Lagi-Lagi Artificial Intelligence
Penulis:
Muhammad Habib Muzaki (Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan Koorkom IMM UINSA)*
Baru
kemarin, penulis dan kawan sepergabutan di kontrakan menginisiasi sebuah forum
diskusi kecil-kecilan. Kita membahas potensi Artificial Intelligence (AI) di
masa depan nanti. AI kami bayangkan bak Doraemon, Ultron, Jarvis, Skynet,
maupun Karen, istrinya Plankton itu. Jika mereka ada, nyata, dan eksis. Bayangkan,
menabjubkan bukan?
Ada
satu bentuk AI yang “masih” diperdebatkan sudah eksis atau belum untuk
setidaknya hari ini. Yaitu sebuah program yang mampu mencari informasi tanpa
diminta, memproses data-data itu sendiri, menganalisisnya, menghasilkan
kesimpulan.
Jika
ia benar-benar ada, bagaimana jika ia berevolusi mengembangkan dirinya sendiri?
Sehingga, seperti salah satu episode dalam sejarah Homo Sapiens yang
diterangkan Yuval Noah Harari; AI mengalami evolusi kognitif, memiliki kesadarannya
sendiri. Ia sadar bahwa ia ada dan mulai mengambil membuat keputusannya
sendiri.
Jika
konsep AI yang sangat sempurna seperti itu ada. Lantas apa gunanya kita? Misalnya,
kita ingin tahu sejarah pertikaian Ali dan Mu’awiyah. AI -karena ia adalah
program digital super cepat, canggih, dan cerdas-, maka hanya butuh sekian
menit untuk menguasai semua buku dan referensi lainnya. Ia bahkan akan mampu
menganalis semua itu. Sehingga ia nantinya akan menghadirkan narasi-narasi Ali
dan Mu’awiyah dalam lintas persepktif dan multi disiplin.
Seorang
profesor, mungkin baru bisa melakukan itu dalam bertahun-tahun. Coba tanya
kepada Harry Poeze, berapa banyak waktu yang harus dihabiskan saat mempelajari
Tan Malaka? Atau kepada Peter Brian Ramsay Carey, yang 40 tahun lebih meneliti
Perang Jawa, terlebih-lebih ke Pangeran Diponegoro. Bagaimana jika semua hal
itu mampu dilakukan AI hanya dalam sekian menit. Bahkan dengan lebih baik?
Bahkan,
bagaimana jika suatu saat negara akan dipimpin oleh AI? Pemimpin hari ini,
sebagaimana yang kita tahu memiliki bias gender, memiliki bias kepentingan
politik, memiliki bias suku, memiliki bias agama bahkan. Keputusan yang ia
hasilkan tak selalu memuaskan semua golongan.
Terlebih,
bagaimana jika otoritas agama diambil alih AI? Ahli agama; betapa sering mereka
ribut satu sama lain sebab jangkauan pengetahuannya yang belum luas. Yang satu
hanya belajar sejarah klasik agama tersebut, yang satu hanya belajar filsafat
agama, yang satu hanya belajar sosiologi agama.
Sebagaimana
manusia umumnya, mereka memiliki keterbatasan. Manusia dapat marah, memiliki
nafsu, memiliki kepentingan, memiliki titik jenuhnya. Mereka butuh waktu,
mereka butuh proses yang tidak sebentar. Bahkan, jasad organik kita memiliki batas
yang menyebabkan kita sering membayangkan kesempurnaan tanpa mampu
mewujudkannya.
Kita
saja mungkin, membaca baru satu lembar buku sudah terganggu dan gagal fokus
karena sebuah notifikasi Whats App. Entah itu isinya “Lagi apa?” dari something person maupun berisi teror
dari Redaksi IMM UINSA yang menagih tulisan.
Bagaimana
jika AI -yang tidak memiliki jasad organik- tidak memiliki semua kekurangan
itu? Ia mengembangkan dirinya sendiri, meng-upgrade
kapasitasnya sendiri menjadi hampir tidak terbatas. Hari ini, Harari sudah
menerbitkan karyanya, Homo Deus yang
berisikan “kemungkinan” akan superioritas manusia yang berusaha menjadi “Tuhan”. Bagaimana jika dua abad lagi, ada AI
yang menerbitkan bukunya berjudul AI-Deus?
Apakah
sekedar pseudo-ketakutan belaka? Atau kami dalam forum itu sedang terlalu mudah
dibodohi dengan sains fiksi belaka? Entahlah. Tapi apa salahnya membayangkan, mensimulasikan,
dan berdiskusi. Penulis sendiri sebelumnya pernah menulis yang semacam itu di Terminal Mojok,
jangan lupa dibaca ya hehehe. Tapi bukankah
menarik meraba-raba kemungkinan di masa depan?
Memangnya
apa yang tidak mungkin? Manusia yang hidup di abad ke-10 mungkin aneh ketika
membayangkan ada layar yang bisa disentuh, komunikasi lintas benua, buku berbentuk
digital yang mudah dibajak sembarangan, maupun esai di website ini. Semua ini kita
nikmati mungkin dengan perasaan biasa-biasa saja, seolah semua ini adalah hal
yang wajar. Sebuah kewajaran yang mungkin membingungkan manusia-manusia yang
hidup beberapa abad lalu.
Pada
akhirnya, penulis hanya bisa sekedar membayangkan. Dua abad lagi, mereka yang melakukan
uji disertasi adalah para AI. Mereka yang mendiskusikan mana kebijakan terbaik
sebuah negara adalah para AI. Mereka yang membentuk fatwa adalah para AI.
Mereka yang memutuskan apakah kampus seperti UIN Sunan Ampel Surabaya boleh
digunakan selama 24 jam atau tidak adalah AI.
Bahkan,
mereka yang berdiskusi di Sekretariat Koorkom IMM UINSA adalah para AI. Mereka
mengadakan kajian, mereka yang mengisi ulang Sunlight untuk mencuci piring-piring
kotor, mereka yang membersihkan bekas kopi, makanan, dan melipat banner selepas
acara.
Sampai
sini pula, penulis membayangkan bagaimana kalau misal hari ini sudah ada AI
secanggih itu. Minimal untuk membantu penulis sendiri dalam menjalankan fungsi-fungsi
Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan (RPK).
Terlebih
di saat sekretaris bidangnya harus fokus bekerja di daerah asalnya, sedang ia sebenarnya
masih sangat ingin berkontribusi secara penuh di IMM dari hati terdalamnya. Di
saat yang sama, salah satu anggota bidang ini harus fokus mengurusi
komisariatnya karena memang masih baru berdiri -sembari menyiapkan seminar
proposal tentunya. Di saat yang sama pula, anggota bidang ini yang pengagum
Karl Marx itu juga sedang mempersiapkan sidang skripsinya untuk bulan depan
-sembari konsisten menunggu Manchester United tsunami hujatan tropi.
Saat-saat
seperti itu, agaknya ideal bagi penulis untuk dibantu oleh AI. Meskipun dari
hati terdalam, rindu rasanya membayangkan momen-momen di saat masih bisa berkumpul
untuk rapat bersama.
Mulai
dari membahas bagaimana agar komunitas kepenulisan ada yang meneruskan,
mendefiniskan ulang makna riset dan pengetahuan, mencari solusi agar bidang RPK
di masing-masing komisariat aktif untuk serentak berproges, maupun mendiskusikan
agenda kudeta Koorkom -yang terakhir ini sih bualan khas RPK periode ini.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi IMM
UINSA