Mahasiswa: Kehilangan Kepakarannya
![]() |
Foto oleh veeterzy, diunduh melalui pexels.com |
Penulis: Mahbub Junaidi
(Ketua Umum IMM KUF)
Mahasiswa adalah
seorang yang memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi dari jenjang siswa
menuju ke arah
yang lebih tinggi lagi. Saya
yakin definisi ini sudah barang tentu diketahui oleh seluruh orang. Namun
apakah semua orang tahu
perbedaan serta maksud dan tujuan dari siswa dan mahasiswa itu sendiri?
Siswa merupakan seorang pelajar yang mempelajari materi-materi dasar di sekolah, dimana materi-materi ini adalah sebuah materi
yang bisa dibilang doktrinasi untuk membekali dan menjadi dasar dalam mencari
bekal keilmuan di kehidupan
selanjutnya. Di sisi lain proses
pembelajaran sebagai seorang siswa lebih didominasi oleh guru. Presentasenya bisa dibilang 50% hingga 90% penyampaian materi.
Sedangkan pada ranah mahasiswa
sendiri memiliki perbedaan yang amat jauh, dimana
seorang mahasiswa harus dituntut kritis, analitis, juga solutif untuk memahami
realita dan eksistensi yang ada.
Sehingga bukan
lagi mengenai doktrinasi,
namun lebih ke arah
kebebasan dalam mencari sebuah kebenaran secara subjektif dan objektif. Di sisi
lain, metode pembelajarannya sudah bukan lagi menunggu
penjelasan bapak atau ibu
dosen -apalagi mbak-mbak asdos yang terkadang masih seumuran. Namun seorang mahasiswanya
itu sendiri yang mencari materi dan menjelaskan pada audiens yang ada.
Bisa dibilang presentase penyampaian yang dilakukan oleh
dosen 50%, itu pun
di awal
semester dan
awal pembelajaran. Hingga ada yang kurang lebih 1% bahkan terkadang tidak sama
sekali. Hal ini menandakan
bahwa mahasiswa sudah memiliki kebebasan untuk berpendapat dengan dasar-dasar
yang dimiliki serta hasil dari analisis yang ada pada realita.
Kurang lebih itu
yang disebut dengan Sang Maha dan Sang Siswa. Yang memiliki berbagai kebebasan
dalam belajar dan mengimplementasikan hasil dari belajarnya.
Yang penulis
sebutkan itu masih belum seberapa ngeri dibandingkan dengan fungsi dan tugas
mahasiswa itu sendiri. Terdiri dari lima
tugas besar yang harus diberikan tanggung jawab oleh mahasiswa bagi yang
menempuhnya.
Tugas besar itu
terdiri dari pertama, agent of change yang memiliki arti dan maksud
sebagi sosok yang mengajak kepada perubahan yang lebih baik. Dimana hal ini juga ditegaskan dalam Alquran Q.S. Ali Imran ayat
104, yang mana sudah jelas bahwa tugas
manusia adalah mengajak kepada kebaikan dan menyeru untuk meninggalkan
keburukan.
Kedua, Iron
Stock atau yang dapat disebut dengan penerus bangsa. Dimana seorang yang
menjadi penerus bangsa harus memiliki kualitas yang memadai, dari segi ilmu
umum, agama, ilmu pasti dan sebagainya. Seperti yang dijelaskan dalam Q.S. An-Nisa ayat 9 yang menyeru
untuk meninggalkan keturunan yang lemah, sehingga upaya orang tua adalah
menyekolahkan anak-anaknya agar menjadi keturunan yang kuat secara akal,
jasmani, dan rahani
sebagai penerus bangsa.
Ketiga, Guardian
of Value yang memiliki arti dan maksud untuk mengawal nilai-nilai yang ada, entah itu
dalam rana masyarakat, bangsa, atau pun agama. Tentu harus dijaga dengan sepenuhnya.
Sehingga kondisi yang ada dapat menjadi lebih stabil dengan terjaganya
nilai-nilai yang tertera. Dalam Alquran pada surah Al-Ashr ayat 3 mengajarkan untuk
saling menasehati kepada kebaikan dan kesabaran. Seruan ini merupakan bentuk
dari penjagaan nilai-nilai dan norma yang ada.
Keempat, Moral
Force mahasiswa sebagai contoh bagi masyarakat dengan mencerminkan sosok
yang berpendidikan, yang sudah mampu mengenyam dan khatam atas apa yang
dipelajari. Sebab paradigma masyarakat berkeyakinan seorang mahasiswa merupakan
orang pandai dan berilmu. Sehingga
memiliki tanggung jawab yang bersar terhadap ilmunya untuk diimplementasikan
atas pengembangan masyarakat. Sebagai
yang paham nilai dan penerus dakwah Rasulullah Saw, maka mahasiswa memiliki tugas untuk menjadi uswatun
hasanah seperti yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Ahzab
ayat 21.
Kelima, Sosial
Control yang dalam hal ini mahasiswa
memiliki kehendak untuk ikut andil dalam memberikan kontrol terhadap hak-hak
yang harus dimiliki oleh rakyat. Berbicara kontrol
tidak bisa terlepas dari tugas seorang khalifah atau seorang pemimpin
untuk mengatur dan memberikan hak seproporsional mungkin terhadap masyarakat. Minimal memimpin terhadap
dirinya sendiri.
Mencari
pengetahuan sebagai mana mestinya mahasiswa, melakukan gerakan humanitas sebagai
seorang aktivis sebenarnya, menjadi seorang hamba sebagaimana tujuannya. Sekali
lagi hal ini sama dengan tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi ini. Tidak lain
dan tidak bukan adalah sebagai khalifah, seperti firman Allah dalam surah Q.S. Al-Baqarah ayat 30.
Oke, pembahasan
kita tadi sangat menjenuhkan bukan? Ya
tentu saja. Sebab kita tidak punya bahan untuk membantahnya. Bagaimana mau membantah, membaca saja tidak
pernah, berdiskusi malah curhat masalah asmara.
Lalu apa yang dibuat untuk membantah? Otak kosong dijual saja.
Padahal ketika kita memiliki bekal yang kuat, tidak ada kata yang menjenuhkan. Karena pada
dasarnya, otak kita akan
kontradiktif dengan apa yang tertulis dan menjadi asyik saat melakukan perang
antar paradigma.
Seandainya argumen di atas
tadi dibenturkan dengan fenomena yang ada,
akan menjadi tanda tanya besar bagi para mahasiswa atau pembaca. Yah, karena lagi-lagi
malas membaca dan diskusi hanya curhat masalah cinta, maka tidak ada yang bisa dilakukan untuk mempertanyakan itu semua.
Inilah kemudian
yang perlu digaris bawahi dengan tebal dan menggunakan tinta merah, yaitu bagaimana kondisi kita
saat ini? Apakah kemudian kita bisa melaksanakan salah satu dari fungsi
mahahsiswa? Dari beberapa analisis yang penulis lakukan
dalam sebuah organisasi yang memiliki cita-cita menjadi Nabi, tidak
ditemukannya jejak perjuangan itu.
Bahkan gerakannya
hanya mementingkan dirinya sendiri dan jarang melihat kebutuhan orang lain.
Adapun gerakan sosial kemasyarakatan, namun itu hanya sebatas
eventual, yang mungkin anak SMP pun bisa melakukannya.
Lagi-lagi apa
bedanya mahasiswa dengan siswa jika akalnya tidak lagi berfungsi untuk memberikan perubahan
dan gerakan baru? Demo? Galang dana di lampu merah? Pergi ke panti asuhan yang sudah tercukupi
kebutuhannya? Gandrung akan
sejarah atas kengerian pemikirannya?
Sadar atau tidak, demo tak lagi didengarkan. Galang dana di lampu merah berarti kita tidak bisa melakukan
sebuah problem solving terhadap suatu masalah. Pergi ke panti yang sudah tercukupi kebuthannya (lelucon apa itu). Lalu hanya bisa gandrung saja tanpa ada upaya (orang
bodoh atau gila).
Apalagi hari ini
telah digembor-gemborkan kampus merdeka, dimana para mahasiswa dituntut untuk
bekerja. Didorong berpikir pragmatis
dan menyisihkan pikiran idealis. Lalu dimana letak kepakaran yang akan
membangun bangsa? Dimana tugas utama menjadi seorang mahasiswa yang seharusya
sebagai penyambung lidah massa?
Semua sudah disibukkan dengan dunia kerja.
Sehingga tidak ada
waktu untuk memikirkan program pemerintah yang semakin menyiksa rakyat jelata.
Masih pantaskah disebut dengan mahasiswa atau lebih cocok disebut sebagai siswa saja?
Penulis tidak
pernah menafikan output dari kuliah, yang mana tentu saja untuk
menyambung hidup setelahnya. Namun yang penulis maksud adalah ketika bekerja
juga harus memiliki idialisme yang kuat sehingga tidak bodoh dan dibodohi. Juga perlu diingat bahwa tujuan manusia diciptakan
adalah beribadah.
Seperti yang dijelaskan dalam Q.S.
Az-Zariyat ayat 56, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia untuk
beribadah kepada-Ku”. Sedangkan yang dimaksud
dengan ibadah ada dua; ibadah ilahiyah dan ibadah terhadap manusia.
Sekali lagi, penulis hanya sekedar memancing huru-hara. Apabila tulisan ini adalah salah, maka silahkan dibantah dengan gagasan yang ada. Karena penulis tidak melayani orang yang kosong otaknya (debat kusir). Jika ada yang tersinggung dan sebagainya (Alhamdullillah) berarti kamu salah satu dari sekian orang yang melakukannya.