yang menghambat adalah kerja-kerja jangka pendek Syari’ati.
Ia sangat paham bahwa perubahan memerlukan kesadaran yang ter-instal dengan
baik di setiap kepala individu. Ia memahami, lantas melakukan agitasi melalui konstruksi
pemahaman keislaman yang sangat mengumandangkan semangat pembebasan sebagai
kewajiban setiap muslim.
Buat Apa? Sebuah Refleksi
Konon, Ahmad Dahlan pernah berpesan,
“Hidup-hidupulah Muhammadiyah, jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah”.
Ucapan ini segera diplesetkan kader-kader IMM Ushuluddin dan Filsafat menjadi,
“Hidup-hidupulah komisariat, jangan mencari kehidupan di komisariat, karena
emang ya gak ada”.
Secara hermeneutika, sebenarnya guyonan
yang agak kurang ajar ini bermula dari kebuntuan pengurus komisariat yang
tidak tahu akan mendapatkan apa saat ber-IMM. Dirinya sendiri saja tidak tahu,
apalagi menjawab pertanyaan dari kader-kader, “Kita mendapatkan apa, kak?”
Tapi kalau kita kembali lagi ke
Ahmad Dahlan tadi, sebenarnya apa yang beliau dapatkan saat mendirikan dan
merawat Muhammadiyah? Begitu pun untuk orang-orang setelahnya yang masih melanjutkan
gerakan Muhammadiyah.
Lambat laun, kami di komisariat kala
itu belajar dan berdiskusi banyak hal untuk menjawab pertanyaan yang terkesan
pragmatis namun realistis tersebut. Bahwa sebagai umat Islam, kita diikat oleh
sebuah visi besar terkait peran dan posisi manusia. Kita adalah khalifah.
Syari’ati menegaskan bahwa makna
khalifah bukan hanya sebagai pemimpin yang menguasai bumi, tapi juga mahluk
yang perannya untuk memakmurkan bumi. Islam hadir, tidak hanya dalam rangka
memerintahkan manusia untuk melakukan sholat, puasa, haji, dan ritual-ritual
formal belaka. Hadirnya Islam adalah sebagai pembebas di tengah-tengah
masyarakat tertindas.
Terlebih-lebih bagi seorang muslim
yang juga adalah mahasiswa. Tanggung jawab itu ada di pundak kita. Dan diskusi
adalah kewajiban untuk melatih daya kritis, membangun kesepahaman, serta dalam
rangka internalisasi pengetahuan yang menyatukan kita. Tidak cukup hanya dengan
mengerti pentingnya diskusi, namun upaya diskusi itu juga harus dihadirkan
secara asyik dan menyenangkan agar diterima oleh para kader.
Sampai sini, mungkin ada yang
bertanya kenapa kok diskusi doang, mana gerakannya? Sayangnya, tulisan yang
terlalu panjang ini tidak mungkin menambah satu paragraf lagi untuk
menjawabnya. Pembaca sekalian bisa mulai berdiskusi terkait hal tersebut dengan
rekan-rekan di dalam dunia pergerakan. Syukur-syukur apabila pemikiran Ali
Syari’ati dimasukkan sebagai bahan diskursus. Lalu menjawab pertanyaan itu melalui
sebuah karya tulis, agar agitasi pembebasan dan semangat perlawanan dapat kita
gaungkan untuk melahirkan perubahan yang dikehendaki.