Sang Musafir Tersesat di dalam Penjara Suci
Gambar dari: 11514282, sumber: pixabay.com |
Penulis: Krisna Alfarisi (Sekretaris Bidang Hikmah IMM Leviathan)
Sebuah
ikatan yang bertujuan mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak
mulia dalam rangka mencapai tujuan muhammadiyah, ideologi trikom dan trilogi
yang selalu di banggakan, dana mengakui sebagai kaum intelektual. Namun semua hanya
dipelajari untuk pintar memanipulatif kata, agar terhiasi indah jati diri yang
hina. Benar kata Gramsci bahwa, "Setiap orang menjalankan beberapa bentuk aktivitas
intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat menjalankan fungsi
sebagai intelektual”.
Humanitas yang selalu digadang-gadang sebagai bentuk dedikasi diri sesama umat beragama, aksi turun jalan mencari bantuan untuk korban bencana, apakah itu hanya sebagai pamor semata? Apakah hanya melakukan gerakan itu saja lantas sang musafir layak dikatakan sebagai penggaung humanitas?
Tujuan
utama bergabung dalam ikatan adalah untuk penguatan ideologi dan pengembangan
diri. Ternyata prosesnya tak jauh berbeda dengan kaderisasi yang dilakukan oleh
teman-teman pelajar yang masih dini. Apakah sang musafir berhenti di sini?
Tidak, enam penegasan yang selalu digaungkan di setiap perkaderan tetapi tak sesuai
dengan kenyataan.
Berkelana mencari letak kebenaran, menerka-menerka bagai penyu yang baru menetas dari telurnya. Lalu mencari arah laut lepas dengan bantuan sinar sang surya. Sang musafir yang dituntut berfikir, kini menjadi benak yang berkeinginan menjadi Joko Tingkir.
Ada
kewajiban di pundak individu yang berada dalam bingkai ikatan Islam
berkemajuan. Kata “jaya” yang digaungkan dengan suara lantang, namun sang
musafir terlena dengan aksara kata yang belum tersampaikan dalam rasa. Kasihan
sang musafir ini, terkurung oleh hingar-bingar ikatan, terlena oleh pencapaian
demis yang lengser duluan. Apakah sang musafir akan menjilat keringat? Ataukah
sang musafir akan tetap berlindung dalam atap ikatan yang tak lagi bersahabat?
Sebuah
tugas suci yang tak kalah eksis dari kisah Sun Go Kong yang mencari kitab suci. Kisah sang musafir yang dituntut berdedikasi dalam rumah yang bernyawa, namun ia
terkunci di dalam kamar ikatan. Gelar akedemisi yang mengklaim lilahita’ala
namun masih memikirikan nanti aku ngopi pakai apa yahh. Sebuah candaan era kini
babak ke tiga telah dimulai, tetapi pembahasan dan pola pikir seperti zaman
purba kala. Bukanya ber-fastabiqul khairat, malah sibuk dengan hal-hal yang
mudharat.
Ia terlena dalam buaian aplikasi sampai lupa bahwa masyarakat kini mengemis demi sesuap nasi. Jangankan untuk memikirkan masyarkat mencari nasi, dia yang mengakui pembawa narasi atas nama rakyat dalam aksi yang kontroversi sampai di lokasi pun, sibuk berfoto demi eksistensi diri. Bentuk afirmasi diri akan gelar akademisi yang minim aksi. Mencari solusi namun berakhir argumentasi yang mengambarkan maha minim aksi, tidak lupa ber-make up sebagai langkah pasti.
Andai Bung Karno masih hidup, pasti beliau akan mengganti perkataan, “Beri aku 10 pemuda akan ku goncang dunia” dengan, “Beri aku 10 pemuda akan ku goncangkan forum persidangan”. Semua sudah dipetakan agar seperti kisah Dora The Explorer yang tak pernah tersesat, namun kini bingung peta telah di curi Swiper.
Ia terlalu senang berenang di dalam kolam yang tenang, namun ia lupa air tenang bukan berarti tak ada buaya. Sebuah ancaman mulai dirasakan, mungkin dia habis party minum bekonang, sampai dia berpikir masih ada hari esok yang tenang. Namun sebuah keberhasilan kini hanya sebuah kenangan.
Ini bukan perihal penyesalan diri berproses dalam ikatan. Namun tamparan untuk diri sendiri sudah beramal baik apakah hari ini? Jas merah dalam dekapan kawan-kawan kini sudah menangis melihat ibu pertiwi disodomi rakyatnya sendiri.
Cara berpfikir kritis yang selalu diajarkan, akankah ikatan menjadi industrial golongan kritis namun apatis? Saran untuk kelangsungan kejayaan ikatan selalu diperdebatkan lantas harus menunggu sampai kapan? Menunggu Orochimaru meng-edotense I.R. Soekarno?