Pelukis dan Lukisannya
![]() |
Gambar dari: Mondschwinge, sumber: pixabay.com |
Penulis:
Mohammad Rizal Abdan Kamaludin (Ketua Umum IMM Saintek)
Terasa
asing kurasa, berada dihadapan benda keras yang menjadi bagian penting di
segala lini kehidupan. Dan apakah Aku memang harus mampu mengendalikan benda
keras mengkilap ini? Oh, entahlah. Berada di ruangan ber-AC sedikit membuatku
gugup, apalagi ditambah teman-teman sekelasku ini yang sepertinya mereka anak-anak lulusan MIPA ataupun SMK. Selama aku SMA, selama
aku menjadi anak Bahasa yang sangat menggemari sastra sebagai makanan utamaku,
laptop ataupun komputer terasa begitu asing. Bahkan tak pernah tersentuh.
Sungguh
miris ketika aku ingin masuk jurusan Sastra malah terjerumus ke dalam dunia
digital ini. Dengan alasan dukungan orang tua, aku harus meninggalkan
keinginanku menjadi seorang seniman. Mereka bilang tidak ada untungnya. Hadehh, memang dunia ini semakin banyak
menciptakan manusia-manusia pragmatis. Sialnya lagi aku memang tak lolos SBMPTN
dan SNMPTN. Sudahlah, tak ada gunanya aku mengeluh
Kelas
akan dimulai, tetapi aku masih belum menyapa teman-teman yang lain. Bukan
karena introvert, tapi kurasa merekalah yang begitu. Hal yang paling tak
kusuka, berbeda dengan kelasku yang dulu waktu SMA. Sungguh, ini membosankan.
Mereka hanya terfokus pada layar handphone
masing-masing. Sedangkan aku masih memikirkan bagaimana bisa aku masuk Teknik
Informatika ini? Sungguh aku akan menjadi seorang bawahan pemodal. Aku tidak
akan bisa hidup bebas, sudah kuputuskan sejak hari pertama, perlawananku sudah
sedari dulu waktu Pak Sarmudi menerangkan bagaimana Wijdi Thukul dengan
puisi-puisinya melawan penguasa.
Begitu
seriusnya aku merenung melawan kenyataan, dari pintu datang seseorang yang
gondrong, rambutnya hitam putih, berkacamata bulat, dan memiliki postur yang
tinggi. Pakaiannya juga sangat casual dan
tidak mencerminkan seorang dosen komputer. Aku merasa orang ini salah masuk.
Mengapa perawakan bak sastrawan ini bisa masuk laboratorium komputer. Dalam
hatiku bergumam “Pak Anda salah masuk kelas.”
“Assalamualaikum,
langsung saja perkenalkan saya Pak Aditomo, Kaprodi kalian.” Satu tarikan nafas
tersebut membuatku bingung sekaligus bertanya-tanya mengapa seorang dengan
tampilan seperti itu menjadi seorang dosen komputer? Ini berbeda dengan
bayanganku yang menganggap dosen yang akan datang adalah seorang yang
berpakaian rapi, ber-jas, membawa koper, dan memakai sepatu hitam mengkilap.
Sedangkan orang ini, tampilan orang ini bahkan sering kulihat di pentas-pentas
drama teater waktu study tour dulu.
Tanpa
berlama-lama setelah kami menjawab salam dan mulai menatap ke arah Pak Aditomo
ini, ia langsung berkata. “Ada yang mau ditanyakan?” Seakan sudah mengenal kami
sedari dulu. “Kalau tidak ada maka saya akan meninggalkan ruangan, silakan
kalian pulang dan bersiap untuk esok.” Ini sungguh aneh, Ia tidak memberi tahu
kami apapun, teman satu kelas pun tidak ada yang ingin bertanya perihal mata
kuliah, dosen, kelas ataupun yang lain. Kurasa mereka ketakutan, merasa selama
3 tahun sudah menghadapi guru dengan gaya seperti ini, Aku mulai bertanya
“Apakah bapak benar dosen kami?”
Dengan
sedikit senyum tipis dan mulai membenarkan kacamata, Ia bertanya balik. “Apa
yang membuat kamu ragu?”
Teman-teman
menoleh kearahku, mereka sepertinya juga sependapat dengan pertanyaanku. “Mohon
maaf bapak sebelumnya, tetapi gaya berpakaian bapak seperti penulis dan aktor
dalam sebuah teater.”
Oh,
sungguh apa yang sudah kukatakan, mungkin ini tidaklah sopan. “Hahaha, betul,
saya juga seorang pelukis” Jawabnya sambil tertawa. Ini sungguh diluar dugaan.
Ternyata Pak Aditomo ini memang seorang seniman.
“Bagaimana
bapak bisa menjadi seorang Dosen” Lanjut aku bertanya. Dengan gaya serius Ia
menjawab “Apakah ini hal aneh bagimu? Atau bagi kalian semua?” Semua yang ada
dikelas ini mulai mengangguk.
“Ketika
kalian diberikan pilihan untuk bersikap idealis atau realistis di masa muda,
kebanyakan dari kalian akan menjadi seorang yang idealis, mengejar mimpi,
bekerja sesuai dengan hobi. Menjadi hal yang wah sekali, betul?” Sedikit
paparnya mungkin mengenai alasan beliau menjadi seperti ini.
Satu
dari temanku menjawab. “Betul pak, mengejar mimpi di bangku perkuliahan ini
menjadi hal yang bagus bagi kita para anak muda”
“Tetapi
semakin kalian dewasa, kalian akan dituntut untuk realistis oleh kehidupan.
Sejahat itu, buang mimpimu dan hidup sesuai dengan keinginan takdir.” Tegas Pak
Aditomo. “Kalian tidak akan bisa menikmati bekerja sesuai hobi, lama-kelamaan
kalian akan kehilangan hobi itu, karena hobi kalian telah menjadi pekerjaan.
Sungguh ironi, jika kalian memang suka dalam dunia teknologi, sebaiknya kalian
menjadi Sastrawan saja.”
Apa
yang dikatakan Pak Aditomo barusan membuat satu kelas menjadi bingung, tetapi
tidak untukku. Semua yang dikatakan beliau memang sangat realistis, tetapi
bagaimana beliau bisa seidealis itu menjadi seorang seniman juga? Seorang
pelukis. Ruangan yang dingin itu menjadi semakin dingin, keraguan mulai muncul
dari seisi kelas. Apakah sudah cocok untuk menjadi mahasiswa teknologi? Menjadi
mahasiswa komputer.
Aku
memberanikan diri lagi untuk bertanya “Lalu bagaimana bapak menjalani idealisme
bapak menjadi seorang pelukis?”
“Saya
adalah seorang pelukis, terkadang saya melukis di rumah, di taman, di pantai,
tetapi saya tetap bertanggung jawab mengenai pekerjaan sebagai dosen. Lalu ada
satu lagi tempat yang menjadi favorit saya.”
“Dimana
itu pak?”
“Di
sini, di kampus saya mengajar, saya melukis di kelas, dengan kanvas nya adalah
kalian. Sehingga tercipta karya indah yang kelak akan dinikmati, bermanfaat
bagi orang lain.”
Ini
terdengar sedikit berlebihan, tetapi semua itu memanglah benar. Ia mulai
berdiri seakan ingin meninggalkan kelas. “Jadi, lakukan apa yang menjadi
kebutuhanmu dulu, baru keinginanmu. Lakukan sebisamu asalkan bahagia, kalian
sudah dewasa. Pikir sendiri cara untuk itu.”
Kurasa
perkuliahan selama 4 tahun yang akan kutempuh sudah selesai saat ini juga.