Islamic Studies sebagai Disiplin Ilmu Universitas
Gambar: Azyumardi Azra, salah satu cendekiawan Muhammadiyah, Sumber: muhammadiyah.or.id |
Penulis: Dian Jayadi Arifin (Anggota Bidang Kader IMM KUF)
Kajian tentang
studi Islam (Islamic Studies) sebagai disiplin ilmu universitas sebenarnya
bukanlah hal yang asing di telinga kita. Kenapa bukanlah hal yang asing, karena
banyak lembaga pendidikan tinggi atau perguruan tinggi secara luas tumbuh dan
berkembang dalam sejarah Islam.
Namun didorong
dunia modern, Islamic studies tumbuh sebagai kecenderungan baru. Sebenarnya
kebanyakan negara-negara muslim telah mulai mengembangkan Studi Islam sesuai
dengan paradigma keilmuan dan akademis modern pada Universitas di dalam beberapa
dekade belakangan ini.
Banyak ide-ide
dan gagasan yang muncul ke permukaan. Berhubung dengan adanya desakan ke arah
pengadaan program Islamic Studies pada kurikulum universitas.
Islamic studies
ini dikelompokkan ke dalam studi teologi dengan tujuan dan muatan yang jelas baik
bagi sarjana muslim maupun non muslim. Pada sisi yang lain, sifat dan ruang
lingkup studi Islam, hanya dipandang sebagai penelitian terhadap fenomena
regional atau etnik.
Sifat dan ruang
lingkup Islamic studies harus dipandang secara lebih luas ke dalam wilayah
peradaban Islam. Dengan demikian, Islamic studies ini memiliki arti yang luas
terhadap seluruh aspek peradaban Islam meliputi penelitian dan kehidupan muslim
di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.
Para sejarawan
Islam mencatat, Islamic studies sudah berkembang sejak masa awal dunia Islam. Karena
adanya tumbuhnya lembaga pendidikan diilhami ajaran Islam itu sendiri yang
menyatakan bahwa pendidikan merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Banyak ayat
Alquran yang menjelaskan tentang tugas setiap muslim untuk belajar di manapun
dan kapan pun.
Sebenarnya
masyarakat muslim sudah banyak mengalami perkembangan yang berhubungan erat
dengan masjid sebagai pusat aktivitas keagamaan, sosial, maupun budaya.
Pertumbuhan dan
perluasan dalam masyarakat muslim yang diiringi dengan pertambahan jumlah
masjid. Masjid juga memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah awal pendidikan
Islam.
Masjid adalah
satu tempat yang menjadi pusat sentral pendidikan Islam selain sebagai pusat ibadah. Kebanyakan
masjid pada zaman awal Islam, di dalamnya didirikan semacam lembaga pendidikan
tinggi, yang kemudian dinamakan Al-Jami’ah.
Di antara universitas
maupun masjid yang lain yang paling menonjol adalah Universitas Al-Azhar
tepatnya di Kota Kairo, Mesir. Bayt al-Hikmah yang sering juga disebut peneliti
sebagai lembaga pendidikan tinggi yang lain dan paling awal yang didirikan oleh
Khalifah Al-Ma’mun.
Sebenarnya
bukanlah lembaga pendidikan tinggi atau universitas, tetapi adalah semacam
lembaga riset untuk pengembangan ilmu.
Di wilayah Dinasti
Abbasiyah, tepatnya di ibu kota Baghdad, memiliki perkembangan pokok dalam
sejarah pendidikan tinggi. Di situlah lahirnya lembaga Al-Madrasah yang secara
harfiah berarti “sekolah”. Al-Madaris secara umunya terdiri dari pendidikan
pertama sampai pendidikan yang tertinggi yaitu universitas.
Dinasti Ummayah
juga mengembangkam banyak pendidikan tinggi di kota Sevilla, Cordoba, Granada,
dan di kota-kota lainnya. Universitas tersebut memberikan sumbangan khusus bagi
kemajuan Eropa di abad pertengahan dan menjadi simbol cemerlang pendidikan
Muslim.
Terkait hal
ini, Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
di tengah Tantangan Milenium III mengutip ucapan Philip K. Hitti yang
mengatakan bahwa, “Umat muslim telah menulis salah satu bab paling cerdas dalam
sejarah intelektual Eropa abad pertengahan antara pertengahan abad VIII dan
permulaan abad X. Orang-orang berbahasa Arab adalah para pembawa obor
kebudayaan dan peradaban ke seluruh dunia. Lebih dari itu, kebudayaan dan
peradaban tersebut diperbarui , dilengkapi, dan diebarkan dengan cara yang
melahirkan Renaisans Eropa Barat. Dalam semua hal ini, bangsa arab memiliki
andil besar.”
Kurikulum madarsah
memang “liberal”, walaupun masih menekankan mata kuliah teologi. Seperti
contohnya tepatnya di wilayah Dinasti Abbasiyah. Seluruh lembaga menawarkan
pendidikan universitas dalam cakupan lebih luas seperti bahasa Arab, astronomi,
kedokteran, hukum, logika, metafisika, aritmatika, pertanian, dan lain-lain.
Bentuk kurikulum madrasah pada abad pertengahan merupakan pelopor pendidikan
liberal yang kemudian dilaksanakan di lembaga Barat.
Dalam buku yang
sama, Azyumardi Azra juga mengutip Khalil Totah yang menyatakan, “Dibandingkan
kurikulum sekarang, mata kuliah ini sangat mirip dengan silabus ilmu humainora
yang sekarang, diterapkan di lembaga-lembaga Gymnasium Jerman, Lycee Perancis
dan ‘College’ Inggris, yang merupakan hasil renaisans dan karena itu
digabungkann dengan sekolah tinggi Arab. Demikian, Lycee Perancis atau Sekolah
tingginya, Eton College, dan dalam beberapa madrasah Arab. Kurikulum madrasah
meliputi dasar pemikiran hampir sama, yang merupakan syarat bagi ‘baccalaurate’
Europa.”
Ada banyak
prestasi universitas Islam yang menjadi peranan intelektual dan ilmu
pengetahuan prestasi-prestasi tersebut sangat berpengaruh di Eropa abad
pertengahan.
Azyumardi Azra juga
mengutip Montgomery Watt yang pernah menjelaskan bahwa pengaruh Islam terhadap
Kristen Barat lebih besar daripada yang umum disadari.
Bagi Watt, Islam
tidak sekedar telah memberikan Eropa Barat berbagai produk material dan
penemuan teknologi. Bahkan tidak sekedar mendorong Eropa secara intelektual
dalam bidang ilmu pengetahuan dan falsafah. Tetapi juga mendorong Eropa untuk
membentuk pandangan mereka tentang eksistensinya sendiri.
Watt juga
menekankan bahwa, “Jadi saat ini tugas penting bangsa Eropa Barat, ketika kita
memasuki wilayah dunia yang satu adalah memperbaiki pemahaman yang salah ini
secara utuh mengakui utang kita kepada dunia Arab dan Islam.”
Dapat
disimpulkan bahwa peradaban Islam memiliki pengaruh terhadap Eropa. Terlebih
karena sistem penerimaan universitas Islam atau madrasah dibuka untuk umum
tanpa memandang agama atau kebangsaan seseorang.