Perlunya Akal Radikal terhadap Rezim
Foto oleh Markus Spiske, diunduh melalui pexels.com |
Penulis: Yogaraksa Ananta
(Kader IMM Avempace)
Radikal, tentunya kita
tidak asing terhadap diksi tersebut, apalagi sering terdengar di penjuru nasional.
Secara formalitas, diksi ini seringkali terdengar jika ada aktivitas yang sifatnya
mengancam misalnya seperti terorisme, pengeboman dan gerakan separitisme.
Namun diksi ini sekarang
tak jarang ditancapkan kepada sekelompok orang yang melakukan kritik terhadap pemerintahan.
Kelompok ini biasa dikenal sebagai oposisi. Penyematan itu biasanya disebut
sebagai kelompok buzzer dengan menyerang kelompok oposisi melalui media sosial.
Padahal secara
terminologi, radikal merupakan hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental,
pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak
biasanya”.
Bisa dikatakan bahwa
radikal merupakan cara berpikir yang mendasar. Tentunya hal tersebut akan
berdampak positif jika diletakkan dalam wadah yang tepat. Radikal dalam berpikir
akan menjadi positif jika ditaruh ke dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan
bersama, contohnya seperti politik.
Politik merupakan ranah
bagi orang-orang yang peduli dengan kepentingan bersama. Namun di negara kita,
banyak politikus dan pejabat negara yang mengkesampingkan hal ini. Bahkan cenderung
mementingkan diri sendiri, hingga terwujudnya blunder dalam bentuk korupsi
kolusi dan nepotisme (KKN).
Hal tersebut bisa terjadi
karena kurangnya masyarakat yang berpikir kritis dalam memperhatikan para politikus
maupun pejabat negara. Akal yang radikal tidak terlepas dari pemikiran yang
kritis. Bahkan orang-orang yang biasanya bersikap antagonis terhadap rezim
memiliki pemikiran yang tentunya berdampak positif jika rezim sanggup
menanganinya.
Masyarakat yang berpikir
kritis terhadap rezim, tentunya akan terus mencari kesalahan-kesalahan. Akan
menjadi keuntungan bagi rezim jika mendengarkan kritikan yang dilontarkan oleh
masyarakat. Asal rezim mampu mengolah kritikan tersebut dengan benar.
Kita tidak bisa diam saja
jika ada kebijakan-kebijakan yang dicanangkan oleh rezim berdampak merugikan
bagi sebagian masyarakat. Sudah menjadi kewajiban kita untuk mengkritik rezim. Karena
dengan begitu, kita secara tidak langsung berperan dalam mewujudkan negara yang
berdaulat, adil dan makmur.
Namun dalam mengkritik,
tentunya memiliki etika tersendiri. Misalnya seperti jangan sampai mengkritik
tanpa tujuan yang jelas dan cenderung ingin melengserkan pemerintahan.
Dalam konteks mahasiswa, kita
bisa merujuk Tri Dharma Perguruan Tinggi pada poin ketiga yaitu Pengabdian
Masyarakat. Sebagai mahasiswa yang peduli terhadap masyarakat, harus berani berpikir
kritis bilamana ada kebijakan-kebijakan rezim yang menyengsarakan masyarakat.
Etika
Berpolitik dapat Terbentuk Atas Pemikiran yang Radikal
Dalam setiap tindakan
manusia, tentunya memiliki etika yang diaktualisasikan. Dimana etika itu
menyakup penilaian sikap kebenaran atau kebaikan sosial. Dalam setiap tindakan
manusia, hal pertama yang diperhatikan adalah etika.
Etika yang baik terjadi
ketika kita berpikir dan mengimplementasikan apakah tindakan yang kita lakukan
bersifat benar atau baik di mata sosial.
Khususnya di politik
sendiri, sangat penting jika melibatkan etika dalam setiap tindakan. Pada
dasarnya, politik merupakan segala tindakan yang menyangkut kesejahteraan
sosial. Di dalam politik, menyangkut banyak aspek seperti kepemimpinan, sosial,
pendidikan, ekonomi, pertahanan, hukum dan HAM.
Banyak politisi dan
pejabat negara yang melakukan tindakan kriminal akibat dari tidak tertanamnya
etika berpolitik, contohnya seperti KKN, jual beli kekuasaan, money politik, dll.
Money
politik merupakan salah satu pelanggaran politik yang sudah menjadi budaya di
Indonesia ketika adanya Pemilihan Umum (Pemilu). Tak jarang di berbagai sudut
daerah yang mengadakan pemilu, banyak partai dan politisi yang menerapkan money politik sebagai cara instan untuk
mencari suara.
Padahal jika kita pikir
lebih mendalam, kegiatan money
politik terjadi karena tidak adanya etika antara pihak yang terlibat. Lebih
parahnya lagi, hal tersebut menjadi kebiasaan.
Perlunya pemikiran
radikal atau berpikir kritis adalah untuk memberantas itu semua agar
terciptanya etika berpolitik. Jika kita tidak berpikir kritis terhadap politik,
maka negara kita akan mengalami kemunduran birokrasi politik yang berdampak
pada banyak aspek tentunya.
Jika segala aktivitas politik
mengedepankan etika, maka negara ini akan menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur atau
negeri yang makmur dan damai.
Melatih
Nalar Kritis
Untuk mewujudkan negara
yang berdaulat, adil dan makmur, maka berpikir kritis mutlak sudah menjadi
kebutuhan kita. Terlebih kepada rezim, kita harus memiliki bekal pikiran kritis.
Jangan sampai negara ini menjadi negara yang usang karena sedikitnya mahasiswa
yang berpikir kritis.
Dalam berpikir kritis,
tentunya tidak dapat muncul begitu saja karena berpikir. Butuh latihan, bisa
melalui organisasi, diskusi dan melalui masalah yang kita hadapi sehari-hari.
Melatih nalar kritis bisa
melalui hal kecil, contohnya seperti membaca buku. Banyak buku-buku yang
melatih nalar kritis dan bisa kita buat acuan untuk belajar bagaimana cara berpikir
kritis yang rasional.
Contohnya seperti Madilog: Materialisme, Dialektika, dan
Logika yang ditulis oleh Tan Malaka. Buku ini membahas tentang bagaimana
bangsa Indonesia harus terlepas dari logika mistika. Logika ini memiliki arti apa
yang terjadi di dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan alam ghaib.
Tan Malaka melihat bahwa
kemajuan manusia dapat melalui tiga tahapan, yaitu dari “logika mistika” lewat
“filsafat” ke “ilmu pengetahuan (sains)”.
Selama bangsa Indonesia
terbalut oleh logika mistika, tak akan mungkin bangsa ini menjadi merdeka dan
maju. Buku ini merupakan solusi dari logika mistika dan bisa dikatakan sebagai
ajakan dari sang nasionalis untuk keluar dari keterbelakangan dan kemunduran.
Ada pula buku berjudul Berpikir Kritis: Kecakapan di Era Digital.
Buku yang dikarang oleh Kasdin Sihotang ini membahas tentang bagaimana berpikir
kritis sangat dibutuhkan di era digital.
Berpikir kritis merupakan
kebutuhan yang mendasar di era globalisasi dan digital yang sarat dengan
kompksitas dan perubahan yang masif. Buku ini sangat cocok bagi kita sebagai
mahasiswa yang menjalani kegiatan sehari-hari tanpa terlepas dari kebutuhan
digital.
Ada pula Politics
yang ditulis oleh filsuf Yunani bernama Aristoteles. Buku ini sangat
cocok bagi mahasiswa yang ingin belajar tentang politik dan birokrasi
pemerintahan.
Buku ini membahas tentang
bagaimana konstistusi dan sistem tata negara di berbagai negara dan komunitas. Bahkan
juga mengidentifikasi bagaimana negara yang memiliki pemerintahan yang baik dan
tidak baik.
Masih banyak lagi
buku-buku yang berguna untuk melatih nalar kritis kita. Berbagai macam
buku-buku itu bisa kita cari di toko buku favorit kita dengan harga yang terjangkau.