Klinik Herbal Perkaderan
![]() |
Foto oleh Sn8kxs5, diunduh melalui pinterest |
Penulis: Mahbub Junaidi (Ketua Umum IMM KUF)
Sakit hati? Cinta yang tersakiti? Cinta bertepuk sebelah tangan?
Atau diselingkuhi? Bahkan ditinggal rabi? Segeralah sambat, jangan sok
kuat kalo nggak mau sekarat.
Tulisan ini bukan tentang indahnya lara hati seorang pujangga
yang ditinggal oleh sang kekasih hingga minum bir berkali-kali, yang menulis
dengan kata-kata sok sastra, seperti Habib Muzaki salah satu contohnya. Namun
cerita ini lebih dari dugaan pemirsa semua yang membaca artikel sponsor obat
herbal perkaderan dari website IMM UINSA.
Yah, sangat menjenuhkan sekali bukan? Atau malah lelah yang
berkedok bosan? Atau kecewa karena gagal dalam mengkader penerus roda
perjuangan? Semua itu adalah hal yang sangat lumrah, namun ada yang perlu
diperhatikan “jangan sampai tenggelam didalamnya!”. Sebab ketika sebuah rasa
yang negatif berlarut dalam tubuh, akan mengendap dan menjadi sakit kedepannya.
Maka Sigmund Freud menawarkan teori sublimasi untuk
memfasilitasi kekecewaan itu. Mengeluarkan sara dengan cara berbicara atau
lewat tulisan, untuk memperkaya karya tulis di website ini. Semua itu kembali
kepada kenyamanan penyidap, apabila
ditanya tentang cara mengatasi atau
meminimalisir terjadinya gangguan jiwa yang disebabkan oleh patah cinta
ditinggal kader entah kemana.
Sebuah kegagalan tidak mungkin dinafikan dalam sebuah proses yang
dilakukan untuk mencapai sebuah
keberhasilan. Kita sudah sering mendengar nama Thomas Edison sang penemu
lampu pertama kali di dunia, yang mengalami kegagalan 1.000 kali. Namun tidak
pernah ia berhenti berusaha dan terus mencoba.
Jangan jauh-jauh ke barat, kita sendiri memiliki tokoh yang sangat luar biasa bernama K.H. Ahmad Dahlan yang ditempa habis-habisan oleh masyarakat yang ada. Dikucilkan dan dicurigai sebagai orang yang mendakwahkan ajaran sesat bahkan dituduh kafir. Namun tetap berdiri tegap tanpa keraguan di dalamnya.
Kantor Sekre IMM kita masih belum
pernah dibakar layaknya langgar Yai Dahlan hingga menjadi abu. Lalu apa yang
kita sebut perjuangan apabila ditinggal kader tidak ada kabar kita patah
semangat. Ditinggal jajaran lalu kita hancur dan melunturkan paradigma awal yang
menjadi tujuan kita untuk berjuang.
“Ingat! Jika paradigma hanya sekedar paradigma, maka anak kecil pun
bisa membuatnya. Namun apabila paradigma diperjuangkan sebagai mana mestinya,
maka dia adalah orang-orang yang terpilih saja.”
Inilah
kemudian pejuang sejati, ketika para pejuang terdahulu terserempet peluru
senapan saja sudah menyerah. Maka kita tidak
akan pernah melihat bendera merah puti berkibar di tiang bendera. Tidak akan
pernah kita laksanakan upacara kemerdekaan tanggal 17 agustus di seluruh
Indonesia. Namun kenyataannya mereka semua melepaskan nyawanya bersama niat
untuk menghantui dan membunuh penjajah. Maka sangat perlu kiranya kita melihat
sejarah sebagai penyemangat kita, seperti yang pernah dikatakan oleh Bung Karno
“JAS MERAH” atau yang berarti jangan lupa sejarah.
Ketika dikaitkan dengan agama Islam, Nabi pernah menganjurkan tiga
hal pada umatnya untuk dikuasai. Tiga hal itu yaitu tentang memanah, berkuda,
dan berenang. Apabila ketika tiga hal ini dipahami secara leterlek atau
tekstual pernyataan ini akan menjadi biasa-biasa saja, mudah dan tidak ada
istimewahnya. Karena semuanya bisa dipelajari dengan mudah lelalui
kursus-kursus yang ada.
Namun bagaimna jika dipahami dengan rasionalitas? Maka makna dan
maksudnya akan lebih dalam lagi. Salah satunya yaitu memanah merupakan sebuah
olahraga yang menggunakan busur dan anak panah. Cara menggunakannya pun dengan
menarik anak panah yang telah dipasang pada busur. Kemudian ketika yakin serta
sudah mengarah pada sasaran yang diharapkan maka lepaskan.
Mengkaji pada bentuk busur yang memiliki kelenturan. Apabila sifat
ini berada dalam diri seseorang, maka seseorang akan memiliki sifat yang mudah
beradaptasi karena memiliki fleksibelitas. Kemudian anak panah yang harus lurus
dan memiliki stabilizer untuk memberikan keseimbangan saat meluncurkan anak
panah. Sifat anak panah ini mengibaratkan keyakinan hati dan keteguhan niat
yang akan membawa seseorang kepada sebuah tujuan yang telah diyakini.
Sedangkan stabilizer yang ada itu ibarat sebuah pondasi bagi
seseorang untuk memperkuat niat dan tujuan yang ada. Tentu saja hal ini
didasari dengan kualitas keilmuan yang ada. Barulah nanti kita bisa mencapai apa
yang menjadi impian dan tujuan yang telah kita niati dalam hidup. “Kita
hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari,” ujar Buya Hamka.
Selanjutnya yaitu proses menarik anak panah, dimana tarikan ini
adalan sebuah bentuk pembelajaran terhadap sejarah dan ilmu-ilmu yang ada untuk
atau sebagai bekal dalam mencapai tujuan. Pembelajaran terhadap sejarah akan
memunculkan kebijaksanaan apabila memahami maksud dan tujuan dari apa yang
dituliskan pada sumber bacaan.
Juga pada saat penarikan anak panah yang akan dilesatkan terdapat
sebuah harapan dan persiapan dimana hal ini mencerminkan apabila kita hendak
menggapai tujuan maka perlu kesiapan. Kata orang Jawa, “Gak grusa-grusu”. Harus
penuh dengan kesiapan dan persiapan. Barulah ketikan sudah siap semuanya,
persiapan sudah cukup, maka lepaskan anak panah. Tentu akan berjalan dengan
sempurna..
Seperti yang dikatakan oleh tokoh filsuf Niccolo Machiavelli, bahwa
seorang harus memiliki kelincahan seperti kancil untuk mencari peluang, dan
mengaung seperti singa untuk menakuti serigala. Hal ini berhubungan dengan
konteks memanah di atas, bahwa peluang harus dicari dan dimanfaatkan untuk
menggerakkan roda perkaderan. Kemudian harus tegas dan berwibawa untuk
melindungi kader dari serangan yang tidak
bisa disangka-sangka. Keduanya ini bisa tercapai dengan penguasaan terhadap
memanah.
Semua ini adalah konsep yang ditawarkan oleh orang-orang yang
terdahulu, yang sudah berjuang dan mengabiskan waktunya untuk mencapai tujuan
hidup mereka. Kita sebagai hamba yang berusa sudah barang tentu harus
meneladani nilai-nilai positifnya serta mengamalkannya. Namun ada hal yang
lebih penting dan lebih mendasar dari itu semua untuk memperkuat dan
memperkokoh tujuan kita, yaitu dengan niat kita mau beribadah.
Sehingga seberat apapun beban yang kamu dapati akan menjadi sebuah
kenikmatan tiada tara. Tangismu tidak lagi air mata, karena sudah menjadi tawa.
Semuanya berangkat dari kata terbiasa menempuh jalan susah, dan tidak ingin
terbelenggu di dalamnya karena
masih ada seribu satu pintu yang masih belum dibuka. Maka kata bangkit akan
tetap tertancap dalam hati sebagimana akar gunung yang tidak pernah hilang dari
hakikatnya.
Obat dari segala obat hati adalah ketika diri kita kenal dengan diri kita sendiri. Seperti yang tertulis dalam batu nisan Socrates “kenalilah dirimu”. Ungkapan ini persis dengan kata mutiara dalam Islam, “Kenalilah dirimu, maka engkau akan kenal dengan tuhanmu.”
Maka mudahnya adalah ketika kita tahu, bahwa hakikatnya kita sebagai apa di muka
bumi ini, niscaya hati dan akalmu akan tunduk. Tidak mudah takluk pada gilanya
dunia dan tidak mudah menyesal karena masih ada penyesalan lain yang belum
dicoba.