Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membandingkan adalah Hal yang Tidak Perlu

Gambar dari: qimono, sumber: pixabay.com

Penulis: Abdillah Rosyid Tamimi (Anggota Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Al-Farabi)

 

“Kamu lihat anaknya orang tua itu, lebih pinter daripada kamu,” perkataan yang dilontarkan oleh orang tua kepada anaknya. Kebanyakan mereka (orang tua) yang membandingkan anaknya sendiri akan berdalih bahwa itu untuk motivasi.

Apakah sebuah motivasi harus dengan membandingkan? Apakah mental anak itu baik baik saja saat dibandingkan seperti itu? Dan, bukankah setiap manusia terlahir dengan bakatnya masing masing?

Menurut KBBI, motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.

Seseorang yang termotivasi akan menunjukkan sikap atau perilaku yang lebih lagi. Contohnya seperti untuk mendapatkan nilai yang tinggi maka peserta didik harus belajar dengan giat, apabila peserta didik termotivasi maka dia akan belajar lebih giat lagi daripada biasanya untuk mendapatkan nilai yang tinggi. 

Lalu bagaimana jika terdapat orang tua yang memotivasi anaknya dengan cara membandingkannya dengan anak anak yang lain? Sikap membanding bandingkan seperti ini tentunya lebih banyak menimbulkan dampak yang negatif bagi kesehatan anak, khususnya mentalitas anak. 

Banyak sekali penelitian yang mengatakan tentang dampak sikap membanding bandingkan ini terhadap anak, seperti hilangnya rasa percaya diri, keraguan yang besar timbul pada dirinya sendiri, malu untuk bersosialisasi, munculnya rasa kebencian, hingga dapat menyebabkan stress dan depresi. 

Apabila sikap membandingkan anak itu terus diterapkan, maka kemungkinan akan adanya kehancuran mentalitas generasi muda. Ikan diciptakan bukan untuk memanjat pohon, burung diciptakan bukan untuk menyelam di air, dan kucing diciptakan bukan untuk terbang di udara.

Jika anak terus dipaksa menuruti ekspektasi orang tua tanpa diberi kebebasan dalam mengeksploitasi bakatnya sendiri, maka anak akan merasa seperti di penjara. Bahkan dalam Islam, sikap membanding-bandingkan itu dilarang. Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 32 dijelaskan larangan membanding-bandingkan ini.

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

Artinya, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisa [3]: 32). 

Ayat ini memberi peringatan berupa larangan membanding-bandingkan agar tidak  melahirkan perasaan iri dan dengki. Karena perasaan iri dan dengki tentu akan menegaskan banyak nikmat Tuhan. Dan, tentunya akan sangat sulit untuk bersyukur, karena merasa dirinya selalu kurang dibanding orang lain.  

Kebanyakan orang tua hanya melihat dari satu sisi dan seorang anak harus menurutinya. Misalnya ada orang tua yang mengharuskan anaknya untuk belajar ilmu-ilmu sains, padahal anak itu menciptakan berbagai prestasi di bidang ilmu agama ataupun olahraga. 

Namun anak itu terus dipaksa mengikuti bimbingan belajar dan segala macam untuk mendapatkan nilai tertinggi di ilmu sains. Jika seorang anak itu tidak berhasil mencapai seperti ekspektasi orang tuanya, anak itu akan mendapatkan kemarahan atau bahkan dibanding-bandingkan. Kita harus paham bahwasanya semua hal yang dipaksakan akan mendapatkan sesuatu yang tidak baik. 

Setiap anak memiliki bakatnya masing masing. Bakat adalah potensi yang dimiliki manusia sejak lahir, akan tetapi tidak setiap manusia memiliki bakat yang sama, bahkan sesama saudara kandung sekalipun. 

Menurut tokoh pendidikan Indonesia yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Negeri Jakarta dan Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum Badan Penellitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yaitu Prof. Dr. Conny R. Semiawan, dijelaskan bahwa keberbakatan merupakan suatu yang dinamis, suatu yang dapat berkembang dan dikembangkan bahkan "dimatikan". 

Tentunya untuk mengolah bakat anak dengan baik bukan dengan cara membanding-bandingkan. Seperti halnya pepatah Inggris yang berbunyi, “Comparison are Odious”.