Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sebuah Refleksi Persiapan Pernikahan

 

Gambar oleh : wolipop.detik.com

Penulis : Aria Bagus Iyana, S.Sos*


Menikah adalah sebuah proses pendewasan dan pendadaran diri baik secara agama maupun sosial. Menikah pula dalam ranah ke islaman adalah sebagai upaya menyempurnakan setengah dari agamannya, tujuan dan manfaat menikah pun amat sanagat banyak.

Namun realita di masyrakat kita saat ini adalah menikah atau khususnya perhelatan seremonial acaranya hanya sebatas ajang ‘pamer’ dan hanya sebagai sebuah ritus seremonial sesaat, alasan fundamental dibalik pernikahan itu sendiri adalah kepentingan kapitalisme, lantaran dengan pesta yang mewang dengan biaya yang tidak sedikit diharapkan akan menghasilkan hasil untung yang banyak yang didapat dari para tamu undangan yang tidak sedikit itu.

Maka dalam analisis awal ini menikah bukan hanya soal sebuah konsekuensi manusia beragama dan beradab tetapi juga memiliki niatan misterius yang saya sebut sebagai kepentingan kapitalis.

Lantas apa yang disebut sebagai kepentingan kapitalis dalam pernikahan itu? Alih-alih mendapatakan ‘sumbangan’ banyak sejatinya justru akan menjadi beban, dalam artian jika biaya pernikahan itu di dapatkan dari hutang atau dari bantuan orang lain tentu akan menjadi hutang yang berkepanjangan. Dan hal inilah yang saya sebut sebagai rasa takut sebelum menikah.

Rasa gengsi sosial masyrakat kita masih sangat tinggi, kususnya di wilayah pedesaan, yang notabennya masyarakat yang  polos dan lugu yang mudah diberdaya dengan kepentingan arus modernisme yang serba kapitalis. Sebuah antitesis yang saya tawarkan adalah sebuah pernikah yang cukup sederhana dan yang terpenting dari pernikahan adalah ‘nilai sah nya’ baik secara agama maupun negara.

Apakah andai pernikahan yang sederhana itu dilangsunglan akan menjadi momok? Tentu tidak, kita ini hanya sebagai korban yang mengikuti arus yang tidak tau duduk perkaranya, yang seharusnya biaya pernikahan yang andai di buat biaya modal usaha paangan tersebut akan jauh lebih berharga. Sulit sekali menyakinkan masyarakat kita ini, bahwa menikah tidak se menakutkan kelihatnnya dan kedengarannya.

Masih pada kajian sosial masyrakat kita bahwa sebuah beban atau mungkin pamali jika kita mengingkari sebuah undangan pernikahan, dalam arti dan posisi saat kita tidak memiliki rezeki lebih sebagai bukti tali sih kita kepada mempelai, umumnya tali asih ini berupa amplop yang berisi uang tunai dengan nominal standar masyrakat kita, pada umumnya pada masyrakat pedesaan sebagaian kecil masih membawakan sebuah bingkisan yang berisi sembako baik itu beras bebrapa kilo dan gula yang nanti akan dierikan kepada keluarga mempelai. Sebauah gaya budaya tersebut masih kita temui di desa-desa.

Lantas bagaimana jika kita tidak memiliki rejeki lebih? Apa yang lan diberikan dan dihadiahkan? Analisis penulis bahwa masyarakat itu sedikit memaksakan kehendak dengan cara berhutang kepada saudara atau anak mereka yang sudah berkerja dengan alasan buwuh;jagong. Kita tidak dapat memungkiri kepentingan dan upaya masyrakat kita.

Maka tak heran jika masyarakat kita akan menyelenggarakan pesta pernikahan di saat bulan rezeki, biasa jatuh pada setelah hari raya idul fitri atau idul adha, di waktu waktu-waktu seperti itu tak asing bagi masyrakat kita mendapatkan nasi kotak atau undangan pernikahan. 

Sebuah kesalahan fatal agi seorang yang mengingkari undangan dan tidak memberikan tali asih, dikarenakan saat anak mereka menikah si pemilk hajad pun ikut menyumbang, maka saat si pemberi amplop itu gantian menyelegarakan pernikahan sudah menjadi kewajiaban sebaliknya, dan hal tersebut terhitung hutang atau menabung.

Lihatlah banyak juga pernikahan yang sederhana saja, yang tidak sampai menghabiskan lebih dari 15 juta, dan banyak juga pernikahan yang menghabiskan ratusan juta tetapi justru meninggalkan hutang yang berkepanjangan. Dan inilah yang harus kita berikan pemahaman kepada masyarakat kita.

Tidak sediit pula sanggahan yang dilayangkan bagi prinsip menikah dengan sederhana ini, salah satunya sebuah fitnah yang menyebutkan bahwa pengantin wanita ‘sudah hamil duluan, makannya gag pakek rame-rame’ belum lagi sebuah ejekan yang menyebutkan kalau nikah itu modal dengkul banyak sekali masih kita temukan nyinyiran demikian di masyrakat dewasa ini.

Kepentingan kapitalis itu sendiri adalah sebuah prodak yang di telurkan dari karakter gengsi yang saya sebutkan diatas, dengan gengsi karena tetangga kita sangat mewah, dan kita secara tidak sadar ingin mengungunguli kemewahan pernikahannya, dengan alih-alih ingin lebih dilihat memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada masyrakat kebanyakan, maka kita enga terpaksa harus menyewa alat yang tidak murah dan tidak sedikit yang pada hakkatnya kita tidak bisa merdeka dengan prinsip hidup kita, kita terlau buta dengan sebuah sistem yang seharusnya tidak kita yakini.

Maka kapitalis itula sebutnnya saat seluruh intrument pernikahan cukup mahal kita borong dan kita tidak memiliki tabungan lebih maka hutan pun kian beramuran, dan apesnya bukannya untung justru buntung.

Maka perlu saya tegaskan sekali lagi bahwa pernikahan tidak semenakutkan kedengarannya dan kelihatannya, jangan sampai pernikahan kita tertunda lantaran perkara-perkara yang tidak memiliki manfaaat yang jelas dan duduk urgensi yang tepat.


*Penulis adalah Anggota Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Ibnu Rusyd Periode 2019-2020 serta Ketua Bidang Tabligh IMM Cabang Ngawi Periode 2020-2021.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA