Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pseudo-intelektual; Pembacaan atas Intelekbual

Designed with Canva


Penulis: Habib Muzaki (Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan Koorkom IMM UINSA)

 

Kami Berkabung!

 

Seru mereka; Kampus elite, UKT sulit!

Dan, orang tua kami terlilit. Mahasiswa suarakan,

segala jeritan. Tapi dibayar seruan sabar –Bahkan diam!

Bapak berdasi yang kami cintai. Banyak teman kami,

bercita-cita mengambil cuti –dan bukannya peneliti

Karena nominal UKT hari ini, menolak menjadi bumi

Nominalnya tidak bersahabat. Tiap tahun selalu melesat

Maka hari ini kami berkabung. Biaya pendidikan kian melambung

Tanggungan segunung –Harga parkir sudah tidak dua ribu, Bung!

Tatap muka yang sering di-online kan. Diskusi yang sering diganti,

tugas-tugas mandiri. Maka kami mendakwahkan resah

Jika nantinya mereka putus kuliah –mereka itu para prloletar, Pak!

 

Dan, bagaimana kabarmu, kasih? -Yang segera dijawab,

“Bukankah ada yang lebih penting?” Apa? Godaku –sembari

dengan yakin jawabannya ialah aku. “Bukan kau, tolol!”

“Tapi apa kabar PTNBH?” Ah, para rektorat –iya mereka itu,

bisa saja ciptakan seribu alasan; Salah satunya demi kemajuan.

Padahal, proker KKN kami masih pakai uang sendiri!

Kami takut; dengan dalih menuju kampus mandiri,

pendidikan dikomersialisasi. Tanggung jawab

memakmurkan seisi negeri, digadaikan orang-orang

berdasi –asal perutnya terisi. Mencerdaskan

kehidupan bangsa; apakah sinonim dari melayani

nafsu-nafsu penguasa?

 

***

 

Kemana Perginya tuhan? –Mengabarkan Angka

 

Waras. Satu kata

yang dicari pada Nietzsche

Saat ia mendalilkan agitasi pledoi,

tuhan telah mati, katanya. Tapi bagaimana?

Bagaimana kalau tuhan itu ialah kita?

Feuerbach, cermin, dan alegori,

manusia membuang replika. Sehingga,

potensinya dikubur dalam cerita-cerita

Tuhan itu kita! Dan, kita menjelma

menjadi wakil-Nya yang bisu. Membisu

pada angka-angka. Tak bermakna kecuali

beberapa nol ditambahkan di belakangnya

yang hanya dilihat sebagai nominal

"Berapa nominal UKT-mu, Nak?"

Sekian, sekian... sekian rupiah

"Sekian dan cepatlah membayar," ujar

rayap-rayap kesadaran di kampus ketuhanan

 

***

 

Persetan; Suara Pembelaan

 

Seperti sekian cara kami; menulis

dan melakukan diskusi. Siskusi tapi nihil aksi

Oh, itu lah kami! Oh tidak, revisi! Kami salah

Karena kami sesekali aksi saat haus eksistensi

Minimal, lewat story. Karena mimpi kami itu

memakai dasi, meski otak kosong isi. Ke sana ke mari

sambil bertanya-mencari; Untuk hari ini mana,

yang paling menguntungkan, untuk diri sendiri? Persetan

Peduli setan nilai luhur. Jika kerakusan mampu dihibur

Sembari memesan kesadaran palsu sebagai penghibur

Jadilah keset-keset kekuasaan. Pesuruh dinasti.

Rezim monarki yang bertopengkan demokrasi. Sampah

Benar-benar sampah untuk menjadi penyuara

bagi perut lapar yang kenyang akan sabar

Organ kami mati sebab dikebiri; kesadarannya

Kesadaran -sebagai peralihan pengetahuan

Pengetahuan; sebagai peliharaan kekuasaan

kuasa dan pengetahuan; yang sangat bermanfaat,

untuk satu-dua kali waktu; karena digunakan

hanya untuk mengisi lembar jawaban soal ujian

atau melobi orang dalam

 

***

 

Terik-Teriak Intelekbual

 

Berteriak keadilan. Apakah Das Kapital

pernah mereka baca? Pertama, menjadi pembeo

Marx dengan satu bait ayatnya. Kedua, bersandiwara

sebagai orang-orangan Frankfurt. Ketiga, lari

dengan dalih sudah waktunya menyebar amplop

lamaran kerja. Penghianatan intelektual -Benda,

menyapa kekosongan kesadaran. Tapi emm... ah...

beberapa -untuk tidak menyebutnya banyak- sarjana

sedang mandi besar. Setelah mengocok karya ilmiah

mereka dengan sabun-licin kelulusan –memoar busana!

Intelektual tradisional -Lihatlah, Gramsci datang!

Membawa sebilah pedang yang tak lebih laku

dibanding, "Besok mau kerja apa ya?"

 

Pada hasil olah kreasi rezim pengetahuan. Mereka itu

maunya apa? Menyuarakan hanya jika kesakitan, merintih

Apatis saat koneksi gratis, memilih; pilih-pilih mana

kelompok yang mau dimenangkan -dan, harus menang!

Apapun caranya. Bagaimana pun jalannya. Itulah polio(tik)

Gema-gema keserakahan dan mencari-cari pembenaran

pada aksi yang tak dirancang sendiri. Larut pada arus,

maka apa yang tak harus? Pengetahuan yang sudah digadaikan

untuk mengganjal makan malam. Sistem yang dikendalikan

untuk kepentingan pedagang cocot lambe –penjual mimpi

 

Persatuan yang tak disatukan. Diskusi tanpa literasi

Maka kesadaran intelektual, tidur kedinginan. Karena selimutnya

telah dibeli para orang tuli yang berkuasa -membodohi massa

Kesadaran itu masih tidur! Karena membaca masih sesekali

Buku penting yang sulit terbeli. Gerakan yang lelah sendiri

Diskusi yang tak dihadiri. Meraung hanya untuk diri sendiri

Saat melihat aksi, Stop! Katanya. Lalu menganjurkan berhenti

lalu memaki dan lari-lari di malam hari –menuju aplikasi!

Menyuburkan malu dan malas. Menjadikan kemajuan sebagai

tujuan. Seakan-akan ia datang dengan sendirinya. Sebenarnya,

kita sedang memperjuangkan apa?

 

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA