Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Feminisme atau Egosentris Pribadi?

Foto oleh Steve Johnson, diunduh dari pexels.com


Penulis: Ghina Ruqayatul Malihah (Ketua Umum IMM Avempace)


Dia yang mengatasnamakan seorang feminisme sejati, katanya mengagungkan adanya kesetaraan hingga norma-norma dan nilai agama dialinasikan hanya untuk memuaskan hasrat berpikirnya.

Sehingga dampaknya, banyak manusia menyatakan kebebasan hak yang mereka inginkan yang mereka persepsikan “sesuai” dengan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Apabila ditarik dari kajian ilmu sosial, feminisme merupakan teori yang menyatakan persamaan laki-laki dan perempuan dalam memenuhi haknya. Yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan pekerjaan dengan gaji atau pendapatan yang sama.

Cinta Laura mengatakan dalam podcast di salah satu akun YouTube, “Kesetaraan gender adalah perjuangan seorang perempuan untuk mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki.”

Di sini diperjelas bahwa kesetaraan gender, feminisme adalah kemerdekaan manusia untuk mendapatkan hak yang sama dalam memanusiakan manusia.

Dalam kajian ilmu Hubungan Internasional (HI) teori Postpositivis, feminisme muncul karena keresahan masyarakat selama masa perang dunia berlangsung, yang di mana dunia cenderung didominasi kaum pria dan mengesampingkan peran kaum wanita.

Kaum perempuan mendapatkan diskriminasi dalam mencari hak pendidikan dan pekerjaan yang memiliki gaji yang layak.

Pelacur, pemuas nafsu kaum laki-laki, dan sebagai hiburan itulah pekerjaan yang bisa didapatkan oleh kaum perempuan selain berada di dapur untuk memasak, menjaga anak, dan membersihkan rumah.

Kemerdekaan dalam mendapatkan hak itulah yang diperjuangkan oleh kaum perempuan untuk sebagai hidup sebagai manusia.

Menurut buku Feminisme dalam Hubungan Internasional karya Scott Burchill dan Andew Linklater, dari perspektif feminis postmodern, “Semua tempat yang berbicara dan bertindak bagi perempuan semuanya serba problematik.” Karena secara sosial dan historis dikonstruksikan dan dilarang oleh identitas lain.

Dari buku yang sama, Sylvester berargumen dengan kuat bahwa perdebatan modern dan postmodern mengenai status objektif atau relative dari klaim pengetahuan adalah dengan sendirinya dibentuk oleh paham positivisme dan dikotomi gender spesifik yang mengasumsikan suatu pemisahan tegas antara teori dan praktek, maskulin dan feminine, subjek dan objek.

Globalisasi yang terjadi saat revolusi industri saat ini, memberikan dampak yaitu banyaknya akulturasi percampuran budaya tidak bisa difilterkan bahkan dihentikan secara sepihak. Digitalisasi pun juga ikut memberikan doktrin feminisme kian tak sejalan dari awal lahirnya.

Kemirisan makin menjadi ketika ada kata emansipasi sebagai backing-an bahwa perempuan bisa berlaku sesuai keinginannya.

Emansipasi yang “benar” adalah di saat perempuan ingin mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki sebagai seorang manusia. Memanusiakan manusia bukan mendiskriminasi kaum hawa.

Banyak oknum let’s we say. Mereka mengatasnamakan emansipasi adalah memakai pakaian yang sama. Ketika laki-laki boleh bertelanjang dada, maka perempuan boleh melakukan hal yang serupa. Ketika laki-laki bisa memilih pakaian yang ia kenakan sesukanya, maka perempuan juga bisa melakukan hal yang serupa tanpa melihat batasan auratnya.

Ketika perempuan boleh memakai celana, maka laki-laki boleh memakai rok seperti perempuan. Ketika perempuan boleh memakai make up, maka laki-laki boleh memakai make up. Ketika perempuan boleh main boleh maka laki-laki boleh bermain boneka.

Perempuan dan laki-laki memilki anggota tubuh yang berbeda dan pastinya memiliki treatment yang berbeda untuk menjaga, mengamankan, juga merawatnya. Setiap gender dan jenis kelamin seharusnya dibedakan. Jangan menormalisasikan gender netral karena akan memunculkan ambigu dan dilema bagi manusia yang baru saja pubertas.

Sebagai seorang muslim atau muslimah yang telah berjanji kepada Rabb sejak dalam kandungan untuk beragama Islam dan akhirnya bisa beragama Islam ketika keluar dari dunia rahim Ibunda. Maka memiliki Al-Qur’an sebagai pegangan untuk membatasi hawa dan nafsu.

Manusia tidak dapat melakukan semena-mena dan berbuat sesuka hal yang dia inginkan secara pribadi. Hukum dan norma dibuat untuk membuat batasan dalam hal itu, karena setiap orang memiliki keinginan yang berbeda dan setiap pribadi bukanlah dari satu pikiran yang sama.

Bayangkan saja, bagaimana egosentris pribadi lebih diagungkan daripada teori, norma, dan hukum yang telah ada dan jelas-jelas sudah ada. Namun karena tidak puas akan hasilnya, lantas memberikan tambahan dan melakukan dekonstruksi yang malah mengahancurkan dunia secara tidak sengaja.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA