Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dua Model Profesor: Profesor Lobi dan Profesor Ilmu

Gambar Oleh: Stanislav Kondratiev, Sumber: pexels.com

 

Penulis: Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I (Direktur InSID for Research and Humanity)*


Idealnya, profesor (Guru Besar) adalah seseorang yang memiliki kapasitas keilmuan mumpuni dan memberikan kontribusi sosial yang berdampak terhadap pencerahan dan kemajuan bagi dunia akademik maupun masyarakat secara luas.

Sehingga, dari kapasitas dan peran tersebut, mereka diberikan pengakuan akademik tertinggi oleh Perguruan Tinggi dan masyarakat berupa gelar profesor.

Pertanyaannya apakah yang terjadi di lapangan seideal seperti kriteria di atas? Belum tentu! Profesor adalah jabatan sangat prestisius dalam dunia akademik, sehingga menjadi ukuran atau standar keilmuan dan status sosial tertinggi seseorang dalam dunia perguruan tinggi.

Orang yang sudah menyandang gelar profesor akan mendapat banyak fasilitas mulai dari peningkatan pendapatan materi (tunjangan profesor) hingga status sosial yang tinggi di masyarakat.

Mereka akan sangat di hormati, baik di dalam kampus maupun di tengah masyarakat. Mereka dianggap memiliki kapasitas keilmuan mumpuni dan jaringan sosial di atas rata-rata masyarakat awam. Kalau menggunakan istilah tasawuf, profesor itu sudah berada di level "Maqom Makrifat".

Dari latar di atas, menjadikan para insan akademik bahkan insan non akademik (pejabat, politisi, pengusaha, tokoh masyarakat) berlomba-lomba untuk mencapai dan mendapatkan gelar profesor dari dunia perguruan tinggi. Bagi insan non akademik, gelar profesornya disebut dengan istilah "Profesor Kehormatan".

Fenomena pemberian gelar Profesor Kehormatan di kalangan insan non akademik (politisi, pengusaha, pejabat) saat ini menjadi pro kontra di tengah masyarakat. Seperti kasus di UGM dimana sekitar 354 dosen UGM menolak pemberian gelar Profesor Kehormatan. (CNNIndonesia.com, 15/2/2023).

Menurut saya, memang perlu ada kajian dan pertimbangan secara komperhensif dan mendalam bagi perguruan tinggi yang akan memberikan gelar tersebut. Sehingga, publik (masyarakat) tidak curiga pemberian gelar tersebut hanya untuk kepentingan politis-kekuasaan dan material belaka. Namun, seharusnya pemberian gelar profesor dapat menjadi inspirasi dan kontribusi percepatan tradisi pengembangan keilmuan di perguruan tinggi yang berdampak bagi kemajuan masyarakat secara luas.

Saking prestisius gelar profesor, maka praktek di lapangan sering dijumpai penggunaan segala cara untuk mendapatkan gelar ini. Mulai dari cara (prosedur) yang benar secara akademik dan peraturan konstitusi, hingga menggunakan pola cara (prosedur) yang mencederai keadaban moralitas akademik dengan cara curang dan kotor (suap, plagiasi, perjokian dan sebagainya).

Pola kedua tersebut, mirip pola kerja di dunia gangster (mafia), yaitu (rapi, sistematis dan senyap) yang penting dapat gelar profesor, selesai. Sehingga menurut saya, pola tersebut sangat tidak pantas dan mencederai kesucian dunia akademik, maka kita harus bersatu melawan memberantas "Mafia Profesor" di dunia akademik perguruan tinggi kita tercinta.

Dari dua model untuk mendapatkan gelar profesor tersebut, ternyata menghasilkan dua model Profesor yang berbeda di masyarakat, yaitu model "Profesor Lobi dan Profesor Ilmu". Lalu bagaimana kriteria dua model profesor tersebut?

 

Profesor "Lobi"

Profesor Lobi merupakan gelar profesor yang didapatkan karena hasil lobi-lobi dengan para pemegang kebijakan yang mengurusi pemberian gelar ini. Bukan karena kapasitas dan karya-karya keilmuan yang dihasilkannya. Sehingga, peran akademik tidak begitu berefek besar bagi perkembangan keilmuan di perguruan tinggi tersebut. Kalau memakai istilah Arab "Wujudihi ka 'adami" atau"Keberadaannya sama dengan ketidak adaannya" dalam konteks keilmuan bukan dalam konteks jabatan.

Profesor model ini, biasanya untuk memenuhi kebutuhan kewajiban akademik (Publikasi ilmiah atau karya buku) sebagai syarat untuk mendapatkan tunjangan. Profesor ini menggunakan tim perjokian dengan memberikan sejumlah imbalan material, bukan karya sendiri. Sehingga banyak ditemukan plagiasi karya para profesor dengan mahasiswanya di dunia akademik. Seperti berita "Calon Guru Besar Terlibat Perjokian" di kompas.id (10/2/2023).

Profesor Lobi biasanya secara sosial juga tidak begitu aktif atau peduli berkiprah dan memberikan kontribusi positif bagi pencerahan dan kemajuan masyarakat. Artinya gelar profesor sebagai identitas keilmuan tertinggi tidak memiliki pengaruh dengan problematika masyarakat yang membutuhkan solusi dari profesor. Gelar profesor hanya untuk kebanggan diri dan keluarganya, tidak bermanfaat untuk masyarakat.

Profesor lobi biasa yang dibicarakan lebih pada urusan material dan strategi lobi untuk mendapatkan gelar profesor daripada membahas dan mendorong pengembangan keilmuan untuk mendapatkan gelar profesor.

Sehingga, kita tidak begitu mengenal pemikiran keilmuan profesor tersebut di dunia akademik, atau menjumpai kontribusi real pemikiran dan peran sosial profesor tersebut di tengah masyarakat.

 

Profesor "Ilmu"

Gelar Profesor yang didapatkan karena kapasitas dan karya-karya keilmuan mumpuni dan peran sosial yang besar ditengah masyarakat. Sehingga, mereka diakui dan layak diberikan gelar profesor oleh perguruan tinggi. Karya-karya keilmuannya dihasilkan sendiri sebagai komitmen menjunjung kesucian akademik.

Profesor Ilmu yang sering dibicarakan adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan selalu mendorong kepada insan akademik untuk terus meningkatkan kapasitas keilmuan. Sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan dan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dan tradisi keilmuan dalam dunia perguruan tinggi. Dan jika kita bersama mereka, biasanya mereka sangat menginspirasi dan kita dapat banyak ilmu sehingga kita dapat pencerahan.

Profesor ilmu dalam peran sosialnya sangat berpengaruh di masyarakat, karena mereka selain aktif di dunia akademik, mereka juga aktif di pergerakan sosial kemasyarakatan. Pikiran-pikiran mereka banyak memberikan solusi strategis bagi penyelesaian problematika masyarakat sehingga pikiran dan peran mereka sangat dekat dengan masyarakat.

Profesor model ini bukanlah seorang "intelektual menara gading". Meminjam istilah Ali Syariati, Profesor Ilmu adalah "Ulul Albab" atau jika kita meminjam istilah Gramsci, maka disebut "Intelektual Organik".

Demikian pembacaan ini berdasarkan dari amatan gejala sosiologis yang terjadi di masyarakat, sehingga boleh berbeda dan tidak harus sepakat.

 

*Pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Hikmah IMM Komisariat Syariah Periode 2002-2003 serta Ketua Korkoom "Progresif" IMM UINSA Periode 2003-2004. Saat ini juga sedang menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Timur serta Sekretaris Direktur Pacsarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA